azizherwit

Senin, 06 Mei 2013

TEORI QWL (Quality of Work Life)



BAB II
LANDASAN TEORI

A.     Quality of Work Life
Menurut Robbins Quality of Work Life (QWL) merupakan sebuah proses dimana organisasi memberikan respon pada kebutuhan karyawan dengan cara mengembangkan mekanisme untuk mengijinkan para karyawan memberikan sumbang saran penuh dan ikut serta mengambil keputusan dan mengatur kehidupan kerja mereka dalam suatu perusahaan. Beberapa hal yang termasuk dalam QWL adalah keamanan kerja, sistem penghargaan yang lebih baik, gaji yang lebih baik, kesempatan untuk mengembangkan diri, partisipasi dan meningkatkan produktivitas organisasi di antara mereka.
Dampak positif dari QWL adalah memperbaiki kondisi kerja (utamanya dari perspektif karyawan) dan efektivitas organisasi lebih besar. Situasi yang seimbang antara perusahaan dan karyawan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan produktivitas perusahaan. Dampak positif lainnya misal, pengurangan mangkirnya karyawan, rendahnya karyawan yang pindah/keluar dan dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan. QWL tidak hanya berkontribusi pada kemampuan organisai untuk merekrut kualitas karyawan tetapi juga meningkatkan perusahaan menjadi lebih kompetitif.
QWL juga memberikan dampak positif, organisasi akan lebih fleksibel. Membuat karyawan lebih loyal, sehinggan merupakan suatu hal yang esensial sebagai kekuatan bersaing dari perusahaan, di samping meningkatkan kemajuan sumber daya manusia meliputi pelatihan, seleksi karyawan, dan pengukuran persepsi kinerja karyawan.
Dalam pendekatan SDM berarti semua dan setiap organisasi harus mampu menciptakan rasa aman dan kepuasan kerja, agar SDM di lingkungannya menjadi kompetitif. QWL dimaksud terdapat pada lingkungan masing-masing menjadi kompetitif. Dengan QWL yang menjadikan SDM kompetitif, maka secara keseluruhan organisasi akan menjadi kompetitif pula dalam mewujudkan eksistensinya.
Adapun criteria yang digunakan dalam penelitian yaitu, gaji dan kesejahteraan, kesempatan untuk mengembangkan diri, keamanan kerja, kebanggan pada pekerjaan dan sekolah, keterbukaan dan keadilan, kepercayaan dan keramahan (R. S. M. Lau, Bruce E. May, 1998)

B.     Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja merupakan suatu keadaan emosi yang positif sebagai hasil dari penilaian seseorang atau pengalaman kerja seseorang (Luthans, 1989). Sedangkan dalam Davis and Newston (1996) dinyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai seperangkat aturan yang menyangkut tentang perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan berhubungan dengan pekerjaan mereka. Kepuasan kerja merujuk ke sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap pekerjaan itu: seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif terhadap kerja itu (Stephen Robbins, 1996).
Karyawan yang tergabung dalam suatu organisasi membawa seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat, dan pengalaman masa lalu yang menyatu membentuk harapan kerja. Kepuasan kerja menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan (A. Dale Timpe, 1994). Ketidakpuasan kerja muncul saat harapan-harapan individu akan pekerjaannya tidak terpenuhi (Robert L. Mathis and John H. Jackson, 2001).
Menurut Robbins (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawan adalah.
1.      Kerja yang secara mental menantang
Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang member mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang menciptakan frustrasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.
2.      Ganjaran yang pantas
Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil dan setara dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi kunci yang relevan dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan, lebih penting adalah persepsi keadilan.
3.      Kondisi kerja yang mendukung
Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan tugas yang baik. Studi-studi memperagakan bahwa kayawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya. Temperature, cahaya, derau, dan faktor-faktor lingkungan lain seharusnya tidak ekstrem. Di samping itu karyawan cenderung menyukai bekerja dekat dengan rumah, dalam fasilitas yang bersih dan relative modern, dan dengan alat-alat serta peralatan yang memadai.
4.      Rekan kerja yang mendukung
Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila mempunyai rekan kerja yang ramah dan mendukung kepuasan kerja. Perilaku atasan seseorang juga merupakan determinan utama dari kepuasan. Umumnya studi mendapatkan bahwa kepuasan karyawan meningkat apabila manajer bersifat ramah dan dapat memahami, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan, dan menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka.
Quality of work life berhubungan erat dengan lingkungan kerja yang kondusif dan kepuasan kerja.

C.    Kinerja Karyawan
Kinerja karyawan mengacu pada prestasi yang diukur berdasarkan standar yang ditetapkan oleh perusahaan. Pengelolaan untuk mencapai kinerja karyawan yang tinggi terutama dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan. 
Menurut Income Data Service, London dari penelitiannya mengenai criteria pengukuran kinerja menyimpulkan bahwa faktor-faktor kinerja yang paling sering digunakan sebagai indikator penelitian adalah: pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan kerja, sikap terhadap pekerjaan (antusiasme, komitmen, dan motivasi), kualitas kerja, volume hasil produksi dan interaksi (komunikasi, hubungan, dan kelompok). Dessler (1997) memberikan contoh criteria penilaian kinerja karyawan maliputi: kualitas, produktivitas, pekerjaan dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang terukur, tersedia dan bebas dari pengaruh. Dalam penelitian kinerja dapat diukur dengan tiga ukuran job performance:
1.      Kualitas kerja
2.      Kuantitas kinerja
3.      Kinerja keseluruhan (overall job performance)
Penilaian pribadi karyawan tentang performancenya dan penilaian supervisor terhadap performance karyawannyan menjadi tolok pengukurannya. Kinerja akan muncul apabila seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi mempunyai dasar nilai-nilai yang baik atau luhur. Kemunculan tersebut didorong oleh suatu lingkungan kerja yang kondusif yang disebut “ Quality of Work Life”

