BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Psikologi Keselamatan Kerja
Sebelum
membahas apa itu pengertian psikologi keselamatan kerja, terlebih dahulu akan
kita lihat arti dari keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam kepentingan
sehari-hari, istilah keselamatan dan kesehatan kerja merupakan sesuatu yang
terpisah. Namun kebanyakan ahli berpendapat bahwa keselamatan dan kesehatan
kerja merupakan suatu kesatuan. Covan (1995) mengatakan bahwa keselamatan kerja
dalam konteks yang lebih luas, mencakup baik aspek keselamatan maupun aspek
kesehatan kerja, Handley (1977) juga mengungkapkan hal senada.
Pengertian
keselamatan kerja sendiri yaitu tingkat kebebasan terhadap resiko atau bahaya
pada lingkungan kerja (Gloss, 1984). Berdasarkan berbagai pengertian di atas
dapat kita lihat bahwa di dalam istilah keselamatan telah mengandung
unsur-unsur kesehatan (unsur resiko, penyakit, bahaya), maka bisa dibilang
masalah-masalah kesehatan kerja sudah termasuk dalam keselamatan kerja.
Sedangkan
untuk kecelakan kerja, terdapat 2 kelompok pandangan, yaitu pandangan yang
pesimistis dan yang optimistis. Pandangan yang pesimistis menganggap kecelakaan
kerja sebagai suatu kejadian yang tidak dapat dikontrol dan diprediksikan yang
lebih disebabkan oleh faktor ketidakberuntungan dan kesempatan, atau disebabkan
oleh faktor-faktor yang tidak dapat diketahui dan diantisipasi.Pada pandangan
optimistis, dikatakan bahwa kecelakaan kerja dapat dikaji secara ilmiah dan
memiliki implikasi praktis pada penanganan keselamatan dan kecelakaan kerja.
Psikologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku. Jadi bisa kita simpulkan bahwa pengertian psikologi
keselamatan kerja adalah suatu ilmu yang berusaha mempelajari tingkah laku
individu dalam berinteraksi dengan lingkungan kerja yang secara khusus
berhubungan dengan terbentuknya perilaku aman yang dapat meningkatkan
keselamatan dan kesehatan kerja dan mempelajari terbentuknya perilaku tidak
aman dalam bekerja yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja.
2.2.
Teori-teori Penyebab Terjadinya Kecelakaan Kerja
Bicara
mengenai kecelakaan kerja, yang paling mendasar adalah mempertanyakan bagaimana
hal tersebut bisa terjadi. Sejumlah teori penyebab kecelakaan kerja--yang
berkembang dari teori-teori psikologi--memberikan pemahaman akan hal ini.
A. Model
Belajar
Satu
prinsip belajar yang pokok yaitu adanya penguatan atau reinforcement. Ironisnya, dalam perilaku kerja, reinforcement
positif diberikan pada perilaku kerja yang berbahaya. Para pekerja cenderung
mengabaikan keselamatan kerja karena mereka menganggap cara-cara yang selamat
membutuhkan lebih banyak waktu, lebih banyak pekerjaan, kurang nyaman, tidak
menarik, tidak bebas, dan menganggap cara yang tidak aman lebih direstui oleh
kelompok.
B. Model
Kognitif
Salah
satu bentuk dari aspek kognitif yaitu ingatan. Dalam pekerjaan, semakin banyak
yang harus diingat, maka semakin banyak aspek-aspek khusus yang dilupakan. Hal
ini menjadi fatal jika dalam prosedur operasi, seorang pekerja lalai sehingga terjadi
kesalahan saat mengoperasikan sesuatu.
C. Model
Kepribadian
Teori
yang diduga paling berpengaruh yakni accident
proneness, dengan hipotesis bahwa beberapa orang tertentu memiliki
kecenderungan yang lebih besar untuk mendapatkan kecelakaan daripada yang lain
karena adanya seperangkat karakteristik konstitusional yang khas. Pandangan
yang ebih realistic dari accident proneness adalah bahwa seseorang lebih banyak
atau sedikit untuk cenderung mendapatkan kecelakaan adalah berada di dalam
situasi khusus dan kecenderungan tersebut tidak permanen tapi bisa berubah
sepanjang waktu (accident-liability
theory)
D. Model
Stress
Menyatakan
bahwa kecenderungan mendapatkan kecelakaan kerja akan meningkat jika tugas,
lingkungan atau stressor individual menurunkan kapasitas individu dalam
memenuhi tuntutan tugas, atau jika tuntutan-tuntutan tugas meningkat melebihi
jauh di atas kapasitas normal individu.
E. Model
Biologis
Lebih
mengacu pada fungsi fisiologis manusia yang menjadi sumber kecelakaan kerja,
yaitu yang berhubungan dengan fungsi circadian
rhythms (temperature, tekanan darah, pernafasan, gula darah, koordinasi dan
fungsi tubuh lain yang bekerja dengan 24 jam) dan biological rhythms (siklus fisikal, emosional dan intelektual).
