BAB II
LANDASAN TEORI
A. Quality
of Work Life
Menurut
Robbins Quality of Work Life (QWL) merupakan sebuah proses dimana
organisasi memberikan respon pada kebutuhan karyawan dengan cara mengembangkan
mekanisme untuk mengijinkan para karyawan memberikan sumbang saran penuh dan
ikut serta mengambil keputusan dan mengatur kehidupan kerja mereka dalam suatu
perusahaan. Beberapa hal yang termasuk dalam QWL adalah keamanan kerja, sistem
penghargaan yang lebih baik, gaji yang lebih baik, kesempatan untuk
mengembangkan diri, partisipasi dan meningkatkan produktivitas organisasi di
antara mereka.
Dampak
positif dari QWL adalah memperbaiki kondisi kerja (utamanya dari perspektif
karyawan) dan efektivitas organisasi lebih besar. Situasi yang seimbang antara
perusahaan dan karyawan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan produktivitas
perusahaan. Dampak positif lainnya misal, pengurangan mangkirnya karyawan,
rendahnya karyawan yang pindah/keluar dan dapat meningkatkan kepuasan kerja
karyawan. QWL tidak hanya berkontribusi pada kemampuan organisai untuk merekrut
kualitas karyawan tetapi juga meningkatkan perusahaan menjadi lebih kompetitif.
QWL
juga memberikan dampak positif, organisasi akan lebih fleksibel. Membuat
karyawan lebih loyal, sehinggan merupakan suatu hal yang esensial sebagai
kekuatan bersaing dari perusahaan, di samping meningkatkan kemajuan sumber daya
manusia meliputi pelatihan, seleksi karyawan, dan pengukuran persepsi kinerja
karyawan.
Dalam
pendekatan SDM berarti semua dan setiap organisasi harus mampu menciptakan rasa
aman dan kepuasan kerja, agar SDM di lingkungannya menjadi kompetitif. QWL
dimaksud terdapat pada lingkungan masing-masing menjadi kompetitif. Dengan QWL
yang menjadikan SDM kompetitif, maka secara keseluruhan organisasi akan menjadi
kompetitif pula dalam mewujudkan eksistensinya.
Adapun criteria yang digunakan dalam penelitian yaitu,
gaji dan kesejahteraan, kesempatan untuk mengembangkan diri, keamanan kerja,
kebanggan pada pekerjaan dan sekolah, keterbukaan dan keadilan, kepercayaan dan
keramahan (R. S. M. Lau, Bruce E. May, 1998)
B. Kepuasan
Kerja
Kepuasan
kerja merupakan suatu keadaan emosi yang positif sebagai hasil dari penilaian
seseorang atau pengalaman kerja seseorang (Luthans, 1989). Sedangkan
dalam Davis and Newston (1996) dinyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai
seperangkat aturan yang menyangkut tentang perasaan menyenangkan dan tidak
menyenangkan berhubungan dengan pekerjaan mereka. Kepuasan kerja merujuk ke
sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan
kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap pekerjaan itu: seseorang yang
tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif terhadap kerja
itu (Stephen Robbins, 1996).
Karyawan
yang tergabung dalam suatu organisasi membawa seperangkat keinginan, kebutuhan,
hasrat, dan pengalaman masa lalu yang menyatu membentuk harapan kerja. Kepuasan
kerja menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul dan imbalan
yang disediakan pekerjaan (A. Dale Timpe, 1994). Ketidakpuasan kerja
muncul saat harapan-harapan individu akan pekerjaannya tidak terpenuhi (Robert
L. Mathis and John H. Jackson, 2001).
Menurut
Robbins (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawan
adalah.
1.
Kerja yang secara mental
menantang
Karyawan cenderung lebih menyukai
pekerjaan-pekerjaan yang member mereka kesempatan untuk menggunakan
keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan
umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan. Karakteristik ini membuat
kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang
menciptakan kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang menciptakan
frustrasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan
karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.
2.
