azizherwit

Senin, 06 Mei 2013

TEORI QWL (Quality of Work Life)



BAB II
LANDASAN TEORI

A.     Quality of Work Life
Menurut Robbins Quality of Work Life (QWL) merupakan sebuah proses dimana organisasi memberikan respon pada kebutuhan karyawan dengan cara mengembangkan mekanisme untuk mengijinkan para karyawan memberikan sumbang saran penuh dan ikut serta mengambil keputusan dan mengatur kehidupan kerja mereka dalam suatu perusahaan. Beberapa hal yang termasuk dalam QWL adalah keamanan kerja, sistem penghargaan yang lebih baik, gaji yang lebih baik, kesempatan untuk mengembangkan diri, partisipasi dan meningkatkan produktivitas organisasi di antara mereka.
Dampak positif dari QWL adalah memperbaiki kondisi kerja (utamanya dari perspektif karyawan) dan efektivitas organisasi lebih besar. Situasi yang seimbang antara perusahaan dan karyawan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan produktivitas perusahaan. Dampak positif lainnya misal, pengurangan mangkirnya karyawan, rendahnya karyawan yang pindah/keluar dan dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan. QWL tidak hanya berkontribusi pada kemampuan organisai untuk merekrut kualitas karyawan tetapi juga meningkatkan perusahaan menjadi lebih kompetitif.
QWL juga memberikan dampak positif, organisasi akan lebih fleksibel. Membuat karyawan lebih loyal, sehinggan merupakan suatu hal yang esensial sebagai kekuatan bersaing dari perusahaan, di samping meningkatkan kemajuan sumber daya manusia meliputi pelatihan, seleksi karyawan, dan pengukuran persepsi kinerja karyawan.
Dalam pendekatan SDM berarti semua dan setiap organisasi harus mampu menciptakan rasa aman dan kepuasan kerja, agar SDM di lingkungannya menjadi kompetitif. QWL dimaksud terdapat pada lingkungan masing-masing menjadi kompetitif. Dengan QWL yang menjadikan SDM kompetitif, maka secara keseluruhan organisasi akan menjadi kompetitif pula dalam mewujudkan eksistensinya.
Adapun criteria yang digunakan dalam penelitian yaitu, gaji dan kesejahteraan, kesempatan untuk mengembangkan diri, keamanan kerja, kebanggan pada pekerjaan dan sekolah, keterbukaan dan keadilan, kepercayaan dan keramahan (R. S. M. Lau, Bruce E. May, 1998)

B.     Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja merupakan suatu keadaan emosi yang positif sebagai hasil dari penilaian seseorang atau pengalaman kerja seseorang (Luthans, 1989). Sedangkan dalam Davis and Newston (1996) dinyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai seperangkat aturan yang menyangkut tentang perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan berhubungan dengan pekerjaan mereka. Kepuasan kerja merujuk ke sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap pekerjaan itu: seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif terhadap kerja itu (Stephen Robbins, 1996).
Karyawan yang tergabung dalam suatu organisasi membawa seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat, dan pengalaman masa lalu yang menyatu membentuk harapan kerja. Kepuasan kerja menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan (A. Dale Timpe, 1994). Ketidakpuasan kerja muncul saat harapan-harapan individu akan pekerjaannya tidak terpenuhi (Robert L. Mathis and John H. Jackson, 2001).
Menurut Robbins (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawan adalah.
1.      Kerja yang secara mental menantang
Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang member mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang menciptakan frustrasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.
2.      Ganjaran yang pantas
Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil dan setara dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi kunci yang relevan dengan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan, lebih penting adalah persepsi keadilan.
3.      Kondisi kerja yang mendukung
Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan tugas yang baik. Studi-studi memperagakan bahwa kayawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya. Temperature, cahaya, derau, dan faktor-faktor lingkungan lain seharusnya tidak ekstrem. Di samping itu karyawan cenderung menyukai bekerja dekat dengan rumah, dalam fasilitas yang bersih dan relative modern, dan dengan alat-alat serta peralatan yang memadai.
4.      Rekan kerja yang mendukung
Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila mempunyai rekan kerja yang ramah dan mendukung kepuasan kerja. Perilaku atasan seseorang juga merupakan determinan utama dari kepuasan. Umumnya studi mendapatkan bahwa kepuasan karyawan meningkat apabila manajer bersifat ramah dan dapat memahami, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan, dan menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka.
Quality of work life berhubungan erat dengan lingkungan kerja yang kondusif dan kepuasan kerja.