2.3.
IKLIM KESELAMATAN KERJA
Saat
ini, isu tentang keselamatan kerja industrial harus didekati melalui perspektif
organisasional, yaitu dengan melakukan penekanan pada betapa pentingnya iklim
keselamatan kerja di dalam organisasi (Landy,1985). Zohar (1980) seperti
dikutip Landy (1985) menyatakan bahwa iklim keselamatan kerja adalah sebuah
persepsi pekerja pada sikap manajemen terhadap keselamatan kerja dan persepsi
pada sejauh mana kontribusi keselamatan kerja di dalam proses produksi secara
umum. Persepsi ini akan mempengaruhi perilaku pekerja, misalnya ketika
organisasi tidak memperhatikan perihal keselamatan kerja, maka akan demikian
juga dengan pekerjanya.
Dikemukakan
oleh Krause (1997) bahwa perubahan dan perkembangan budaya keselamatan kerja di
dalam organisasi dipusatkan pada 2arah yaitu ke atas dan ke bawah.Perkembangan
budaya keselamatan kerja pada tingkat bawah dicerminkan oleh semakin rendahnya
angka kecelakaan kerja dan perkembangan ke atas diindikasikan tampak pada peran
manajemen didalam mengelola program keselamatan kerja.
Budaya organisasi adalah sesuatu yang
kompleks. Edgar Schein (Krause,1997) mengemukakan bahwa ada 3 tingkatan didalam
budaya organisasi yaitu: lambang-lambang (artifacts), nilai-nilai (values) dan
asumsi-asumsi (assumptions). Tingkatan
pertama adalah lambang-lambang yang dapat berupa sesuatu dan prosedur
tertulis.Tingkatan kedua adalah nilai-nilai yang berupa prinsip-prinsip sosial,
falsafah, tujuan dan standar. Tingkatan ketiga adalah asumsi-asumsi yang
menggambarkan kepercayaan-kepercayaan yang sama pada kelompok yang tak
ternyatakan atau tidak disadari.
Berdasarkan
pembahasan tentang kaitan antara iklim keselamatan kerja dengan budaya
keselamatan kerja di dalam organisasi dapat disimpulkan bahwa iklim keselamatan
kerja merupakan ciri dan indikator yang penting dari budaya keselamatan
kerjaterletak pada organisasi.
Didalam
membahas iklim keselamatan kerja dapat digambarkan bahwa betapapun canggihnya
program keselamatan kerja yang ada akan menjadi tidak efektif kecuali di dalam
organisasi sudah terbentuk persepsi dari pekerja bahwa iklim organisasi
benar-benar telah mendukung secar penuh usaha-usaha keselamatan kerja. Jika
manajer menunjukkan melalui perilaku yang aman (safety behavior) bahwa mereka
benar-benar mengerti dan menerapkan konsep dan praktek-praktek keselamatan
kerja, hal ini tergambarkan di dalam perilaku yang aman yang ditumjukkan
pekerjanya (Schultz,1990). Bilamana manajemen hanya memberikan tidak lebih dari
sekedar lip service untuk keselamatan kerja, gagal menggunakan perlengkepan
keselamatan kerja tetapi mereka mengharapkan pekerja menggunakannya atau
membolehkan poor housekeeping dan praktek-praktek kerja yang tidak aman maka
pekerja akan memiliki sikap yang bertentangan dengan keselamatan kerja dan
angka kecelakaan kerja cenderung menjadi tinggi.
Dinyatakan
oleh Asfahl (1995) bahwa meskipun sikap pekerja terhadap keselamatan kerja
merupakan hal yang penting akan tetapi akan menjadi tidak efektif jika komitmen
tentang keselamatan kerja dari manajemen tidak ada. Wexley dan Yulk (1984)
menegaskan bahwa faktor tunggal yang paling penting dalam menentukan
efektivitas program keselamatan kerja adalah keterlibatan dan komitmen top
level management. Perilaku top level management yang menunjukkan keterlibatan
dan komitmen terhadap keselamatan kerja antara lain : 1) mengangkat direktur
keselamatan kerja pada wewenang dan tingkatan yang tinggi 2) menilai kinerja
supervisor dalam aspek pencatatan keselamatan kerja pada bawahannya 3) meminta
dengas tegas dipunyainya sistem pencatatan keselamatan kerja yang detail dan
berkualitas 4) termasuk gambaran dan laporan tentang keselamatan kerja dam
pertemuan umum perusahaan 5) pelaksanaan inspeksi keselamatan kerja oleh top
level managers.