Ganjaran yang pantas
Para karyawan menginginkan sistem upah dan
kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil dan setara dengan
pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada
tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan
komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Banyak orang bersedia
menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih
diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut keleluasaan yang lebih
besar dalam kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi kunci yang
relevan dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan, lebih penting
adalah persepsi keadilan.
3.
Kondisi kerja yang
mendukung
Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik
untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan tugas yang baik. Studi-studi
memperagakan bahwa kayawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak
berbahaya. Temperature, cahaya, derau, dan faktor-faktor lingkungan lain
seharusnya tidak ekstrem. Di samping itu karyawan cenderung menyukai bekerja
dekat dengan rumah, dalam fasilitas yang bersih dan relative modern, dan dengan
alat-alat serta peralatan yang memadai.
4.
Rekan kerja yang mendukung
Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga
mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidak mengherankan
bila mempunyai rekan kerja yang ramah dan mendukung kepuasan kerja. Perilaku
atasan seseorang juga merupakan determinan utama dari kepuasan. Umumnya studi
mendapatkan bahwa kepuasan karyawan meningkat apabila manajer bersifat ramah
dan dapat memahami, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan
pendapat karyawan, dan menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka.
Quality of work life berhubungan erat
dengan lingkungan kerja yang kondusif dan kepuasan kerja.
C. Kinerja
Karyawan
Kinerja
karyawan mengacu pada prestasi yang diukur berdasarkan standar yang ditetapkan
oleh perusahaan. Pengelolaan untuk mencapai kinerja karyawan yang tinggi
terutama dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Menurut
Income Data Service, London dari penelitiannya mengenai criteria
pengukuran kinerja menyimpulkan bahwa faktor-faktor kinerja yang paling sering
digunakan sebagai indikator penelitian adalah: pengetahuan, kemampuan, dan
keterampilan kerja, sikap terhadap pekerjaan (antusiasme, komitmen, dan
motivasi), kualitas kerja, volume hasil produksi dan interaksi (komunikasi,
hubungan, dan kelompok). Dessler (1997) memberikan contoh
criteria penilaian kinerja karyawan maliputi: kualitas, produktivitas,
pekerjaan dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang terukur, tersedia dan bebas
dari pengaruh. Dalam penelitian kinerja dapat diukur dengan tiga ukuran job
performance:
1.
Kualitas kerja
2.
Kuantitas kinerja
3.
Kinerja keseluruhan
(overall job performance)
Penilaian pribadi karyawan tentang performancenya dan
penilaian supervisor terhadap performance karyawannyan menjadi tolok
pengukurannya. Kinerja akan muncul apabila seseorang atau sekelompok orang
dalam organisasi mempunyai dasar nilai-nilai yang baik atau luhur. Kemunculan
tersebut didorong oleh suatu lingkungan kerja yang kondusif yang disebut “
Quality of Work Life”
D. Optimisme
Dampak
positif dari optimisme terhadap kesehatan fisik dan psikologis, karakteristik
ketekunan, prestasi, dan motivasi yang menyebabkan keberhasilan akademis,
olahraha, politik, dan pekerjaan telah didokumentasikan dengan baik. Pesimisme
juga dikenal menyebabkan kepasifan, kegagalan, kerenggangan sosial, dan yang
lebih ekstrem adalah depresi dan kematian. Namun, optimisme dapat mengalami
kemunduran, disfungsi, dan kerugian. Misalnya, orang yang memiliki kesehatan
baik cenderung optimis dengan kesehatannya di masa datang dan karena itu sering
tidak memelihara fisik dan nutrisi yang diperlukan. Atau, dalam sebuah
organisasi, manajer yang optimis bisa jadi bingung membuat rencana tindakan
yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Jadi, sementara optimisme semakin
diperhatikan dalam psikologi.
Para
psikolog kontemporer, dalam mendefinisikan optimisme kembali pada pepatah lama
“kekuatan berpikir positif” yang diperkenalkan oleh penulis Norman Vincent
Peale dan Dale Carnegie. Psikologi memperlakukan optimisme sebagai
karakteristik kognitif berkenaan dengan harapan atas hasil positif dan atau
atribusi kausal positif. Optimisme juga sering digunakan dalam hubungannya
dengan konstruksi positif lainnya seperti kecerdasan emosi.