D.    Optimisme
Dampak positif dari optimisme terhadap kesehatan fisik dan psikologis, karakteristik ketekunan, prestasi, dan motivasi yang menyebabkan keberhasilan akademis, olahraha, politik, dan pekerjaan telah didokumentasikan dengan baik. Pesimisme juga dikenal menyebabkan kepasifan, kegagalan, kerenggangan sosial, dan yang lebih ekstrem adalah depresi dan kematian. Namun, optimisme dapat mengalami kemunduran, disfungsi, dan kerugian. Misalnya, orang yang memiliki kesehatan baik cenderung optimis dengan kesehatannya di masa datang dan karena itu sering tidak memelihara fisik dan nutrisi yang diperlukan. Atau, dalam sebuah organisasi, manajer yang optimis bisa jadi bingung membuat rencana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Jadi, sementara optimisme semakin diperhatikan dalam psikologi.
Para psikolog kontemporer, dalam mendefinisikan optimisme kembali pada pepatah lama “kekuatan berpikir positif” yang diperkenalkan oleh penulis Norman Vincent Peale dan Dale Carnegie. Psikologi memperlakukan optimisme sebagai karakteristik kognitif berkenaan dengan harapan atas hasil positif dan atau atribusi kausal positif. Optimisme juga sering digunakan dalam hubungannya dengan konstruksi positif lainnya seperti kecerdasan emosi.
Banyak psikolog yang memperlakukan optimisme sebagai perbedaan sifat manusia atau individu. Adapun dimensi optimisme, yaitu.
1.      Optimisme sebagai sifat manusia
Dua filsuf (Sophocles dan Nietzsche) dan psikolog/psikiater (Freud, Allport, Erikson, dan Menninger) secara umum berpikir negatif terhadap optimisme. Mereka berpendapat bahwa optimisme sebagian besar adalah ilusi dan bahwa persepsi yang lebih akurat dari fakta yang sulit merupakan hal yang lebih kondusif untuk fungsi psikologis yang sehat. Namun, mulai tahun 1960-an dan 1970-an psikolog kognitif mulai menunjukkan bahwa banyak orang cenderung punya bias yang lebih positif pada diri sendiri daripada realita yang tidak menarik, dan orang yang sehat secara psikologis punya bias positif.
2.      Optimisme sebagai perbedaan individu
Psikologi modern memperlakukan optimisme sebagai perbedaan individu, bahwa setiap orang memiliki tingkat optimisme yang berbeda-beda. Memperlakukan optimisme sebagai perbedaan individu berfokus pada harapan dan atribusi kausal yang ditentukan secara kognitif. Pendapat Seligman berhubungan secara khusus dengan pendekatan atribusional. Dia menggunakan istilah gaya penjelasan untuk menggambarkan bagaimana biasanyaindividu menghubungkan penyebab kegagalan, ketidakberuntungan, atau kejadian-kejadian buruk. Gaya penjelasan ini merupakan perkembangan karya Seligman sebelumnya mengenai ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness). Dia menemukan bahwa anjing dan manusia ketika menemui kejadian-kejadian yang terus-menerus yang tidak terkontrol, menyiksa, atau aversif akhirnya akan belajar untuk menjadi tidak berdaya. Ketidakberdayaan tersebut digeneralisasikan dengan pernyataan bahwa ketika binatang atau manusia dapat mengontrol dan lolos dari kondisi aversif, mereka masih bertindak dalam sikap tidak berdaya. Mereka bertahan dan menolak untuk menyerah dan menjadi tidak berdaya. Seligman mengembangkan ketidakberdayaan yang dipelajari menjadi atribusi kausal yang digeneralisasikan optimisme dan pesimisme.

Optimisme di Tempat Kerja
            Secara jelas, optimisme dapat menjadi kekuatan yang sangat positif di tempat kerja. Sebagai contoh, orang yang optimis mungkin termotivasi untuk bekerja lebih keras, lebih puas dan punya semangat tinggi, punya tingkat aspirasi yang tinggi dan memperluas tujuan, tekun menghadapi tantangan dan kesulitan, membuat atribusi dari kegagalan seseorang dan mundur sementara, atribusi yang terjadi bukan karena ketidakmampuan pribadi tetapi sebagai suatu kejadian unik dan cenderung merasa nyaman dan kuat secara fisik dan mental.
Aspek negatif optimisme
Perlu diingat bahwa dalam kasus tertentu, optimisme dapat menimbulkan hal yang negatif atau gangguan fungsional. Contohnya, Alex menyatakan bahwa perilaku yang dikendalikan secara positif mungkin dimaksudkan untuk pengejaran hal yang tidak berguna atau tujuan yang tidak realistis. Selain itu, optimisme yang realistis akan menghasilkan kepemimpinan yang yang lebih efektif ketimbang optimisme yang keliru. Juga terdapat pekerjaan tertentu dimana paling tidak sedikit sikap pesimis akan bermanfaat. Misalnya, beberapa pekerjaan teknik seperti teknisi keamanan atau pengawasan keuangan dan pembukuan.
Studi Met Life oleh Seligman
Untuk studi optimisme di tempat kerja, Seligman selangkah lebih maju dalam pekerjaannya di Metropilitan Life Insurance. Ia menguji hipotesis bahwa optimisme dan motivasi dan daya tahan merupakan kunci penjualan yang sukses. Selanjutnya ia melakukan studi skala kecil pada 104 karyawan baru yang mengikuti tes seleksi industry asuransi standar dan ASQ. Dia menemukan bahwa agen asuransi baru lebih optimis daripada kelompok lain yang diuji.
Kebahagiaan atau Subjective Well-Being (SWB)
            Selain optimisme, kebahagiaan juga banyak dikenal dalam psikologi positif. Dalam prakteknya, SWB lebih ilmiah untuk mengartikan istilah kebahagiaan. SWB dianggap luas dan didefinisikan sebagai sisi afektif seseorang (suasana hati dan emosional) dan evaluasi kognitif kehidupan mereka. Dalam arti psikologi, tidak penting seseorang menggunakan kebagiaan atau SWB, tetapi kuncinya adalah bagaimana mereka secara emosional menginterpretasikan dan secara kognitif memproses apa yang terjadi pada mereka.
Latar Belakang SWB
            Karya ED Diener selama tiga dekade terakhir ini berhubungan dengan SWB. Sebagian bagian penting dari gerakan psikologi positif, meningkatnya popularitas dan pentingnya SWB belakangan ini mencerminkan kecenderungan sosial yang menghargai lebih dari uang. Diener mengidentifikasikan komponen-komponen SWB sebagai berikut.
1.      Kepuasan hidup
2.      Kepuasan dengan domain yang penting
3.      Pengaruh positif
4.      Level pengaruh negatif yang rendah
Temperamen dan Disposisi Kepribadian
            Kepribadian telah menjadi predictor yang paling kuat dan konsisten pada SWB. Terdapat beberapa bukti predisposisi temperamen untuk SWB yakni, mungkin orang memiliki kecenderungan genetik untuk menjadi bahagia atau tidak bahagia setelah perjuangan panjang. Ciri kepribadian  (disposisi), seperti ekstroversi, ternyata berhubungan dengan SWB positif, dan neurotisisme berhubungan dengan SWb negatif.

Peranan Tujuan
            Studi terbaru yang berimplikasi pada tempat kerja menemukan bahwa kemajuan dalam mencapai tujuan berhubungan SWB, dan memiliki sumber daya yang mendukung tujuan penting seseorang merupakan predictor SWB yang lebih baik daripada memiliki sumber daya yang kurang berhubungan dengan tujuan penting. Juga ditemukan bahwa orang akan merasa lebih baik sat mereka membuat perkembangan/kemajuan terhadap tujuan yang kurang berharga.

SWB di Tempat Kerja
            Secara khusus SWB berkorelasi langsung dengan kepuasan kerja. Untuk menentukan apakah kepuasan kerja menyebabkan SWB atau sebaliknya, Judge menggunakan desain statistik yang canggih. Ditemukan bahwa SWB merupakan prediktor kepuasan kerja yang signifikan selama lima tahun terakhir, tetapi kepuasan kerja bukan prediktor SWB. Dengan demikian, diketahui bahwa orang yang puas dengan kehidupan mereka cenderung lebih puas dalam pekerjaan mereka.