C.    Kinerja Karyawan
Kinerja karyawan mengacu pada prestasi yang diukur berdasarkan standar yang ditetapkan oleh perusahaan. Pengelolaan untuk mencapai kinerja karyawan yang tinggi terutama dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan. 
Menurut Income Data Service, London dari penelitiannya mengenai criteria pengukuran kinerja menyimpulkan bahwa faktor-faktor kinerja yang paling sering digunakan sebagai indikator penelitian adalah: pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan kerja, sikap terhadap pekerjaan (antusiasme, komitmen, dan motivasi), kualitas kerja, volume hasil produksi dan interaksi (komunikasi, hubungan, dan kelompok). Dessler (1997) memberikan contoh criteria penilaian kinerja karyawan maliputi: kualitas, produktivitas, pekerjaan dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang terukur, tersedia dan bebas dari pengaruh. Dalam penelitian kinerja dapat diukur dengan tiga ukuran job performance:
1.      Kualitas kerja
2.      Kuantitas kinerja
3.      Kinerja keseluruhan (overall job performance)
Penilaian pribadi karyawan tentang performancenya dan penilaian supervisor terhadap performance karyawannyan menjadi tolok pengukurannya. Kinerja akan muncul apabila seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi mempunyai dasar nilai-nilai yang baik atau luhur. Kemunculan tersebut didorong oleh suatu lingkungan kerja yang kondusif yang disebut “ Quality of Work Life”

D.    Optimisme
Dampak positif dari optimisme terhadap kesehatan fisik dan psikologis, karakteristik ketekunan, prestasi, dan motivasi yang menyebabkan keberhasilan akademis, olahraha, politik, dan pekerjaan telah didokumentasikan dengan baik. Pesimisme juga dikenal menyebabkan kepasifan, kegagalan, kerenggangan sosial, dan yang lebih ekstrem adalah depresi dan kematian. Namun, optimisme dapat mengalami kemunduran, disfungsi, dan kerugian. Misalnya, orang yang memiliki kesehatan baik cenderung optimis dengan kesehatannya di masa datang dan karena itu sering tidak memelihara fisik dan nutrisi yang diperlukan. Atau, dalam sebuah organisasi, manajer yang optimis bisa jadi bingung membuat rencana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Jadi, sementara optimisme semakin diperhatikan dalam psikologi.
Para psikolog kontemporer, dalam mendefinisikan optimisme kembali pada pepatah lama “kekuatan berpikir positif” yang diperkenalkan oleh penulis Norman Vincent Peale dan Dale Carnegie. Psikologi memperlakukan optimisme sebagai karakteristik kognitif berkenaan dengan harapan atas hasil positif dan atau atribusi kausal positif. Optimisme juga sering digunakan dalam hubungannya dengan konstruksi positif lainnya seperti kecerdasan emosi.
Banyak psikolog yang memperlakukan optimisme sebagai perbedaan sifat manusia atau individu. Adapun dimensi optimisme, yaitu.
1.      Optimisme sebagai sifat manusia
Dua filsuf (Sophocles dan Nietzsche) dan psikolog/psikiater (Freud, Allport, Erikson, dan Menninger) secara umum berpikir negatif terhadap optimisme. Mereka berpendapat bahwa optimisme sebagian besar adalah ilusi dan bahwa persepsi yang lebih akurat dari fakta yang sulit merupakan hal yang lebih kondusif untuk fungsi psikologis yang sehat. Namun, mulai tahun 1960-an dan 1970-an psikolog kognitif mulai menunjukkan bahwa banyak orang cenderung punya bias yang lebih positif pada diri sendiri daripada realita yang tidak menarik, dan orang yang sehat secara psikologis punya bias positif.
2.      Optimisme sebagai perbedaan individu
Psikologi modern memperlakukan optimisme sebagai perbedaan individu, bahwa setiap orang memiliki tingkat optimisme yang berbeda-beda. Memperlakukan optimisme sebagai perbedaan individu berfokus pada harapan dan atribusi kausal yang ditentukan secara kognitif. Pendapat Seligman berhubungan secara khusus dengan pendekatan atribusional. Dia menggunakan istilah gaya penjelasan untuk menggambarkan bagaimana biasanyaindividu menghubungkan penyebab kegagalan, ketidakberuntungan, atau kejadian-kejadian buruk. Gaya penjelasan ini merupakan perkembangan karya Seligman sebelumnya mengenai ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness). Dia menemukan bahwa anjing dan manusia ketika menemui kejadian-kejadian yang terus-menerus yang tidak terkontrol, menyiksa, atau aversif akhirnya akan belajar untuk menjadi tidak berdaya. Ketidakberdayaan tersebut digeneralisasikan dengan pernyataan bahwa ketika binatang atau manusia dapat mengontrol dan lolos dari kondisi aversif, mereka masih bertindak dalam sikap tidak berdaya. Mereka bertahan dan menolak untuk menyerah dan menjadi tidak berdaya. Seligman mengembangkan ketidakberdayaan yang dipelajari menjadi atribusi kausal yang digeneralisasikan optimisme dan pesimisme.