Banyak
psikolog yang memperlakukan optimisme sebagai perbedaan sifat manusia atau
individu. Adapun dimensi optimisme, yaitu.
1.
Optimisme sebagai sifat
manusia
Dua
filsuf (Sophocles dan Nietzsche) dan psikolog/psikiater (Freud, Allport,
Erikson, dan Menninger) secara umum berpikir negatif terhadap optimisme. Mereka
berpendapat bahwa optimisme sebagian besar adalah ilusi dan bahwa persepsi yang
lebih akurat dari fakta yang sulit merupakan hal yang lebih kondusif untuk
fungsi psikologis yang sehat. Namun, mulai tahun 1960-an dan 1970-an psikolog
kognitif mulai menunjukkan bahwa banyak orang cenderung punya bias yang lebih
positif pada diri sendiri daripada realita yang tidak menarik, dan orang yang
sehat secara psikologis punya bias positif.
2.
Optimisme sebagai
perbedaan individu
Psikologi
modern memperlakukan optimisme sebagai perbedaan individu, bahwa setiap orang
memiliki tingkat optimisme yang berbeda-beda. Memperlakukan optimisme sebagai
perbedaan individu berfokus pada harapan dan atribusi kausal yang ditentukan
secara kognitif. Pendapat Seligman berhubungan secara khusus dengan pendekatan
atribusional. Dia menggunakan istilah gaya penjelasan untuk menggambarkan
bagaimana biasanyaindividu menghubungkan penyebab kegagalan,
ketidakberuntungan, atau kejadian-kejadian buruk. Gaya penjelasan ini merupakan
perkembangan karya Seligman sebelumnya mengenai ketidakberdayaan yang
dipelajari (learned helplessness). Dia menemukan bahwa anjing dan
manusia ketika menemui kejadian-kejadian yang terus-menerus yang tidak
terkontrol, menyiksa, atau aversif akhirnya akan belajar untuk menjadi tidak
berdaya. Ketidakberdayaan tersebut digeneralisasikan dengan pernyataan bahwa
ketika binatang atau manusia dapat mengontrol dan lolos dari kondisi aversif,
mereka masih bertindak dalam sikap tidak berdaya. Mereka bertahan dan menolak
untuk menyerah dan menjadi tidak berdaya. Seligman mengembangkan
ketidakberdayaan yang dipelajari menjadi atribusi kausal yang digeneralisasikan
optimisme dan pesimisme.
Optimisme
di Tempat Kerja
Secara jelas, optimisme dapat
menjadi kekuatan yang sangat positif di tempat kerja. Sebagai contoh, orang
yang optimis mungkin termotivasi untuk bekerja lebih keras, lebih puas dan
punya semangat tinggi, punya tingkat aspirasi yang tinggi dan memperluas tujuan,
tekun menghadapi tantangan dan kesulitan, membuat atribusi dari kegagalan
seseorang dan mundur sementara, atribusi yang terjadi bukan karena
ketidakmampuan pribadi tetapi sebagai suatu kejadian unik dan cenderung merasa
nyaman dan kuat secara fisik dan mental.
Aspek
negatif optimisme
Perlu
diingat bahwa dalam kasus tertentu, optimisme dapat menimbulkan hal yang
negatif atau gangguan fungsional. Contohnya, Alex menyatakan bahwa perilaku
yang dikendalikan secara positif mungkin dimaksudkan untuk pengejaran hal yang
tidak berguna atau tujuan yang tidak realistis. Selain itu, optimisme yang
realistis akan menghasilkan kepemimpinan yang yang lebih efektif ketimbang
optimisme yang keliru. Juga terdapat pekerjaan tertentu dimana paling tidak
sedikit sikap pesimis akan bermanfaat. Misalnya, beberapa pekerjaan teknik
seperti teknisi keamanan atau pengawasan keuangan dan pembukuan.