Resiliensi
            Resiliensi lebih bersifat reaktif daripada proaktif. Dalam psikologi positif, resiliensi didefinisikan sebagai fenomena yang ditandai dengan pola-pola adaptasi positif dalam konteks resiko yang signifikan. Sebagai komponen perilaku organisasi positif, resiliensi dipandang sebagai kapasitas untuk memikul kesukaran, konflik, kegagalan atau bahkan kejadian positif, kemajuan, dan tanggung jawab yang meningkat. Kapasitas untuk memikul kesukaran ini meliputi fleksibilitas, penyesuaian, kemampuan adaptasi, dan responsive secara terus-menerusterhadap perubahan dan ketidakpastian.
            Meskipun penelitian mengenai resiliensi dan adaptasi pada awalnya berfokus pada anak-anak dan remaja, studi terbaru menekankan aspek positif dari resiliensi. Selain itu, resiliensi dipandang bukan hanya sebagai karakteristik manusia yang umumnya diinginkan, tetapi juga sebagai atribut penting dari karyawan, manajer, organisasi, dan bahkan negara. Dalam upaya memenuhi kriteria perilaku organisasi positif, resiliensi mengenai proses ini mendorong munculnya berbagai usaha proaktif untuk menciptakan dan mengembangkan individu dan organisasi yang kuat.
            Berdasarkan penelitian Masten, dkk., resiliensi ternyata dipengaruhi dan dikembangkan oleh tiga faktor, yaitu asset, resiko, dan proses adaptasi. Resiliensi dapat dikembangkan dengan meningkatkan asset yang dimiliki seseorang melalui pendidikan, pelatihan, dan dengan menjaga hubungan sosial, dan secara umum dengan meningkatkan kualitas sumber daya yang tersedia untuk dimiliki seseorang. Faktor resiko dapat dikelola dengan menjaga kesehatan fisik dan psikologis. Proses adaptasi dapat ditingkatkan dengan mengembangkan kapasitas psikologis positif lainnya seperti, efikasi diri, harapan, dan optimisme, juga dengan mengajarkan bagaimana mengatasi masalah dengan efektif, manajemen stress, pemecahan masalah, dan stretegi pencapaian tujuan dan berbagai teknik praktis.
            Karyawan saat ini banyak mengalami resiko dan ketidakpastian yang berhubungan dengan sumber global, perubahan teknologi, penyusutan tenaga kerja, keseimbangan antara kerja-kehidupan, orientasi kehidupan, orientasi layanan pelanggan yang ekstensif, stress, dan kelelahan fisik dan emosi karena stress. Oleh karena itu, resiliensi menjadi faktor yang sangat diperlukan yang dapat mengubah ancaman-ancaman tersebut menjadi kesempatan untuk bertumbuh, berkembang, dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi demi perubahan yang lebih baik.
            Resiliensi merupakan kekuatan positif yang tidak hanya menguntungkan manajer dan karyawan, tetapi juga seluruh organisasi tidak dapat berjalan tanpa resiliensi. Kekacauan dan ketidakstabilan menjadi norma dalam lingkungan bisnis dan hanya organisasi yang dapat mengembalikan sistem adaptasional mereka, cepat merespon lingkungan yang terus berubah, yang dapat berkembang dan terus bertahan dalam keunggulan kompetitif mereka. Misi, visi, dan nilai organisasi yang kuat dan stabil, akan menciptakan rasa solidaritas, arah, dan tujuan, dan hal tersebut meningkatkan budaya perusahaan yang kuat. Perencanaan strategis, kerja tim, desentralisasi, keterlibatan karyawan, dan jalur komunikasi yang terbuka dapat digunakan untuk membangun organisasi yang tangguh yang meyelaraskan tujuan dan sasaran organisasi, unit, dan individu; juga untuk membangun kepercayaan, komitmen, dan sistem adaptasi dan pembelajaran organisasi  yang efektif.

E.     Kecerdasan Emosi
            Meskipun secara tidak langsung berhubungan dengan perilaku organisasi positif sperti optimisme, harapan, SWB, dan resiliensi, kecerdasan emosi yang semakin populer  masih memenuhi criteria untuk POB.

Peran Emosi
            Emosi merupakan reaksi terhadap sebuah objek, bukan suatu trait. Emosi ditujukan pada objek khusus. Emosi dapat berubah menjadi suasana hati saat seseorang kehilangan fokus pada objek kontekstual. Selama bertahun-tahun, emosi menjadi variable utama dalam psikologi. Berbeda dengan konstruksi POB lainnya, emosi telah dibahas dalam  bidang perilaku organisasi.

Proses Emosional
            Dalam istilah populer, emosi muncul dari hati sementara pemikiran rasional muncul dari kepala. Jelas, emosi sering menang daripada pemikiran rasional saat orang memutuskan untuk melakukan sesuatu atau bagaimana mereka berperilaku. Dalam psikologi lama, ciri kepribadian mempunyai pengaruh atau proses emosi yang berbeda. Akan tetapi, baru-baru ini untuk menunjukkan kompleksitas yang lebih realistis, dinyatakan bahwa: 1) keadaan suasana hati berinteraksi dengan perbedaan-perbedaan individu untuk mempengaruhi proses emosional, 2) ciri kepribadian member seseorang keadaan suasana hati tertentu, yang kemudian mempengaruhi proses emosional.

Peranan Kecerdasan
            Kecerdasan memainkan peranan utama dalam psikologi, tetapi peranannya sangat kecil, hampir tidak ada dalam perilaku organisasi. Sekitar ratusan tahun yang lalu, Alfred Binet menciptakan tes tertulis untuk mengukur intelligence quotient (IQ) murid-murid sekolah di Paris. IQ diasumsikan ada sejak lahir dan menjadi prediktor keberhasilan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan.
            Sama halnya dengan kepribadian, terobosan baru dalam penelitian genetika dan ilmu saraf sepertinya memberi dukungan tambahan pada nature (biologis) kecerdasan. Berkenaan dengan nurture terdapat beberapa penemuan pendukung yang menarik. Misalnya, ada beberapa teori dan penelitian yang menyatakan bahwa perlakuan stereotip dapat membantu perbedaan rata-rata nilai IQ antara kelompok yang terstereotip berdasarkan ras, jenis kelamin, umur, dan perbedaan sosial lain.
            Bermula dari dasar teori emosi dan berbagai kecerdasan, Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan sosial sebagai subset kecerdasan sosial yang mencakup kemampuan untuk memonitor perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain, membedakan emosi dan perasaan, dan menggunakan informasi tersebut untuk menuntun pemikiran dan tindakan.

Kecerdasan Emosi di Tempat Kerja
            Pada tingkat individu, elemen kecerdasan emosi dapat diidentifikasi, dinilai, dan di-upgrade. Pada tingkat kelompok, elemen EI berarti pengaturan dinamika interpersonal yang baik yang membuat kelompok menjadi lebih cerdas. Pada tingkat organisasi, elemen EI berarti merevisi hierarki nilai agar kecerdasan emosi menjadi prioritas-dalam konteks penerimaan karyawan, pelatiahan dan pengembangan, evaluasi kinerja dan promosi.
           
F.      Efikasi Diri
Bandura sangat menekankan bahwa efikasi diri adalah mekanisme psikologis yang paling penting dari pengaruh diri. Definisi formal efikasi diri yang biasa digunakan adalah pernyataan Bandura mengenai penilaian atau keyakinan pribadi tentang seberapa baik seseorang dapat melakukan tindakan yang diperlukan untuk berhubungan dengan situasi prospektif. Definisi yang lebih luas dan lebih tepat untuk perilaku organisasi positif diberikan oleh Stajkovic dan Luthans: efikasi diri mengacu pada keyakinan individu mengenai kemampuannya untuk mobilisasi motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar berhasil melaksanakan tugas dalam konteks tertentu.