Iklim
keselamatan kerja menurut Schultz (1970) paling tidak harus meliputi 3 hal yang
harus dibuat secara sehat dan menyenangkan yaitu : 1) lingkungan fisik kerja 2)
aspek psiko-sosial dari lingkungan komunitas 3) hubungan pekerja-manajemen dan
kebijakan kepegawaian.
2.4. ERGONOMIKA
A. Pengertian
Istilah Ergonomika berasal dari 2
suku kata bahasa latin, ergon artinya kerja, dan nomous artinya aturan.Jadi Ergonomika artinya aturan tentang kerja.
Ergonomika adalah semua hal yang berhubungan
dengan bagaimana mendesain tugas-tugas sehingga sesuai dengan orang yang
melakukannya (fitting the task to the
person).Ergonomika juga mencakup penyesuaian yang berhubungan dengan
manusia, bisa berhubungan dengan produk yang digunakan konsumen maupun system
yang ada di tempat kerja.Ergonomika mampu meningkatkan kesejahteraan manusia,
mengurangi biaya dan peningkatan kualitas dan produktivitas.
Pada hakikatnya, ergonomika adalah
segala sesuatu tentang pemahaman mengenai human
beings dan human behavior, yang
mencakup sisi anatomi, phisiologi,
psikologi manusia, serta bagaimana mendesain segala sesuatu sehingga sesuai
dengan kekuatan dan kelemahan dari sisi-sisi manusia tersebut.
Hal yang terpenting dalam ergonomika
adalah pada manusianya atau penggunannya. Misalnya, pada orang yang membeli
helm, apakah helm yang dipilih itu sesuai dengan ukuran kepalanya atau tidak,
bukan berdasarkan orang tersebut suka dengan model helmnya, akan tetapi hel
tersebut tidak cukup dipakai kemudian kepalanya dipaksa menyesuaikan dengan
helmnya.
Ergonomika dan user friendly adalah istilah yang memiliki arti sama. User friendly artinya segala sesuatu
mudah dipahami dan diaplikasikan, taraf kesalahan pelaksanaannya kecil, dan
manusia merasa dipelakukan dengan baikdalam prosesnya.
B. Implikasi
Ergonomika
Perencenaan pada tempat kerja
mendasarkan diri pada pertimbangan yang berhubungan dengan efisiensi biaya
produksi, peletakan mesin pada tempat yang bagus, tanpa mempertanyakan terlebih
dulu apakah hal itu telah sesuai dengan orang yang akan mengoprasikannya.
Sering dijumpai pengolahan suatu produk hanya didasari oleh ongkos produksi
yang murah, atau mungkin karena pertimbangan keindahan saja tanpa
memeperdulikan pengguna akhir.
Unsur-unsur manusia dalam pekerjaan
dapat mengakibatkan human eror dan inefisiensi dalam produksi. Organisasi
maupun perusahaan bias mengalami kegagalan hanya karena tidak memeperdulikan factor manusianya. Oleh karena itu,
penting menerapkan prinsip-prinsip ergonomika secara sistemati, sehingga dapat
menghemat biaya dan mengurangi kesalahan dalam desain.Jika setiap produk dan
tugas didesain secara ergonomis atau user
friendly maka kesalahan-kesalahan dan pemborosan waktu menjadi minimal
sehingga menjadi dinikmati pelanggan. Tempat kerja yang user friendly memiliki implikasi-implikasi bahwa pekerja:
1. Menjadi
lebih sehat
2. Lebih
mampu dalam mengerjakan tugas-tugasnya
3. Memiliki
kepuasan kerja yang lebih tinggi
4. Lebih
produktif
C. Esensi
Faktor Manusia
Tiga hal dasar yang berhubungan
dengan faktor manusia dalam membuat desain produk maupun tempat kerja, yaitu :
1. Manusia
Berbeda antara Satu dengan Lainnya
Sering kali pengaturan tempat kerja dan pekerjaan tidak
memperhatikan perbedaan-perbedaan ukuran dan hanya mendasarkan diri pada satu
ukuran tetapi berlaku untuk semuanya.Misalnya, pekerja yang ukuran tubuhnya
tinggi mungkin bekerja dengan lebih membungkukkan badannya di tempat kerjanya
yang kursinya pendek, hal ini dapat menyebabkan gangguan sakit pinggang.
Seringkali hal tersebut mengakibatkan pekerja tidak dapat bekerja dengan baik
dan tidak bias memenuhi standar kualitas, oleh karena adanya ketidaksesuaian
antara pekerja dengan orangnnya.
2. Manusia
Memiliki Keterbatasan-Keterbatasan
Manusia memiliki keterbatasan baik berupa fisik maupun
mental.Secara fisik, tubuh manusia tidak mampu bekerja pada postur dan posisi
tidak nyaman untuk periode waktu yang lama, misalnya bekerja dengan badan
membungkuk.Manusia memiliki keterbatasan energy sehingga tidak mungkin bekerja
sepanjang waktu, oleh karena itu manusia mengalami kelelahan dan membutuhkan
istirahat.