Studi
Met Life oleh Seligman
Untuk
studi optimisme di tempat kerja, Seligman selangkah lebih maju dalam
pekerjaannya di Metropilitan Life Insurance. Ia menguji hipotesis bahwa
optimisme dan motivasi dan daya tahan merupakan kunci penjualan yang sukses.
Selanjutnya ia melakukan studi skala kecil pada 104 karyawan baru yang
mengikuti tes seleksi industry asuransi standar dan ASQ. Dia menemukan bahwa
agen asuransi baru lebih optimis daripada kelompok lain yang diuji.
Kebahagiaan
atau Subjective Well-Being (SWB)
Selain optimisme, kebahagiaan juga
banyak dikenal dalam psikologi positif. Dalam prakteknya, SWB lebih ilmiah
untuk mengartikan istilah kebahagiaan. SWB dianggap luas dan didefinisikan
sebagai sisi afektif seseorang (suasana hati dan emosional) dan evaluasi
kognitif kehidupan mereka. Dalam arti psikologi, tidak penting seseorang
menggunakan kebagiaan atau SWB, tetapi kuncinya adalah bagaimana mereka secara
emosional menginterpretasikan dan secara kognitif memproses apa yang terjadi
pada mereka.
Latar
Belakang SWB
Karya ED Diener selama tiga dekade
terakhir ini berhubungan dengan SWB. Sebagian bagian penting dari gerakan
psikologi positif, meningkatnya popularitas dan pentingnya SWB belakangan ini
mencerminkan kecenderungan sosial yang menghargai lebih dari uang. Diener
mengidentifikasikan komponen-komponen SWB sebagai berikut.
1.
Kepuasan hidup
2.
Kepuasan dengan domain
yang penting
3.
Pengaruh positif
4.
Level pengaruh negatif yang
rendah
Temperamen dan Disposisi Kepribadian
Kepribadian telah menjadi predictor
yang paling kuat dan konsisten pada SWB. Terdapat beberapa bukti predisposisi
temperamen untuk SWB yakni, mungkin orang memiliki kecenderungan genetik untuk
menjadi bahagia atau tidak bahagia setelah perjuangan panjang. Ciri
kepribadian (disposisi), seperti
ekstroversi, ternyata berhubungan dengan SWB positif, dan neurotisisme
berhubungan dengan SWb negatif.
Peranan Tujuan
Studi terbaru yang berimplikasi pada
tempat kerja menemukan bahwa kemajuan dalam mencapai tujuan berhubungan SWB,
dan memiliki sumber daya yang mendukung tujuan penting seseorang merupakan
predictor SWB yang lebih baik daripada memiliki sumber daya yang kurang
berhubungan dengan tujuan penting. Juga ditemukan bahwa orang akan merasa lebih
baik sat mereka membuat perkembangan/kemajuan terhadap tujuan yang kurang
berharga.
SWB di Tempat Kerja
Secara khusus SWB berkorelasi
langsung dengan kepuasan kerja. Untuk menentukan apakah kepuasan kerja
menyebabkan SWB atau sebaliknya, Judge menggunakan desain statistik yang
canggih. Ditemukan bahwa SWB merupakan prediktor kepuasan kerja yang signifikan
selama lima tahun terakhir, tetapi kepuasan kerja bukan prediktor SWB. Dengan
demikian, diketahui bahwa orang yang puas dengan kehidupan mereka cenderung
lebih puas dalam pekerjaan mereka.
Resiliensi
Resiliensi
lebih bersifat reaktif daripada proaktif. Dalam psikologi positif, resiliensi
didefinisikan sebagai fenomena yang ditandai dengan pola-pola adaptasi positif
dalam konteks resiko yang signifikan. Sebagai komponen perilaku organisasi
positif, resiliensi dipandang sebagai kapasitas untuk memikul kesukaran,
konflik, kegagalan atau bahkan kejadian positif, kemajuan, dan tanggung jawab
yang meningkat. Kapasitas untuk memikul kesukaran ini meliputi fleksibilitas,
penyesuaian, kemampuan adaptasi, dan responsive secara terus-menerusterhadap
perubahan dan ketidakpastian.