Daftar Pustaka

Christopher, William F dan Carl G. Thor. 2002. Mutu dan Produktivitas Berkelas Dunia, Lima Belas Strategi untuk Memperbaiki Kinerja. Jakarta: Doublefish Jaya.

Gomes, Faustino Cardoso. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset.
Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. 2007. Perilaku Organisasi Jilid 1. Jakarta: Salemba Empat.
Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. 2007. Perilaku Organisasi Jilid 2. Jakarta: Salemba Empat.

Psikologi Keselamatan Kerja



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Psikologi Keselamatan Kerja
Sebelum membahas apa itu pengertian psikologi keselamatan kerja, terlebih dahulu akan kita lihat arti dari keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam kepentingan sehari-hari, istilah keselamatan dan kesehatan kerja merupakan sesuatu yang terpisah. Namun kebanyakan ahli berpendapat bahwa keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu kesatuan. Covan (1995) mengatakan bahwa keselamatan kerja dalam konteks yang lebih luas, mencakup baik aspek keselamatan maupun aspek kesehatan kerja, Handley (1977) juga mengungkapkan hal senada.
Pengertian keselamatan kerja sendiri yaitu tingkat kebebasan terhadap resiko atau bahaya pada lingkungan kerja (Gloss, 1984). Berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat kita lihat bahwa di dalam istilah keselamatan telah mengandung unsur-unsur kesehatan (unsur resiko, penyakit, bahaya), maka bisa dibilang masalah-masalah kesehatan kerja sudah termasuk dalam keselamatan kerja.
Sedangkan untuk kecelakan kerja, terdapat 2 kelompok pandangan, yaitu pandangan yang pesimistis dan yang optimistis. Pandangan yang pesimistis menganggap kecelakaan kerja sebagai suatu kejadian yang tidak dapat dikontrol dan diprediksikan yang lebih disebabkan oleh faktor ketidakberuntungan dan kesempatan, atau disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak dapat diketahui dan diantisipasi.Pada pandangan optimistis, dikatakan bahwa kecelakaan kerja dapat dikaji secara ilmiah dan memiliki implikasi praktis pada penanganan keselamatan dan kecelakaan kerja.
Psikologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku. Jadi bisa kita simpulkan bahwa pengertian psikologi keselamatan kerja adalah suatu ilmu yang berusaha mempelajari tingkah laku individu dalam berinteraksi dengan lingkungan kerja yang secara khusus berhubungan dengan terbentuknya perilaku aman yang dapat meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja dan mempelajari terbentuknya perilaku tidak aman dalam bekerja yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja.
2.2. Teori-teori Penyebab Terjadinya Kecelakaan Kerja
Bicara mengenai kecelakaan kerja, yang paling mendasar adalah mempertanyakan bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Sejumlah teori penyebab kecelakaan kerja--yang berkembang dari teori-teori psikologi--memberikan pemahaman akan hal ini.
A.    Model Belajar
Satu prinsip belajar yang pokok yaitu adanya penguatan atau reinforcement. Ironisnya, dalam perilaku kerja, reinforcement positif diberikan pada perilaku kerja yang berbahaya. Para pekerja cenderung mengabaikan keselamatan kerja karena mereka menganggap cara-cara yang selamat membutuhkan lebih banyak waktu, lebih banyak pekerjaan, kurang nyaman, tidak menarik, tidak bebas, dan menganggap cara yang tidak aman lebih direstui oleh kelompok.

B.     Model Kognitif
Salah satu bentuk dari aspek kognitif yaitu ingatan. Dalam pekerjaan, semakin banyak yang harus diingat, maka semakin banyak aspek-aspek khusus yang dilupakan. Hal ini menjadi fatal jika dalam prosedur operasi, seorang pekerja lalai sehingga terjadi kesalahan saat mengoperasikan sesuatu.

C.     Model Kepribadian
Teori yang diduga paling berpengaruh yakni accident proneness, dengan hipotesis bahwa beberapa orang tertentu memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mendapatkan kecelakaan daripada yang lain karena adanya seperangkat karakteristik konstitusional yang khas. Pandangan yang ebih realistic dari accident proneness adalah bahwa seseorang lebih banyak atau sedikit untuk cenderung mendapatkan kecelakaan adalah berada di dalam situasi khusus dan kecenderungan tersebut tidak permanen tapi bisa berubah sepanjang waktu (accident-liability theory)

D.    Model Stress
Menyatakan bahwa kecenderungan mendapatkan kecelakaan kerja akan meningkat jika tugas, lingkungan atau stressor individual menurunkan kapasitas individu dalam memenuhi tuntutan tugas, atau jika tuntutan-tuntutan tugas meningkat melebihi jauh di atas kapasitas normal individu.

E.     Model Biologis
Lebih mengacu pada fungsi fisiologis manusia yang menjadi sumber kecelakaan kerja, yaitu yang berhubungan dengan fungsi circadian rhythms (temperature, tekanan darah, pernafasan, gula darah, koordinasi dan fungsi tubuh lain yang bekerja dengan 24 jam) dan biological rhythms (siklus fisikal, emosional dan intelektual).