Optimisme di Tempat Kerja
            Secara jelas, optimisme dapat menjadi kekuatan yang sangat positif di tempat kerja. Sebagai contoh, orang yang optimis mungkin termotivasi untuk bekerja lebih keras, lebih puas dan punya semangat tinggi, punya tingkat aspirasi yang tinggi dan memperluas tujuan, tekun menghadapi tantangan dan kesulitan, membuat atribusi dari kegagalan seseorang dan mundur sementara, atribusi yang terjadi bukan karena ketidakmampuan pribadi tetapi sebagai suatu kejadian unik dan cenderung merasa nyaman dan kuat secara fisik dan mental.
Aspek negatif optimisme
Perlu diingat bahwa dalam kasus tertentu, optimisme dapat menimbulkan hal yang negatif atau gangguan fungsional. Contohnya, Alex menyatakan bahwa perilaku yang dikendalikan secara positif mungkin dimaksudkan untuk pengejaran hal yang tidak berguna atau tujuan yang tidak realistis. Selain itu, optimisme yang realistis akan menghasilkan kepemimpinan yang yang lebih efektif ketimbang optimisme yang keliru. Juga terdapat pekerjaan tertentu dimana paling tidak sedikit sikap pesimis akan bermanfaat. Misalnya, beberapa pekerjaan teknik seperti teknisi keamanan atau pengawasan keuangan dan pembukuan.
Studi Met Life oleh Seligman
Untuk studi optimisme di tempat kerja, Seligman selangkah lebih maju dalam pekerjaannya di Metropilitan Life Insurance. Ia menguji hipotesis bahwa optimisme dan motivasi dan daya tahan merupakan kunci penjualan yang sukses. Selanjutnya ia melakukan studi skala kecil pada 104 karyawan baru yang mengikuti tes seleksi industry asuransi standar dan ASQ. Dia menemukan bahwa agen asuransi baru lebih optimis daripada kelompok lain yang diuji.
Kebahagiaan atau Subjective Well-Being (SWB)
            Selain optimisme, kebahagiaan juga banyak dikenal dalam psikologi positif. Dalam prakteknya, SWB lebih ilmiah untuk mengartikan istilah kebahagiaan. SWB dianggap luas dan didefinisikan sebagai sisi afektif seseorang (suasana hati dan emosional) dan evaluasi kognitif kehidupan mereka. Dalam arti psikologi, tidak penting seseorang menggunakan kebagiaan atau SWB, tetapi kuncinya adalah bagaimana mereka secara emosional menginterpretasikan dan secara kognitif memproses apa yang terjadi pada mereka.
Latar Belakang SWB
            Karya ED Diener selama tiga dekade terakhir ini berhubungan dengan SWB. Sebagian bagian penting dari gerakan psikologi positif, meningkatnya popularitas dan pentingnya SWB belakangan ini mencerminkan kecenderungan sosial yang menghargai lebih dari uang. Diener mengidentifikasikan komponen-komponen SWB sebagai berikut.
1.      Kepuasan hidup
2.      Kepuasan dengan domain yang penting
3.      Pengaruh positif
4.      Level pengaruh negatif yang rendah
Temperamen dan Disposisi Kepribadian
            Kepribadian telah menjadi predictor yang paling kuat dan konsisten pada SWB. Terdapat beberapa bukti predisposisi temperamen untuk SWB yakni, mungkin orang memiliki kecenderungan genetik untuk menjadi bahagia atau tidak bahagia setelah perjuangan panjang. Ciri kepribadian  (disposisi), seperti ekstroversi, ternyata berhubungan dengan SWB positif, dan neurotisisme berhubungan dengan SWb negatif.

Peranan Tujuan
            Studi terbaru yang berimplikasi pada tempat kerja menemukan bahwa kemajuan dalam mencapai tujuan berhubungan SWB, dan memiliki sumber daya yang mendukung tujuan penting seseorang merupakan predictor SWB yang lebih baik daripada memiliki sumber daya yang kurang berhubungan dengan tujuan penting. Juga ditemukan bahwa orang akan merasa lebih baik sat mereka membuat perkembangan/kemajuan terhadap tujuan yang kurang berharga.