Meskipun penelitian mengenai
resiliensi dan adaptasi pada awalnya berfokus pada anak-anak dan remaja, studi
terbaru menekankan aspek positif dari resiliensi. Selain itu, resiliensi
dipandang bukan hanya sebagai karakteristik manusia yang umumnya diinginkan,
tetapi juga sebagai atribut penting dari karyawan, manajer, organisasi, dan
bahkan negara. Dalam upaya memenuhi kriteria perilaku organisasi positif,
resiliensi mengenai proses ini mendorong munculnya berbagai usaha proaktif
untuk menciptakan dan mengembangkan individu dan organisasi yang kuat.
Berdasarkan penelitian Masten, dkk.,
resiliensi ternyata dipengaruhi dan dikembangkan oleh tiga faktor, yaitu asset,
resiko, dan proses adaptasi. Resiliensi dapat dikembangkan dengan meningkatkan asset
yang dimiliki seseorang melalui pendidikan, pelatihan, dan dengan menjaga
hubungan sosial, dan secara umum dengan meningkatkan kualitas sumber daya yang
tersedia untuk dimiliki seseorang. Faktor resiko dapat dikelola dengan menjaga
kesehatan fisik dan psikologis. Proses adaptasi dapat ditingkatkan dengan
mengembangkan kapasitas psikologis positif lainnya seperti, efikasi diri,
harapan, dan optimisme, juga dengan mengajarkan bagaimana mengatasi masalah
dengan efektif, manajemen stress, pemecahan masalah, dan stretegi pencapaian
tujuan dan berbagai teknik praktis.
Karyawan saat ini banyak mengalami
resiko dan ketidakpastian yang berhubungan dengan sumber global, perubahan
teknologi, penyusutan tenaga kerja, keseimbangan antara kerja-kehidupan,
orientasi kehidupan, orientasi layanan pelanggan yang ekstensif, stress, dan
kelelahan fisik dan emosi karena stress. Oleh karena itu, resiliensi menjadi
faktor yang sangat diperlukan yang dapat mengubah ancaman-ancaman tersebut
menjadi kesempatan untuk bertumbuh, berkembang, dan meningkatkan kemampuan
untuk beradaptasi demi perubahan yang lebih baik.
Resiliensi merupakan kekuatan
positif yang tidak hanya menguntungkan manajer dan karyawan, tetapi juga
seluruh organisasi tidak dapat berjalan tanpa resiliensi. Kekacauan dan
ketidakstabilan menjadi norma dalam lingkungan bisnis dan hanya organisasi yang
dapat mengembalikan sistem adaptasional mereka, cepat merespon lingkungan yang
terus berubah, yang dapat berkembang dan terus bertahan dalam keunggulan
kompetitif mereka. Misi, visi, dan nilai organisasi yang kuat dan stabil, akan
menciptakan rasa solidaritas, arah, dan tujuan, dan hal tersebut meningkatkan
budaya perusahaan yang kuat. Perencanaan strategis, kerja tim, desentralisasi,
keterlibatan karyawan, dan jalur komunikasi yang terbuka dapat digunakan untuk
membangun organisasi yang tangguh yang meyelaraskan tujuan dan sasaran
organisasi, unit, dan individu; juga untuk membangun kepercayaan, komitmen, dan
sistem adaptasi dan pembelajaran organisasi
yang efektif.
E.
Kecerdasan Emosi
Meskipun secara tidak langsung
berhubungan dengan perilaku organisasi positif sperti optimisme, harapan, SWB,
dan resiliensi, kecerdasan emosi yang semakin populer masih memenuhi criteria untuk POB.
Peran
Emosi
Emosi merupakan reaksi terhadap
sebuah objek, bukan suatu trait. Emosi ditujukan pada objek khusus. Emosi dapat
berubah menjadi suasana hati saat seseorang kehilangan fokus pada objek
kontekstual. Selama bertahun-tahun, emosi menjadi variable utama dalam
psikologi. Berbeda dengan konstruksi POB lainnya, emosi telah dibahas
dalam bidang perilaku organisasi.