2.3. IKLIM KESELAMATAN KERJA
Saat ini, isu tentang keselamatan kerja industrial harus didekati melalui perspektif organisasional, yaitu dengan melakukan penekanan pada betapa pentingnya iklim keselamatan kerja di dalam organisasi (Landy,1985). Zohar (1980) seperti dikutip Landy (1985) menyatakan bahwa iklim keselamatan kerja adalah sebuah persepsi pekerja pada sikap manajemen terhadap keselamatan kerja dan persepsi pada sejauh mana kontribusi keselamatan kerja di dalam proses produksi secara umum. Persepsi ini akan mempengaruhi perilaku pekerja, misalnya ketika organisasi tidak memperhatikan perihal keselamatan kerja, maka akan demikian juga dengan pekerjanya.
Dikemukakan oleh Krause (1997) bahwa perubahan dan perkembangan budaya keselamatan kerja di dalam organisasi dipusatkan pada 2arah yaitu ke atas dan ke bawah.Perkembangan budaya keselamatan kerja pada tingkat bawah dicerminkan oleh semakin rendahnya angka kecelakaan kerja dan perkembangan ke atas diindikasikan tampak pada peran manajemen didalam mengelola program keselamatan kerja.
     Budaya organisasi adalah sesuatu yang kompleks. Edgar Schein (Krause,1997) mengemukakan bahwa ada 3 tingkatan didalam budaya organisasi yaitu: lambang-lambang (artifacts), nilai-nilai (values) dan asumsi-asumsi (assumptions).  Tingkatan pertama adalah lambang-lambang yang dapat berupa sesuatu dan prosedur tertulis.Tingkatan kedua adalah nilai-nilai yang berupa prinsip-prinsip sosial, falsafah, tujuan dan standar. Tingkatan ketiga adalah asumsi-asumsi yang menggambarkan kepercayaan-kepercayaan yang sama pada kelompok yang tak ternyatakan atau tidak disadari.
Berdasarkan pembahasan tentang kaitan antara iklim keselamatan kerja dengan budaya keselamatan kerja di dalam organisasi dapat disimpulkan bahwa iklim keselamatan kerja merupakan ciri dan indikator yang penting dari budaya keselamatan kerjaterletak pada organisasi.
Didalam membahas iklim keselamatan kerja dapat digambarkan bahwa betapapun canggihnya program keselamatan kerja yang ada akan menjadi tidak efektif kecuali di dalam organisasi sudah terbentuk persepsi dari pekerja bahwa iklim organisasi benar-benar telah mendukung secar penuh usaha-usaha keselamatan kerja. Jika manajer menunjukkan melalui perilaku yang aman (safety behavior) bahwa mereka benar-benar mengerti dan menerapkan konsep dan praktek-praktek keselamatan kerja, hal ini tergambarkan di dalam perilaku yang aman yang ditumjukkan pekerjanya (Schultz,1990). Bilamana manajemen hanya memberikan tidak lebih dari sekedar lip service untuk keselamatan kerja, gagal menggunakan perlengkepan keselamatan kerja tetapi mereka mengharapkan pekerja menggunakannya atau membolehkan poor housekeeping dan praktek-praktek kerja yang tidak aman maka pekerja akan memiliki sikap yang bertentangan dengan keselamatan kerja dan angka kecelakaan kerja cenderung menjadi tinggi.
Dinyatakan oleh Asfahl (1995) bahwa meskipun sikap pekerja terhadap keselamatan kerja merupakan hal yang penting akan tetapi akan menjadi tidak efektif jika komitmen tentang keselamatan kerja dari manajemen tidak ada. Wexley dan Yulk (1984) menegaskan bahwa faktor tunggal yang paling penting dalam menentukan efektivitas program keselamatan kerja adalah keterlibatan dan komitmen top level management. Perilaku top level management yang menunjukkan keterlibatan dan komitmen terhadap keselamatan kerja antara lain : 1) mengangkat direktur keselamatan kerja pada wewenang dan tingkatan yang tinggi 2) menilai kinerja supervisor dalam aspek pencatatan keselamatan kerja pada bawahannya 3) meminta dengas tegas dipunyainya sistem pencatatan keselamatan kerja yang detail dan berkualitas 4) termasuk gambaran dan laporan tentang keselamatan kerja dam pertemuan umum perusahaan 5) pelaksanaan inspeksi keselamatan kerja oleh top level managers.
Iklim keselamatan kerja menurut Schultz (1970) paling tidak harus meliputi 3 hal yang harus dibuat secara sehat dan menyenangkan yaitu : 1) lingkungan fisik kerja 2) aspek psiko-sosial dari lingkungan komunitas 3) hubungan pekerja-manajemen dan kebijakan kepegawaian.

2.4. ERGONOMIKA
A.    Pengertian
            Istilah Ergonomika berasal dari 2 suku kata bahasa latin, ergon  artinya kerja, dan nomous artinya aturan.Jadi Ergonomika artinya aturan tentang kerja.
            Ergonomika adalah semua hal yang berhubungan dengan bagaimana mendesain tugas-tugas sehingga sesuai dengan orang yang melakukannya (fitting the task to the person).Ergonomika juga mencakup penyesuaian yang berhubungan dengan manusia, bisa berhubungan dengan produk yang digunakan konsumen maupun system yang ada di tempat kerja.Ergonomika mampu meningkatkan kesejahteraan manusia, mengurangi biaya dan peningkatan kualitas dan produktivitas.
            Pada hakikatnya, ergonomika adalah segala sesuatu tentang pemahaman mengenai human beings dan human behavior, yang mencakup sisi anatomi, phisiologi, psikologi manusia, serta bagaimana mendesain segala sesuatu sehingga sesuai dengan kekuatan dan kelemahan dari sisi-sisi manusia tersebut.
            Hal yang terpenting dalam ergonomika adalah pada manusianya atau penggunannya. Misalnya, pada orang yang membeli helm, apakah helm yang dipilih itu sesuai dengan ukuran kepalanya atau tidak, bukan berdasarkan orang tersebut suka dengan model helmnya, akan tetapi hel tersebut tidak cukup dipakai kemudian kepalanya dipaksa menyesuaikan dengan helmnya.
            Ergonomika dan user friendly adalah istilah yang memiliki arti sama. User friendly artinya segala sesuatu mudah dipahami dan diaplikasikan, taraf kesalahan pelaksanaannya kecil, dan manusia merasa dipelakukan dengan baikdalam prosesnya.

B.     Implikasi Ergonomika
            Perencenaan pada tempat kerja mendasarkan diri pada pertimbangan yang berhubungan dengan efisiensi biaya produksi, peletakan mesin pada tempat yang bagus, tanpa mempertanyakan terlebih dulu apakah hal itu telah sesuai dengan orang yang akan mengoprasikannya. Sering dijumpai pengolahan suatu produk hanya didasari oleh ongkos produksi yang murah, atau mungkin karena pertimbangan keindahan saja tanpa memeperdulikan pengguna akhir.
            Unsur-unsur manusia dalam pekerjaan dapat mengakibatkan human eror dan inefisiensi dalam produksi. Organisasi maupun perusahaan bias mengalami kegagalan hanya karena tidak memeperdulikan factor manusianya. Oleh karena itu, penting menerapkan prinsip-prinsip ergonomika secara sistemati, sehingga dapat menghemat biaya dan mengurangi kesalahan dalam desain.Jika setiap produk dan tugas didesain secara ergonomis atau user friendly maka kesalahan-kesalahan dan pemborosan waktu menjadi minimal sehingga menjadi dinikmati pelanggan. Tempat kerja yang user friendly memiliki implikasi-implikasi bahwa pekerja:
1.      Menjadi lebih sehat
2.      Lebih mampu dalam mengerjakan tugas-tugasnya
3.      Memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi
4.      Lebih produktif

C.     Esensi Faktor Manusia
            Tiga hal dasar yang berhubungan dengan faktor manusia dalam membuat desain produk maupun tempat kerja, yaitu :
1.      Manusia Berbeda antara Satu dengan Lainnya
            Sering kali pengaturan tempat kerja dan pekerjaan tidak memperhatikan perbedaan-perbedaan ukuran dan hanya mendasarkan diri pada satu ukuran tetapi berlaku untuk semuanya.Misalnya, pekerja yang ukuran tubuhnya tinggi mungkin bekerja dengan lebih membungkukkan badannya di tempat kerjanya yang kursinya pendek, hal ini dapat menyebabkan gangguan sakit pinggang. Seringkali hal tersebut mengakibatkan pekerja tidak dapat bekerja dengan baik dan tidak bias memenuhi standar kualitas, oleh karena adanya ketidaksesuaian antara pekerja dengan orangnnya.
2.      Manusia Memiliki Keterbatasan-Keterbatasan
            Manusia memiliki keterbatasan baik berupa fisik maupun mental.Secara fisik, tubuh manusia tidak mampu bekerja pada postur dan posisi tidak nyaman untuk periode waktu yang lama, misalnya bekerja dengan badan membungkuk.Manusia memiliki keterbatasan energy sehingga tidak mungkin bekerja sepanjang waktu, oleh karena itu manusia mengalami kelelahan dan membutuhkan istirahat.
3.      Manusia Memiliki Reaksi-Reaksi Prediktif
            Berdasarkan pengalaman selama hidupnya, manusia dapat mempelajari asosiasi antara perilaku dengan tanda-tanda tertentu.Misalnya orang dapat mengasosiasikan warna biru dengan air dingin dan warna merah dengan air panas pada top shower.
            Dengan mendasarkan diri pada reaksi-reaksi yang prediktif, pengembangan desain tempat kerja dan cara-cara operasi mesin dan peralatan dapat dibuat lebih user friendly.Proses-proses kognitif, seperti bagaimana kita berfikir, membuat keputusan, dan bereaksi terhadap sesuatu dapat juga diprediksi.Kondisi stress, kebosanan kerja, gairah semuanya merupakan keadaan-keadaan yang dapat diprediksi.