3. Manusia
Memiliki Reaksi-Reaksi Prediktif
Berdasarkan pengalaman selama hidupnya, manusia dapat
mempelajari asosiasi antara perilaku dengan tanda-tanda tertentu.Misalnya orang
dapat mengasosiasikan warna biru dengan air dingin dan warna merah dengan air
panas pada top shower.
Dengan mendasarkan diri pada reaksi-reaksi yang
prediktif, pengembangan desain tempat kerja dan cara-cara operasi mesin dan
peralatan dapat dibuat lebih user
friendly.Proses-proses kognitif, seperti bagaimana kita berfikir, membuat
keputusan, dan bereaksi terhadap sesuatu dapat juga diprediksi.Kondisi stress,
kebosanan kerja, gairah semuanya merupakan keadaan-keadaan yang dapat
diprediksi.
D. Prinsip-Prinsip
Ergonomika
Prinsip Ergonomika mencakup 2 hal,
yaitu :
1. Prinsip-Prinsip
Fisik
a. Segala sesuatu Harus
Mudah Dijangkau
Jika suatu kontrol atau peralatan ditempatkan pada posisi
yang tidak mudah dijankau operator (terlalu jauh atau tersembunyi), maka akan
menyebabkan strain pada tubuh, pekerjaan menjadi lebih sulit untuk dilakukan,
dan menghabiskan waktu.
b. Bekerja pada Ukuran
Ketinggian yang Nyaman
Permasalahan umum yang biasanya dihadapi oleh pekerja
adalah adanya ketidaksesuaian antara ukuran tinggi orang yang harus bekerja
dengan alat atau jenis pekerjaan yang harus diselesaikannya. Umumnya, pekerjaan
harus diselesaikan dengan posisi siku melebihi tinggi normalnya, karena
pekerjaan akan menjadi lebih mudah diselesaikan jika posisi siku tidak
terangkat atau sejajar dengan posisi normal. Tapi, apabila melakukan pekerjaan
yang lebih berat yang membutuhkan banyak energi harusnya dikerjakan dengan
posisi pekerjaan berada di bawah siku, keuntungannya adalah dari sisi mekanik
menjadi lebih baik.
2. Prinsip-Prinsip
Kognitif
a. Terstandar
Terstandar artinya ada aturan baku yang konsisten dalam
prosedur operasionalisasi suatu peralatan ataupun pekerjaan. Semua peralatan
dan prosedur penyelesaian pekerjaan harus dioperasikan dengan berprinsip pada agreeing on a standard.Dengan peralatan
dan prosedur kerja yang terstandar, operator tidak mengalami kebingungan dan
bahkan dapat dengan mudah menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya.
b. Penggunaan
Stereotipe
Stereotipe adalah harapan dan fikiran orang tentang
adanya sesuatu atau akan terjadinya sesuatu jika berhadapan dengan kode dan
obyek tertentu. Contoh stereotipe adalah pada pegangan pintu, saat mau membuka
atau menutup, orang akan menggunaka stereotipe terhadap arah pegangan pintu.
Stereotipenya adalah pegangan pintu harus digerakkan ke bawah jika ingin
membuka membuka atau menutup pintu tersebut.
c. Ada Hubungan antara
Tindakan dengan Persepsi
Secara ideal, antara persepsi mengenai kebutuhan untuk
melakukan suatu tindakan tertentu berhubungan erat dengan tindakan itu sendiri.
Misalnya pada control mesin, yaitu
perintah keyboard computer. Control
"S" untuk fungsi menyimpan lebih mudah diingat dan lebih erat
hubungannya dengan persepsi mengenai menyimpan atau saving.
d. Informasi Harus Bisa
Dipresentasikan Secara Sederhana
Dalam suatu desain display mesin terdapat banyak
informasi yang berisi perintah bagaimana harus mengoperasikannya. Desain yang
baik adalah membuast display yang
sederhana di mana informasi yang terkandung dalam display tersebut mudah dimengerti maksudnya oleh operator. Dengan display yang mudah dipahami, maka
informasi yang diberikan menjadi valid dan operator bias meberikan balikan
informasi melalui control yang tepat pula.
e. Informasi Harus Bisa
Disajikan Sesuai dengan Detail yang Dibutuhkan
Informasi yang disajikan dalam display harus sesuai dengan detil atau rincian sebagaimana yang dibutuhkan oleh
operator atau penggunanya. Display digital merupakan ukuran yang paling baik
jika informasi yang disampaikan harus mempersyaratkan ketepatan ukuran. Seperti
display digital yang terdapat pada
pengukur liter pada pom bensin adalah display
yang harus menyajikan ukuran atau
informasi yang rinci, apabila jika ada selisih angka sedikit saja maka
hasil ukurannya akan berpengaruh pada konsekuensi-konsekuensi lainnya.
f. Pesan Harus
Disajikan dengan Menggunakan Gambar yang Jelas
Pada
beberapa hal, informasi akan mudah ditangkap artinya jika digunakan pesan
berupa ikon atau gambar daripada tulisan atau lainnya. Ada tiga hal yang harus
diperhatikan dalam menyajikan pesan melalui gambar, yaitu gambar harus mudah
dilihat (visible), berbeda (distinguishable),
dan mudah diiterprestasikan (interpretable).
g.