Proses
Emosional
Dalam istilah populer, emosi muncul
dari hati sementara pemikiran rasional muncul dari kepala. Jelas, emosi sering
menang daripada pemikiran rasional saat orang memutuskan untuk melakukan
sesuatu atau bagaimana mereka berperilaku. Dalam psikologi lama, ciri
kepribadian mempunyai pengaruh atau proses emosi yang berbeda. Akan tetapi,
baru-baru ini untuk menunjukkan kompleksitas yang lebih realistis, dinyatakan
bahwa: 1) keadaan suasana hati berinteraksi dengan perbedaan-perbedaan individu
untuk mempengaruhi proses emosional, 2) ciri kepribadian member seseorang
keadaan suasana hati tertentu, yang kemudian mempengaruhi proses emosional.
Peranan
Kecerdasan
Kecerdasan memainkan peranan utama
dalam psikologi, tetapi peranannya sangat kecil, hampir tidak ada dalam
perilaku organisasi. Sekitar ratusan tahun yang lalu, Alfred Binet menciptakan
tes tertulis untuk mengukur intelligence quotient (IQ) murid-murid sekolah
di Paris. IQ diasumsikan ada sejak lahir dan menjadi prediktor keberhasilan
pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan.
Sama halnya dengan kepribadian,
terobosan baru dalam penelitian genetika dan ilmu saraf sepertinya memberi
dukungan tambahan pada nature (biologis) kecerdasan. Berkenaan dengan nurture
terdapat beberapa penemuan pendukung yang menarik. Misalnya, ada beberapa teori
dan penelitian yang menyatakan bahwa perlakuan stereotip dapat membantu
perbedaan rata-rata nilai IQ antara kelompok yang terstereotip berdasarkan ras,
jenis kelamin, umur, dan perbedaan sosial lain.
Bermula dari dasar teori emosi dan
berbagai kecerdasan, Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan sosial sebagai
subset kecerdasan sosial yang mencakup kemampuan untuk memonitor perasaan dan
emosi diri sendiri dan orang lain, membedakan emosi dan perasaan, dan
menggunakan informasi tersebut untuk menuntun pemikiran dan tindakan.
Kecerdasan
Emosi di Tempat Kerja
Pada tingkat individu, elemen
kecerdasan emosi dapat diidentifikasi, dinilai, dan di-upgrade. Pada
tingkat kelompok, elemen EI berarti pengaturan dinamika interpersonal yang baik
yang membuat kelompok menjadi lebih cerdas. Pada tingkat organisasi, elemen EI
berarti merevisi hierarki nilai agar kecerdasan emosi menjadi prioritas-dalam
konteks penerimaan karyawan, pelatiahan dan pengembangan, evaluasi kinerja dan
promosi.
F.
Efikasi Diri
Bandura
sangat menekankan bahwa efikasi diri adalah mekanisme psikologis yang paling
penting dari pengaruh diri. Definisi formal efikasi diri yang biasa digunakan
adalah pernyataan Bandura mengenai penilaian atau keyakinan pribadi tentang
seberapa baik seseorang dapat melakukan tindakan yang diperlukan untuk
berhubungan dengan situasi prospektif. Definisi yang lebih luas dan lebih tepat
untuk perilaku organisasi positif diberikan oleh Stajkovic dan Luthans: efikasi
diri mengacu pada keyakinan individu mengenai kemampuannya untuk mobilisasi
motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar berhasil
melaksanakan tugas dalam konteks tertentu.
Daftar Pustaka
Christopher,
William F dan Carl G. Thor. 2002. Mutu dan Produktivitas Berkelas Dunia,
Lima Belas Strategi untuk Memperbaiki Kinerja. Jakarta: Doublefish Jaya.
Gomes,
Faustino Cardoso. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi
Offset.
Robbins,
Stephen P. dan Timothy A. Judge. 2007. Perilaku Organisasi Jilid 1.
Jakarta: Salemba Empat.
Robbins,
Stephen P. dan Timothy A. Judge. 2007. Perilaku Organisasi Jilid 2.
Jakarta: Salemba Empat.