D.    Prinsip-Prinsip Ergonomika
            Prinsip Ergonomika mencakup 2 hal, yaitu :
1.      Prinsip-Prinsip Fisik
a. Segala sesuatu Harus Mudah Dijangkau
            Jika suatu kontrol atau peralatan ditempatkan pada posisi yang tidak mudah dijankau operator (terlalu jauh atau tersembunyi), maka akan menyebabkan strain pada tubuh, pekerjaan menjadi lebih sulit untuk dilakukan, dan menghabiskan waktu.

b. Bekerja pada Ukuran Ketinggian yang Nyaman
            Permasalahan umum yang biasanya dihadapi oleh pekerja adalah adanya ketidaksesuaian antara ukuran tinggi orang yang harus bekerja dengan alat atau jenis pekerjaan yang harus diselesaikannya. Umumnya, pekerjaan harus diselesaikan dengan posisi siku melebihi tinggi normalnya, karena pekerjaan akan menjadi lebih mudah diselesaikan jika posisi siku tidak terangkat atau sejajar dengan posisi normal. Tapi, apabila melakukan pekerjaan yang lebih berat yang membutuhkan banyak energi harusnya dikerjakan dengan posisi pekerjaan berada di bawah siku, keuntungannya adalah dari sisi mekanik menjadi lebih baik.


2.      Prinsip-Prinsip Kognitif
a. Terstandar
            Terstandar artinya ada aturan baku yang konsisten dalam prosedur operasionalisasi suatu peralatan ataupun pekerjaan. Semua peralatan dan prosedur penyelesaian pekerjaan harus dioperasikan dengan berprinsip pada agreeing on a standard.Dengan peralatan dan prosedur kerja yang terstandar, operator tidak mengalami kebingungan dan bahkan dapat dengan mudah menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya.

b. Penggunaan Stereotipe
            Stereotipe adalah harapan dan fikiran orang tentang adanya sesuatu atau akan terjadinya sesuatu jika berhadapan dengan kode dan obyek tertentu. Contoh stereotipe adalah pada pegangan pintu, saat mau membuka atau menutup, orang akan menggunaka stereotipe terhadap arah pegangan pintu. Stereotipenya adalah pegangan pintu harus digerakkan ke bawah jika ingin membuka membuka atau menutup pintu tersebut.

c. Ada Hubungan antara Tindakan dengan Persepsi
            Secara ideal, antara persepsi mengenai kebutuhan untuk melakukan suatu tindakan tertentu berhubungan erat dengan tindakan itu sendiri. Misalnya pada control mesin, yaitu perintah keyboard computer. Control  "S" untuk fungsi menyimpan lebih mudah diingat dan lebih erat hubungannya dengan persepsi mengenai menyimpan atau saving.

d. Informasi Harus Bisa Dipresentasikan Secara Sederhana
            Dalam suatu desain display mesin terdapat banyak informasi yang berisi perintah bagaimana harus mengoperasikannya. Desain yang baik adalah membuast display yang sederhana di mana informasi yang terkandung dalam display tersebut mudah dimengerti maksudnya oleh operator. Dengan display yang mudah dipahami, maka informasi yang diberikan menjadi valid dan operator bias meberikan balikan informasi melalui control yang tepat pula.

e. Informasi Harus Bisa Disajikan Sesuai dengan Detail yang Dibutuhkan
            Informasi yang disajikan dalam display harus sesuai dengan detil atau  rincian sebagaimana yang dibutuhkan oleh operator atau penggunanya. Display digital merupakan ukuran yang paling baik jika informasi yang disampaikan harus mempersyaratkan ketepatan ukuran. Seperti display digital yang terdapat pada pengukur liter pada pom bensin adalah display yang harus menyajikan ukuran atau  informasi yang rinci, apabila jika ada selisih angka sedikit saja maka hasil ukurannya akan berpengaruh pada konsekuensi-konsekuensi lainnya.

f. Pesan Harus Disajikan dengan Menggunakan Gambar yang Jelas
            Pada beberapa hal, informasi akan mudah ditangkap artinya jika digunakan pesan berupa ikon atau gambar daripada tulisan atau lainnya. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam menyajikan pesan melalui gambar, yaitu gambar harus mudah dilihat (visible), berbeda  (distinguishable), dan mudah diiterprestasikan (interpretable).
g. Satu pesan Hendaknya Digunakan Media yang Bermacam-macam atau   Redundacies
            Adakalanya menyampaiakan satu maksud cukup dengan menggunakan satu pesan saja. Namun karena kesalahan-kesalahan mudah terjadi dan manusia memeiliki keterbatasan-keterbatasan, maka penting untuk menyampaiakan pesan tersebut lebih dari satu cara. Misalnya, jika menulis slip pengambilan atau penyetoran di bank, disitu kita harus menuliskan jumlah uang dalam bentuk angka dan bentuk huruf.

h. Mendasarkan Diri pada Bentuk yang Memiliki Pola Tertentu
            Mata manusia lebih mudah, cepat, dan akurat dalam menangkap informasi yang tersajikan berdasar pola tertentu. Misalnya pada penyajian data, penyajian melalui grafik akan lebih mudah dalam memahami dan menginterprestasikan data angka dibanding melalui diskripsi data kasar. Diagram batang lebih mudah dipakai untuk memahami perbandingan angka-angka. Penyajian melalui diagram batang  memenuhi fungsi bahwa mata manusia akan lebih mudah menangkap makna dari sesuatu yang tersusun berdasar pola-pola tertentu.