Satu pesan Hendaknya Digunakan Media yang Bermacam-macam atau Redundacies
Adakalanya menyampaiakan satu maksud
cukup dengan menggunakan satu pesan saja. Namun karena kesalahan-kesalahan
mudah terjadi dan manusia memeiliki keterbatasan-keterbatasan, maka penting
untuk menyampaiakan pesan tersebut lebih dari satu cara. Misalnya, jika menulis
slip pengambilan atau penyetoran di bank, disitu kita harus menuliskan jumlah
uang dalam bentuk angka dan bentuk huruf.
h.
Mendasarkan Diri pada Bentuk yang Memiliki Pola Tertentu
Mata manusia lebih mudah, cepat, dan
akurat dalam menangkap informasi yang tersajikan berdasar pola tertentu.
Misalnya pada penyajian data, penyajian melalui grafik akan lebih mudah dalam
memahami dan menginterprestasikan data angka dibanding melalui diskripsi data
kasar. Diagram batang lebih mudah dipakai untuk memahami perbandingan
angka-angka. Penyajian melalui diagram batang
memenuhi fungsi bahwa mata manusia akan lebih mudah menangkap makna dari
sesuatu yang tersusun berdasar pola-pola tertentu.
i.
Perhatian pada Stimulus yang Berubah-ubah
Manusia lebih mudah mendeteksi
stimulus yang bergerak-gerak disbanding stimulus yang diam atau konstan.
Misalnya, pada kegiatan-kegiatan training,
di mana suasananya menjadi membosankan jika disajikan dengan hanya satu
metode saja, untuk menjadikan training tersebut
berjalan lebih menarik perhatian bagi para pesertanya maka harus menggunakan
macam-macam strategi yang bervariasi.
j.
Pemberian Feedback Sesegera Mungkin
Pemberian umpan balik yang sesegera
mungkin terhadap suatu kejadian dapat mencegah terjadinya kesalahan. Misalnya
penggunaan kata roger oleh pilot ketika menjawab panggilan dari menara control. Apabila pilot tidak merespon
dengan cepat atau bahkan justru tidak ada respon sama sekali, maka itu sudah
merupakan indikasi adanya masalah yang menimbulkan kecemasan tersendiri.
2.5.
ASPEK-ASPEK PSIKOSOSIAL DALAM KESELAMATAN KERJA
A. TUNTUTAN
KERJA
Efekivitas
kerja dari seseorang tidak saja merupakan hasil dari peralatan dan lingkungan
kerja,tetapi juga merupakan hasil dari cara bagaimana sebuah tugas dan waktu
kerja dialokasikan kepada karyawan serta kontrol apa yang mereka terapkan
setelah pekerjaan dilaksanakan. Prinsip pengalokasian kerja yang diterapkan
pada model lama seringkali mengarah penyederhanaan tugas dengan membagi tugas
sampai sekecil-kecilnya, kemudian mengalokasikannya kepada karyawan yang sangat
khusus pula, dan menerangkannya kepada mereka bahwa di dalam tugas tersebut
harus dipatuhi adanya mekanisme kontrol komplek dan koordinatif untuk menjamin
bahwa bagian-bagian kecil pekerjaan itu harus berjalan bersama dan mengarah
kepada satu sasaran bersama. Pendekatan spesialisasi tugas seperti ini telah
melahirkan suatu kondisi yang kritis yang mengakibatkan pekerjaan yang amat
dangkal,repetitif, kontrol yang kaku yan menyebabkan karyawan kehilangan
peluang untuk mencapai kepuasan dan mewujudkan potensi-potensinya.(Galer,
1987).
Dalam
pelaksanaan kerja sehari-hari pada kenyataannya banyak karyawan yang overloaded
karena banyaknya tuntutan kerja, sehingga menjadi lelah dan mempunyai
kecenderungan untuk melakukan kesalahan pada pekerjaan yang dilakukannya pada
waktu yang lama tanpa ada istirahat. Hal inilah yang seringkali menjadi
penyebab munculnya beban kerja atau work load baik fisik maupun mental yang
pada gilirannya akan mempengaruhi performansi kerja. Oleh karena itu untuk
membuat kerja agar menjadi baik diperlukan suatu upaya yang mengarah kepada
suatu prinsip, yaitu memberikan otonomi yang memadai kepada karyawan
untukbertanggung jawab dan menggunakan kemampuannya.