SWB di Tempat Kerja
            Secara khusus SWB berkorelasi langsung dengan kepuasan kerja. Untuk menentukan apakah kepuasan kerja menyebabkan SWB atau sebaliknya, Judge menggunakan desain statistik yang canggih. Ditemukan bahwa SWB merupakan prediktor kepuasan kerja yang signifikan selama lima tahun terakhir, tetapi kepuasan kerja bukan prediktor SWB. Dengan demikian, diketahui bahwa orang yang puas dengan kehidupan mereka cenderung lebih puas dalam pekerjaan mereka.

Resiliensi
            Resiliensi lebih bersifat reaktif daripada proaktif. Dalam psikologi positif, resiliensi didefinisikan sebagai fenomena yang ditandai dengan pola-pola adaptasi positif dalam konteks resiko yang signifikan. Sebagai komponen perilaku organisasi positif, resiliensi dipandang sebagai kapasitas untuk memikul kesukaran, konflik, kegagalan atau bahkan kejadian positif, kemajuan, dan tanggung jawab yang meningkat. Kapasitas untuk memikul kesukaran ini meliputi fleksibilitas, penyesuaian, kemampuan adaptasi, dan responsive secara terus-menerusterhadap perubahan dan ketidakpastian.
            Meskipun penelitian mengenai resiliensi dan adaptasi pada awalnya berfokus pada anak-anak dan remaja, studi terbaru menekankan aspek positif dari resiliensi. Selain itu, resiliensi dipandang bukan hanya sebagai karakteristik manusia yang umumnya diinginkan, tetapi juga sebagai atribut penting dari karyawan, manajer, organisasi, dan bahkan negara. Dalam upaya memenuhi kriteria perilaku organisasi positif, resiliensi mengenai proses ini mendorong munculnya berbagai usaha proaktif untuk menciptakan dan mengembangkan individu dan organisasi yang kuat.
            Berdasarkan penelitian Masten, dkk., resiliensi ternyata dipengaruhi dan dikembangkan oleh tiga faktor, yaitu asset, resiko, dan proses adaptasi. Resiliensi dapat dikembangkan dengan meningkatkan asset yang dimiliki seseorang melalui pendidikan, pelatihan, dan dengan menjaga hubungan sosial, dan secara umum dengan meningkatkan kualitas sumber daya yang tersedia untuk dimiliki seseorang. Faktor resiko dapat dikelola dengan menjaga kesehatan fisik dan psikologis. Proses adaptasi dapat ditingkatkan dengan mengembangkan kapasitas psikologis positif lainnya seperti, efikasi diri, harapan, dan optimisme, juga dengan mengajarkan bagaimana mengatasi masalah dengan efektif, manajemen stress, pemecahan masalah, dan stretegi pencapaian tujuan dan berbagai teknik praktis.
            Karyawan saat ini banyak mengalami resiko dan ketidakpastian yang berhubungan dengan sumber global, perubahan teknologi, penyusutan tenaga kerja, keseimbangan antara kerja-kehidupan, orientasi kehidupan, orientasi layanan pelanggan yang ekstensif, stress, dan kelelahan fisik dan emosi karena stress. Oleh karena itu, resiliensi menjadi faktor yang sangat diperlukan yang dapat mengubah ancaman-ancaman tersebut menjadi kesempatan untuk bertumbuh, berkembang, dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi demi perubahan yang lebih baik.
            Resiliensi merupakan kekuatan positif yang tidak hanya menguntungkan manajer dan karyawan, tetapi juga seluruh organisasi tidak dapat berjalan tanpa resiliensi. Kekacauan dan ketidakstabilan menjadi norma dalam lingkungan bisnis dan hanya organisasi yang dapat mengembalikan sistem adaptasional mereka, cepat merespon lingkungan yang terus berubah, yang dapat berkembang dan terus bertahan dalam keunggulan kompetitif mereka. Misi, visi, dan nilai organisasi yang kuat dan stabil, akan menciptakan rasa solidaritas, arah, dan tujuan, dan hal tersebut meningkatkan budaya perusahaan yang kuat. Perencanaan strategis, kerja tim, desentralisasi, keterlibatan karyawan, dan jalur komunikasi yang terbuka dapat digunakan untuk membangun organisasi yang tangguh yang meyelaraskan tujuan dan sasaran organisasi, unit, dan individu; juga untuk membangun kepercayaan, komitmen, dan sistem adaptasi dan pembelajaran organisasi  yang efektif.