i. Perhatian pada Stimulus yang Berubah-ubah
            Manusia lebih mudah mendeteksi stimulus yang bergerak-gerak disbanding stimulus yang diam atau konstan. Misalnya, pada kegiatan-kegiatan training, di mana suasananya menjadi membosankan jika disajikan dengan hanya satu metode saja, untuk menjadikan training tersebut berjalan lebih menarik perhatian bagi para pesertanya maka harus menggunakan macam-macam strategi yang bervariasi.
j. Pemberian Feedback Sesegera Mungkin
            Pemberian umpan balik yang sesegera mungkin terhadap suatu kejadian dapat mencegah terjadinya kesalahan. Misalnya penggunaan kata roger oleh pilot ketika menjawab panggilan dari menara control. Apabila pilot tidak merespon dengan cepat atau bahkan justru tidak ada respon sama sekali, maka itu sudah merupakan indikasi adanya masalah yang menimbulkan kecemasan tersendiri.
2.5. ASPEK-ASPEK PSIKOSOSIAL DALAM KESELAMATAN KERJA
A.    TUNTUTAN KERJA
Efekivitas kerja dari seseorang tidak saja merupakan hasil dari peralatan dan lingkungan kerja,tetapi juga merupakan hasil dari cara bagaimana sebuah tugas dan waktu kerja dialokasikan kepada karyawan serta kontrol apa yang mereka terapkan setelah pekerjaan dilaksanakan. Prinsip pengalokasian kerja yang diterapkan pada model lama seringkali mengarah penyederhanaan tugas dengan membagi tugas sampai sekecil-kecilnya, kemudian mengalokasikannya kepada karyawan yang sangat khusus pula, dan menerangkannya kepada mereka bahwa di dalam tugas tersebut harus dipatuhi adanya mekanisme kontrol komplek dan koordinatif untuk menjamin bahwa bagian-bagian kecil pekerjaan itu harus berjalan bersama dan mengarah kepada satu sasaran bersama. Pendekatan spesialisasi tugas seperti ini telah melahirkan suatu kondisi yang kritis yang mengakibatkan pekerjaan yang amat dangkal,repetitif, kontrol yang kaku yan menyebabkan karyawan kehilangan peluang untuk mencapai kepuasan dan mewujudkan potensi-potensinya.(Galer, 1987).
Dalam pelaksanaan kerja sehari-hari pada kenyataannya banyak karyawan yang overloaded karena banyaknya tuntutan kerja, sehingga menjadi lelah dan mempunyai kecenderungan untuk melakukan kesalahan pada pekerjaan yang dilakukannya pada waktu yang lama tanpa ada istirahat. Hal inilah yang seringkali menjadi penyebab munculnya beban kerja atau work load baik fisik maupun mental yang pada gilirannya akan mempengaruhi performansi kerja. Oleh karena itu untuk membuat kerja agar menjadi baik diperlukan suatu upaya yang mengarah kepada suatu prinsip, yaitu memberikan otonomi yang memadai kepada karyawan untukbertanggung jawab dan menggunakan kemampuannya.
Hal ini bisa dikembangkan ke dalam prinsip-prinsip yang lebih kusus yang meliputi :
1.      Tuntutan  kerja harus rasional secara mental dan bervariasi,
2.      Kerja harus memungkinkan karyawan untuk terus belajar secara kontinyu,
3.      Karyawan harus memiliki wilayah minimal dalam pengambilan keputusan,
4.      Upaya dan capaian-capaian karyawan harus terlihat di tempat kerja,
5.      Kerja harus berhubungan dengan kehidupan lain seperti arti kerja dalam kehidupannya,
6.      Kerja harus memungkinkan untuk timbulnya suatu perasaan tentang masa depan (Galer, 1987)
Secara umum tuntutan kerja dibagi dalam 2 kategori, yaitu tuntutan kerja secara fisik (physical job demands) dan tuntutan kerja mental (mental job demands).
1.      Tuntutan Kerja Fisik (Physical Job Demands)
Tuntutan kerja fisik adalah suatu kondisi yang secara langsung berasal dari beban kerja fisik (physical work load) dan mempengaruhi tubuh atau membutuhkan tubuh untuk menggunakan posture tertentu selama waktu tertentu. Oleh karena tubuh manusia memiliki keterbatasan kapasitas maka akan ditemui adanya ketidaksesuaian antara kondisi tubuh dengan beban kerja fisik.
2.      Tuntutan Kerja Mental (Mental Job Demands)
Tuntutan kerja mental adalah  suatu kondisi yang secara langsung berhubungan dengan proses-proses mental apa saja yang terlibat dan dibutuhkan dalam bekerja.
B.     SIMPTOM
Simptom adalah keluhan yang merupakan indikasi dari adanya suatu keadaan dalam diri pekerja yang sedang sakit yang berhubungan dengan kondisi-kondisi tempat kerja.Perasaan tertekan seperti nervous, tertekan dan kesulitan tidur dihubungkan dengan keluhan-keluhan pada punggung.Simptom yang berhubungan dengan kerja bisa merupakan manifestasi dari stres pada tubuh maupun pikiran pekerja.Simptom ini bisa dibagi dalam 2 kategori, yaitu simptom fisik (physical symptom) dan simptom mental (mental symptom).
1.      Gejala Fisik (Physical Symptom)
Gejala fisik berhubungan dengan keadaan sakit pada bagian-bagian tubuh tertentu.
2.      Gejala Mental (Mental Symptom)
Gejala mental berhubungan dengan suatu keadaan keluhan yang terasa dalam psikis seseorang, misalnya merasa lelah atau tidak ada girah, sangat lelah setelah bekerja, tertekan oleh persyaratan dan waktu kerja, merasa tertekan, merasa marah, tak bersemangat dan lain-lain.(Waluyo, 1984).
C.     KEBISINGAN
Gales (1987) menyebutkan 3 alasan utama mengapa kebisingan bisa dianggap sebagai suatu masalah yang harus diperhatikan oleh organisasi industri. Pertama kebisingan tidak disukai orang kedua ia merusak pendengaran dan ketiga bisa berpengaruh buruk pada efisiensi kerja. Diterangkan oleh Bridger (1995) bahwa kebisingan adalah salah satu pencemaran yang berasal dari penerapan teknologi.
Lebih lanjut Bridger (1995) mengatakan bahwa kebisingan adalah bunyi atau bunyi-bunyian pada amplitudo tertentu yang menyebabkan gangguan atau mempengaruhi komunikasi.Sedangkan bunyi adalah sensasi auditory yang dihasilkan leh gelombang energy yang merambat melalui media sampai ke telinga.Bunyi dapat diukur secara obyektif sedangkan kebisingan adalah fenomena subyektif.
Idealnya tingkat kebisingan dapat diatur pada tingkat 55-60 dB.Tetapi hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, misalnya bunyi mesin-mesin di pabrik, pekerjaan-pekerjaan di bengkel, yang tingkat kebisingannya sukar untuk diturunkan, maka telinga pekerja harus diproteksi.Ada 2 bentuk alat proteksi pendengaran yaitu earplugs dan earmuffs.
D.    SHIFT KERJA
Shift kerja dijalankan jika 2 karyawan atau lebih yang merupakan kelompok bekerja dalam urutan waktu dan pada tempat kerja yang sama. Sering setiap shift kerja seorang karyawan diulang dengan pola yang sama. Dengan kecenderungan ini maka jumlah hari dan jam kerja semakin berkurang, menjadikan karyawan memperoleh weekend 2 hari untuk bebas kerja sehingga bisa mengurangi kelelahan kecelakaan kerja dan memperoleh kapasitas kerja baru.
Pada saat sekarang ini hampir semua industri menerapkan sistem produksi yang kontinyu.Selain untuk mengoptimalkan daya kerja mesin-mesin industri yang umumnya mahal, juga untuk meningkatkan keuntungan perusahaan.Akibatnya para karyawan juga bekerja pada malam hari.
Dalam kaitannya dengan produktivitas dan frekuensi kecelakaan kerja dalam hal ini masih menjadi perdebatan. Akan tetapi diasumsikan, bahwa bekerja pada malam hari akan menurunkan produktivitas dan meningkatkan kecelakaan kerja.
Ada 2 persyaratan yang harus diperhatikan dalam pengatur shift (shift rotation), yaitu (1) kehilangan tidur sedapat-dapatnya dikurangi dan hal ini akan meminimalkan kelelahan dan (2) harus ada waktu yang cukup bagi kehidupan keluarga dan kontak sosial (Grandjean, 1988).
Pemilihan pada model shift kerja sering dipengaruhi oleh alasan-alasan ekonomi, dan organisasional. Seseorang menerima sistem shift kerja tertentu ditentukan oleh keseimbangan pertimbangan profesional dan personal, termasuk aspek fisiologis, psikologis, dan sosial.
E.     PELECEHAN SEKSUAL DI TEMPAT KERJA
Hal demikian juga berlaku untuk kaum perempuan.Namun permasalahan yang dihadapi perempuan di tempat kerja jauh lebih kompleks dibanding pekerja laki-laki.Salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja, yang sudah berlangsung sejak lama dan bahkan sudah terjadi sejak pertama kali masuknya perempuan di tempat kerja, dan yang hingga saat ini juga masih terjadi adalah pelecehan seksual.
Secara umum pelaku pelecehan seksual adalah laki-laki dan korbannya adalah perempuan.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelecehan seksual 88.1% dilakukan oleh supervisor dan 30% oleh coworker atau teman sekerjanya.Sedangkan korban 70% adalah perempuan dan sedikit sekali korban laki-laki.