Hal
ini bisa dikembangkan ke dalam prinsip-prinsip yang lebih kusus yang meliputi :
1.
Tuntutan
kerja harus rasional secara mental dan bervariasi,
2.
Kerja harus memungkinkan karyawan untuk
terus belajar secara kontinyu,
3.
Karyawan harus memiliki wilayah minimal
dalam pengambilan keputusan,
4.
Upaya dan capaian-capaian karyawan harus
terlihat di tempat kerja,
5.
Kerja harus berhubungan dengan kehidupan
lain seperti arti kerja dalam kehidupannya,
6.
Kerja harus memungkinkan untuk timbulnya
suatu perasaan tentang masa depan (Galer, 1987)
Secara umum tuntutan
kerja dibagi dalam 2 kategori, yaitu tuntutan kerja secara fisik (physical job
demands) dan tuntutan kerja mental (mental job demands).
1. Tuntutan
Kerja Fisik (Physical Job Demands)
Tuntutan kerja fisik
adalah suatu kondisi yang secara langsung berasal dari beban kerja fisik
(physical work load) dan mempengaruhi tubuh atau membutuhkan tubuh untuk
menggunakan posture tertentu selama waktu tertentu. Oleh karena tubuh manusia
memiliki keterbatasan kapasitas maka akan ditemui adanya ketidaksesuaian antara
kondisi tubuh dengan beban kerja fisik.
2. Tuntutan
Kerja Mental (Mental Job Demands)
Tuntutan kerja mental
adalah suatu kondisi yang secara
langsung berhubungan dengan proses-proses mental apa saja yang terlibat dan
dibutuhkan dalam bekerja.
B. SIMPTOM
Simptom adalah keluhan
yang merupakan indikasi dari adanya suatu keadaan dalam diri pekerja yang
sedang sakit yang berhubungan dengan kondisi-kondisi tempat kerja.Perasaan
tertekan seperti nervous, tertekan dan kesulitan tidur dihubungkan dengan
keluhan-keluhan pada punggung.Simptom yang berhubungan dengan kerja bisa merupakan
manifestasi dari stres pada tubuh maupun pikiran pekerja.Simptom ini bisa
dibagi dalam 2 kategori, yaitu simptom fisik (physical symptom) dan simptom
mental (mental symptom).
1. Gejala
Fisik (Physical Symptom)
Gejala fisik
berhubungan dengan keadaan sakit pada bagian-bagian tubuh tertentu.
2. Gejala
Mental (Mental Symptom)
Gejala mental
berhubungan dengan suatu keadaan keluhan yang terasa dalam psikis seseorang,
misalnya merasa lelah atau tidak ada girah, sangat lelah setelah bekerja,
tertekan oleh persyaratan dan waktu kerja, merasa tertekan, merasa marah, tak
bersemangat dan lain-lain.(Waluyo, 1984).
C. KEBISINGAN
Gales (1987)
menyebutkan 3 alasan utama mengapa kebisingan bisa dianggap sebagai suatu
masalah yang harus diperhatikan oleh organisasi industri. Pertama kebisingan
tidak disukai orang kedua ia merusak pendengaran dan ketiga bisa berpengaruh
buruk pada efisiensi kerja. Diterangkan oleh Bridger (1995) bahwa kebisingan
adalah salah satu pencemaran yang berasal dari penerapan teknologi.
Lebih lanjut Bridger
(1995) mengatakan bahwa kebisingan adalah bunyi atau bunyi-bunyian pada
amplitudo tertentu yang menyebabkan gangguan atau mempengaruhi
komunikasi.Sedangkan bunyi adalah sensasi auditory yang dihasilkan leh
gelombang energy yang merambat melalui media sampai ke telinga.Bunyi dapat
diukur secara obyektif sedangkan kebisingan adalah fenomena subyektif.
Idealnya tingkat
kebisingan dapat diatur pada tingkat 55-60 dB.Tetapi hal ini tidak mungkin
untuk dilakukan, misalnya bunyi mesin-mesin di pabrik, pekerjaan-pekerjaan di
bengkel, yang tingkat kebisingannya sukar untuk diturunkan, maka telinga
pekerja harus diproteksi.Ada 2 bentuk alat proteksi pendengaran yaitu earplugs
dan earmuffs.
D. SHIFT
KERJA
Shift kerja dijalankan
jika 2 karyawan atau lebih yang merupakan kelompok bekerja dalam urutan waktu dan
pada tempat kerja yang sama. Sering setiap shift kerja seorang karyawan diulang
dengan pola yang sama. Dengan kecenderungan ini maka jumlah hari dan jam kerja
semakin berkurang, menjadikan karyawan memperoleh weekend 2 hari untuk bebas
kerja sehingga bisa mengurangi kelelahan kecelakaan kerja dan memperoleh
kapasitas kerja baru.