E.     Kecerdasan Emosi
            Meskipun secara tidak langsung berhubungan dengan perilaku organisasi positif sperti optimisme, harapan, SWB, dan resiliensi, kecerdasan emosi yang semakin populer  masih memenuhi criteria untuk POB.

Peran Emosi
            Emosi merupakan reaksi terhadap sebuah objek, bukan suatu trait. Emosi ditujukan pada objek khusus. Emosi dapat berubah menjadi suasana hati saat seseorang kehilangan fokus pada objek kontekstual. Selama bertahun-tahun, emosi menjadi variable utama dalam psikologi. Berbeda dengan konstruksi POB lainnya, emosi telah dibahas dalam  bidang perilaku organisasi.

Proses Emosional
            Dalam istilah populer, emosi muncul dari hati sementara pemikiran rasional muncul dari kepala. Jelas, emosi sering menang daripada pemikiran rasional saat orang memutuskan untuk melakukan sesuatu atau bagaimana mereka berperilaku. Dalam psikologi lama, ciri kepribadian mempunyai pengaruh atau proses emosi yang berbeda. Akan tetapi, baru-baru ini untuk menunjukkan kompleksitas yang lebih realistis, dinyatakan bahwa: 1) keadaan suasana hati berinteraksi dengan perbedaan-perbedaan individu untuk mempengaruhi proses emosional, 2) ciri kepribadian member seseorang keadaan suasana hati tertentu, yang kemudian mempengaruhi proses emosional.

Peranan Kecerdasan
            Kecerdasan memainkan peranan utama dalam psikologi, tetapi peranannya sangat kecil, hampir tidak ada dalam perilaku organisasi. Sekitar ratusan tahun yang lalu, Alfred Binet menciptakan tes tertulis untuk mengukur intelligence quotient (IQ) murid-murid sekolah di Paris. IQ diasumsikan ada sejak lahir dan menjadi prediktor keberhasilan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan.
            Sama halnya dengan kepribadian, terobosan baru dalam penelitian genetika dan ilmu saraf sepertinya memberi dukungan tambahan pada nature (biologis) kecerdasan. Berkenaan dengan nurture terdapat beberapa penemuan pendukung yang menarik. Misalnya, ada beberapa teori dan penelitian yang menyatakan bahwa perlakuan stereotip dapat membantu perbedaan rata-rata nilai IQ antara kelompok yang terstereotip berdasarkan ras, jenis kelamin, umur, dan perbedaan sosial lain.
            Bermula dari dasar teori emosi dan berbagai kecerdasan, Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan sosial sebagai subset kecerdasan sosial yang mencakup kemampuan untuk memonitor perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain, membedakan emosi dan perasaan, dan menggunakan informasi tersebut untuk menuntun pemikiran dan tindakan.

Kecerdasan Emosi di Tempat Kerja
            Pada tingkat individu, elemen kecerdasan emosi dapat diidentifikasi, dinilai, dan di-upgrade. Pada tingkat kelompok, elemen EI berarti pengaturan dinamika interpersonal yang baik yang membuat kelompok menjadi lebih cerdas. Pada tingkat organisasi, elemen EI berarti merevisi hierarki nilai agar kecerdasan emosi menjadi prioritas-dalam konteks penerimaan karyawan, pelatiahan dan pengembangan, evaluasi kinerja dan promosi.
           
F.      Efikasi Diri
Bandura sangat menekankan bahwa efikasi diri adalah mekanisme psikologis yang paling penting dari pengaruh diri. Definisi formal efikasi diri yang biasa digunakan adalah pernyataan Bandura mengenai penilaian atau keyakinan pribadi tentang seberapa baik seseorang dapat melakukan tindakan yang diperlukan untuk berhubungan dengan situasi prospektif. Definisi yang lebih luas dan lebih tepat untuk perilaku organisasi positif diberikan oleh Stajkovic dan Luthans: efikasi diri mengacu pada keyakinan individu mengenai kemampuannya untuk mobilisasi motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar berhasil melaksanakan tugas dalam konteks tertentu.


Daftar Pustaka

Christopher, William F dan Carl G. Thor. 2002. Mutu dan Produktivitas Berkelas Dunia, Lima Belas Strategi untuk Memperbaiki Kinerja. Jakarta: Doublefish Jaya.

Gomes, Faustino Cardoso. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset.
Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. 2007. Perilaku Organisasi Jilid 1. Jakarta: Salemba Empat.
Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. 2007. Perilaku Organisasi Jilid 2. Jakarta: Salemba Empat.

0 komentar:

Posting Komentar