BAB III
ANALISA KASUS

Banyak orang mengira pesawat terbang merupakan satu transportasi yang paling aman, tapi tahukah kalian, menurut National Geographic kecelakaan pesawat terbang merupakan kejadian yang paling banyak memakan korban jiwa. Tak terkecuali di Indonesia, salah satu kecelakaan yang cukup fatal yaitu kecelakaan pesawat pada tahun 2007 lalu. Berikut kasusnya.
“Jakarta: Komisi Nasional Keselamatan Transportasi mengeluarkan laporan akhir tentang hasil investigasi dan penelitian kecelakaan Pesawat Boeing 737-497 milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia di Bandar Udara Adi Sucipto, Yogyakarta. KNKT juga mengeluarkan beberapa rekomendasi terkait keselamatan penerbangan.
KNKT menemukan sejumlah fakta terkait kecelakaan pesawat Garuda, GA-200. Pilot menurunkan pesawat terlalu tajam untuk mencapai landasan pacu. Hal ini mengakibatkan kecepatan pesawat melampaui kecepatan sesuai prosedur yang berlaku. Ditemukan pula adanya penyimpangan pelaksanaan yang direkomendasikan dan tidak dilaksanakannya standard operasional prosedur penerbangan.
KNKT juga mengungkapkan kurangnya koordinasi di antara awak pesawat. Selain itu, airport emergency plan dan pelaksanaannya dinilai kurang efektif. Meski demikian, Ketua KNKT Tatang Kurniadi menegaskan KNKT tidak memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti secara hukum hasil investigasi tersebut. Menurutnya, kewenangan KNKT hanya sebatas memberikan laporan atas investigasi terhadap kecelakaan pesawat tersebut.
Berdasarkan penyelidikan ini, KNKT mengeluarkan rekomendasi untuk meningkatkan keselamatan penerbangan nasional. Rekomendasi tersebut meliputi prosedur operasi penerbangan, termasuk pelatihan dan pemeriksaan. Direkomendasikan pula pengawasan keselamatan penerbangan oleh pemerintah atau regulator. Salah satunya dengan mengembalikan fungsi alat perekam penerbangan, airport emergency plan dan peralatan bandara lainnya.
Pesawat Boeing 737-497 ini mengalami kecelakaan pada 7 Maret 2007. Pesawat hancur akibat benturan dan terbakar mengalami karena bahan bakar bocor setelah benturan. Dalam kejadian ini, 119 orang dinyatakan selamat. Sementara seorang awak kabin dan 20 penumpang tewas serta 12 lainnya mengalami luka berat.” (sumber: metrotv.com)

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kita akan melihat kasus kecelakaan ini melalui pandangan optimis tentang kecelakaan kerja. Menurut pandangan ini disebutkan bahwa kecelakaan merupakan kejadian yang memiliki sifat ‘terencana’ dan ‘terharapkan’. Terencana disini mempunyai maksud bahwa kecelakaan terjadi karena sudah ada kejadian yang mendahului, baik itu berupa kondisi atau tindakan yang tidak aman. Kita dapat melihat pada kasus di atas banyak sekali tindakan yang tidak aman, kebanyakan disebabkan oleh human error. Selain disebabkan oleh koordinasi awak pesawat yang kurang, pihak bandara juga kurang maksimal dalam menanggulangi kecelakaan. Beruntung KNKTI cepat mengambil tindakan dengan mengeluarkan rekomendasi untuk meningkatkan keselamatan penerbangan nasional.
Pesawat Indonesia sempat dilarang terbang ke Eropa oleh otoritas European Aviation Safety Agency hingga tahun 2009 karena dalam kurun waktu tersebut sering terjadi kecelakaan pesawat yang merenggut lebih dari 10 korban jiwa (termasuk kategori 1, fatal tragedy).



BAB IV
KESIMPULAN

Psikologi keselamatan kerja adalah merupakan suatu kondisi  fisik, mental dan sosial seseorang yang tidak saja bebas dari penyakit atau gangguan kesehatan melainkan juga menunjukan kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan pekerjaannya, terdapat 2 kelompok pandangan untuk kecelakaan kerja, yaitu pandangan yang pesimistis dan yang optimistis.
Sejumlah teori penyebab kecelakaan kerja--yang berkembang dari teori-teori psikologi, yaitu Model belajar Satu prinsip belajar yang pokok yaitu adanya penguatan atau reinforcement, Model Kognitif, Model Kepribadian, Model Stress, Model Biologis.
Iklim keselamatan kerja merupakan ciri dan indikator yang penting dari budaya keselamatan kerja terletak pada organisasi. Yang berupa peraturan dan standar yang ditetapkan oleh organisasi. Faktor yang juga berpengaruh adalah bagaimana manajemen, dalam hal ini pimpinan menyampaikan aturan dan standar kesehatan dan keselamatan kerja serta bagaimana memotivasi bawahan. 
Ergonomika adalah segala sesuatu tentang pemahaman mengenai human beings dan human behavior, yang mencakup sisi anatomi, phisiologi, psikologi manusia, serta bagaimana mendesain segala sesuatu sehingga sesuai dengan kekuatan dan kelemahan dari sisi-sisi manusia tersebut. User friendly artinya segala sesuatu mudah dipahami dan diaplikasikan, taraf kesalahan pelaksanaannya kecil, dan manusia merasa dipelakukan dengan baik dalam prosesnya. Terdapat  Implikasi, esensi faktor, serta  prinsip-prinsip mengenai ergonomika.
Aspek-aspek psikososial dalam keselamatan kerja terdapat tuntutan kerja yang terbagi menjadi dua macam yaitu tuntutan kerja fisik dan tuntutan kerja mental, simptom merupakan keluhan indikasi dari adanya suatu keadaan dalam diri pekerja yang sedang sakit berhubungan dengan kondisi tempat kerja ada yang berupa gejala fisik dan gejala mental, kebisingan terdapat dua bentuk proteksi pendengaran yaitu earplugs dan earmuffs, shift kerja apabila dijalankan 2 karyawan atau lebih yang merupakan kelompok bekerja dalam urutan waktu dan pada tempat kerja yang sama, dan pelecehan seksual ditempat kerja.


DAFTAR PUSTAKA

Sjubadhyni, Bertina, dkk. (2001) Perkembangan Kualitas SDM dari Perspektif PIO.      
Depok, Penerbit bagian PIO Fakultas Psikologi UI.

Winarsono, Tulus. (2008) Psikologi Keselamatan Kerja. Malang, Penerbitan
Universitas Muhammadiyah.