Pada saat sekarang ini
hampir semua industri menerapkan sistem produksi yang kontinyu.Selain untuk
mengoptimalkan daya kerja mesin-mesin industri yang umumnya mahal, juga untuk meningkatkan
keuntungan perusahaan.Akibatnya para karyawan juga bekerja pada malam hari.
Dalam kaitannya dengan
produktivitas dan frekuensi kecelakaan kerja dalam hal ini masih menjadi
perdebatan. Akan tetapi diasumsikan, bahwa bekerja pada malam hari akan
menurunkan produktivitas dan meningkatkan kecelakaan kerja.
Ada 2 persyaratan yang
harus diperhatikan dalam pengatur shift (shift rotation), yaitu (1) kehilangan
tidur sedapat-dapatnya dikurangi dan hal ini akan meminimalkan kelelahan dan
(2) harus ada waktu yang cukup bagi kehidupan keluarga dan kontak sosial
(Grandjean, 1988).
Pemilihan pada model
shift kerja sering dipengaruhi oleh alasan-alasan ekonomi, dan organisasional.
Seseorang menerima sistem shift kerja tertentu ditentukan oleh keseimbangan
pertimbangan profesional dan personal, termasuk aspek fisiologis, psikologis,
dan sosial.
E. PELECEHAN
SEKSUAL DI TEMPAT KERJA
Hal demikian juga
berlaku untuk kaum perempuan.Namun permasalahan yang dihadapi perempuan di
tempat kerja jauh lebih kompleks dibanding pekerja laki-laki.Salah satu bentuk
kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja, yang sudah berlangsung sejak lama
dan bahkan sudah terjadi sejak pertama kali masuknya perempuan di tempat kerja,
dan yang hingga saat ini juga masih terjadi adalah pelecehan seksual.
Secara umum pelaku
pelecehan seksual adalah laki-laki dan korbannya adalah perempuan.Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pelecehan seksual 88.1% dilakukan oleh supervisor
dan 30% oleh coworker atau teman sekerjanya.Sedangkan korban 70% adalah perempuan
dan sedikit sekali korban laki-laki.
BAB
III
ANALISA
KASUS
Banyak orang mengira
pesawat terbang merupakan satu transportasi yang paling aman, tapi tahukah
kalian, menurut National Geographic kecelakaan pesawat terbang merupakan
kejadian yang paling banyak memakan korban jiwa. Tak terkecuali di Indonesia,
salah satu kecelakaan yang cukup fatal yaitu kecelakaan pesawat pada tahun 2007
lalu. Berikut kasusnya.
“Jakarta:
Komisi Nasional Keselamatan Transportasi mengeluarkan laporan akhir tentang
hasil investigasi dan penelitian kecelakaan Pesawat Boeing 737-497 milik maskapai
penerbangan Garuda Indonesia di Bandar Udara Adi Sucipto, Yogyakarta. KNKT juga
mengeluarkan beberapa rekomendasi terkait keselamatan penerbangan.
KNKT menemukan sejumlah
fakta terkait kecelakaan pesawat Garuda, GA-200. Pilot menurunkan pesawat
terlalu tajam untuk mencapai landasan pacu. Hal ini mengakibatkan kecepatan
pesawat melampaui kecepatan sesuai prosedur yang berlaku. Ditemukan pula adanya
penyimpangan pelaksanaan yang direkomendasikan dan tidak dilaksanakannya standard
operasional prosedur penerbangan.
KNKT juga mengungkapkan kurangnya koordinasi di antara awak pesawat. Selain itu, airport emergency plan dan pelaksanaannya dinilai kurang efektif. Meski demikian, Ketua KNKT Tatang Kurniadi menegaskan KNKT tidak memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti secara hukum hasil investigasi tersebut. Menurutnya, kewenangan KNKT hanya sebatas memberikan laporan atas investigasi terhadap kecelakaan pesawat tersebut.
KNKT juga mengungkapkan kurangnya koordinasi di antara awak pesawat. Selain itu, airport emergency plan dan pelaksanaannya dinilai kurang efektif. Meski demikian, Ketua KNKT Tatang Kurniadi menegaskan KNKT tidak memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti secara hukum hasil investigasi tersebut. Menurutnya, kewenangan KNKT hanya sebatas memberikan laporan atas investigasi terhadap kecelakaan pesawat tersebut.
Berdasarkan
penyelidikan ini, KNKT mengeluarkan rekomendasi untuk meningkatkan keselamatan
penerbangan nasional. Rekomendasi tersebut meliputi prosedur operasi
penerbangan, termasuk pelatihan dan pemeriksaan. Direkomendasikan pula
pengawasan keselamatan penerbangan oleh pemerintah atau regulator. Salah
satunya dengan mengembalikan fungsi alat perekam penerbangan, airport emergency
plan dan peralatan bandara lainnya.
Pesawat Boeing 737-497
ini mengalami kecelakaan pada 7 Maret 2007. Pesawat hancur akibat benturan dan
terbakar mengalami karena bahan bakar bocor setelah benturan. Dalam kejadian
ini, 119 orang dinyatakan selamat. Sementara seorang awak kabin dan 20
penumpang tewas serta 12 lainnya mengalami luka berat.” (sumber: metrotv.com)
Seperti yang telah
dibahas sebelumnya, kita akan melihat kasus kecelakaan ini melalui pandangan optimis
tentang kecelakaan kerja. Menurut pandangan ini disebutkan bahwa kecelakaan
merupakan kejadian yang memiliki sifat ‘terencana’ dan ‘terharapkan’. Terencana
disini mempunyai maksud bahwa kecelakaan terjadi karena sudah ada kejadian yang
mendahului, baik itu berupa kondisi atau tindakan yang tidak aman. Kita dapat
melihat pada kasus di atas banyak sekali tindakan yang tidak aman, kebanyakan
disebabkan oleh human error. Selain
disebabkan oleh koordinasi awak pesawat yang kurang, pihak bandara juga kurang
maksimal dalam menanggulangi kecelakaan. Beruntung KNKTI cepat mengambil
tindakan dengan mengeluarkan rekomendasi untuk meningkatkan keselamatan
penerbangan nasional.
Pesawat Indonesia
sempat dilarang terbang ke Eropa oleh otoritas European Aviation Safety Agency
hingga tahun 2009 karena dalam kurun waktu tersebut sering terjadi kecelakaan
pesawat yang merenggut lebih dari 10 korban jiwa (termasuk kategori 1, fatal
tragedy).
BAB
IV
KESIMPULAN
Psikologi keselamatan kerja adalah merupakan suatu
kondisi fisik, mental dan sosial seseorang yang tidak
saja bebas dari penyakit atau gangguan kesehatan melainkan juga menunjukan
kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan pekerjaannya, terdapat
2 kelompok pandangan untuk
kecelakaan kerja, yaitu pandangan yang pesimistis dan
yang optimistis.
Sejumlah
teori penyebab kecelakaan kerja--yang berkembang dari teori-teori psikologi, yaitu Model belajar Satu prinsip belajar
yang pokok yaitu adanya penguatan atau reinforcement, Model
Kognitif, Model
Kepribadian, Model
Stress, Model
Biologis.
Iklim keselamatan kerja merupakan ciri
dan indikator yang penting dari budaya keselamatan kerja terletak pada organisasi. Yang berupa peraturan
dan standar yang ditetapkan oleh organisasi. Faktor yang juga berpengaruh
adalah bagaimana manajemen, dalam hal ini pimpinan menyampaikan aturan dan
standar kesehatan dan keselamatan kerja serta bagaimana memotivasi bawahan.
Ergonomika adalah segala sesuatu tentang
pemahaman mengenai human beings
dan human behavior, yang mencakup
sisi anatomi, phisiologi, psikologi
manusia, serta bagaimana mendesain segala sesuatu sehingga sesuai dengan
kekuatan dan kelemahan dari sisi-sisi manusia tersebut. User
friendly artinya segala sesuatu mudah dipahami dan
diaplikasikan, taraf kesalahan pelaksanaannya kecil, dan manusia merasa
dipelakukan dengan baik dalam
prosesnya. Terdapat Implikasi, esensi faktor, serta prinsip-prinsip mengenai ergonomika.
Aspek-aspek psikososial dalam keselamatan kerja terdapat
tuntutan kerja yang terbagi menjadi dua macam yaitu tuntutan kerja fisik dan
tuntutan kerja mental, simptom merupakan keluhan indikasi dari adanya suatu
keadaan dalam diri pekerja yang sedang sakit berhubungan dengan kondisi tempat
kerja ada yang berupa gejala fisik dan gejala mental, kebisingan terdapat dua
bentuk proteksi pendengaran yaitu earplugs dan earmuffs, shift kerja apabila dijalankan 2 karyawan atau lebih
yang merupakan kelompok bekerja dalam urutan waktu dan pada tempat kerja yang
sama, dan pelecehan seksual ditempat kerja.
DAFTAR
PUSTAKA
Sjubadhyni, Bertina, dkk. (2001) Perkembangan Kualitas SDM dari Perspektif
PIO.
Depok, Penerbit bagian
PIO Fakultas Psikologi UI.
Winarsono, Tulus. (2008) Psikologi Keselamatan Kerja. Malang, Penerbitan
Universitas
Muhammadiyah.
4 komentar:
good
kak cara copy filenya gimana? terimakasih
ijin copas ya kk..thanks
ijin kopas ya kk
Posting Komentar