azizherwit

Selasa, 19 Februari 2013

EMOTIONAL INTELLIGENCE



BAB I
PENDAHULUAN
            Dewasa ini, banyak penelitian dilakukan untuk meningkatkan/mengelola kemampuan emosi, inteligen dan spiritual. Sebuah kecenderungan klasik dalam sejarah manusia bahwa konflik-konflik intelektual besar, seringkali terjadi karena adanya pemisahan, misalnya iman yang terpisah dengan rasio.
            Dari berbagai hasil penelitian, telah banyak terbukti bahwa kecerdasan emosi memiliki peran yang jauh lebih signifikan dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan otak (IQ) barulah sebatas syarat minimal meraih keberhasilan, namun kecerdasan emosilah yang sesungguhnya mengantarkan seseorang menuju puncak prestasi. Terbukti bahwa banyak orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi, terpuruk di tengah persaingan. Sebaliknya banyak yang mempunyai kecerdasan intelektual biasa-biasa saja, justru sukses menjadi bintang-bintang kinerja, pengusaha-pengusaha sukses, dan pemimpin di berbagai kelompok. Di sinilah kecerdasan emosi(EQ) membuktikan eksistensinya. Hal ini menimbulkan rasa penaran dalam diri manusia mengenai kecerdasan emosional yang sesungguhnya. Penulis akan mencoba mengkaji dari segi teoritis dan dalam studi kasus yang dibahas dalam makalah ini.

BAB II
ISI
TINJAUAN TEORI
Kecerdasan emosional atau yang biasa dikenal dengan EQ (bahasa Inggris : emotional quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta  mengontrol emosi dirinya dan oranglain di sekitarnya. Dalam hal ini, emosi mengacu pada perasaan terhadap informasi akan suatu hubungan. Sedangkan, kecerdasan (intelijen) mengacu pada kapasitas untuk memberikan alasan yang valid akan suatu hubungan.
Kecerdasan emosional (EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah penting dengan kecerdasanintelektual (IQ). Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting daripada kecerdasan intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap kesuksesan seseorang.
Menurut Howard Gardner (1983) terdapat lima pokok utama dari kecerdasan emosional seseorang, yakni mampu menyadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan bernegosiasi dengan orang lain secara emosional, serta dapat menggunakan emosi sebagaialat untuk memotivasi diri.
            Kecerdasan emosional juga mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada anak-anak. Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri, menderita kekurangmampuan pengendalian moral.
Goleman (1997), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman (1997) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Menurut Harmoko (2005) Kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Jelas bila seorang indiovidu mempunyai kecerdasan emosi tinggi, dapat hidup lebih bahagia dan sukses karena percaya diri serta mampu menguasai emosi atau mempunyai kesehatan mental yang baik.
Sedangkan menurut Dio (2003), dalam konteks pekerjaan, pengertian kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengetahui yang orang lain rasakan, termasuk cara tepat untuk menangani masalah. Orang lain yang dimaksudkan disini bisa meliputi atasan, rekan sejawat, bawahan atau juga pelanggan. Realitas menunjukkan seringkali individu tidak mampu menangani masalah–masalah emosional di tempat kerja secara memuaskan. Bukan saja tidak mampu memahami perasaan diri sendiri, melainkan juga perasaan orang lain yang berinteraksi dengan kita. Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman dan konflik antar pribadi.
Berbeda dengan pemahaman negatif masyarakat tentang emosi yang lebih mengarah pada emosionalitas sebaiknya pengertian emosi dalam lingkup kecerdasan emosi lebih mengarah pada kemampuan yang bersifat positif. Didukung pendapat yang dikemukakan oleh Cooper (1999) bahwa kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk dapat merasakan dan memahami dengan benar, selanjutnya mampu menggunakan daya dan kepekaan emosinya sebagai energi informasi dan pengaruh yang manusiawi. Sebaliknya bila individu tida memiliki kematangan emosi maka akan sulit mengelola emosinya secara baik dalam bekerja. Disamping itu individu akan menjadi pekerja yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan, tidak mampu bersikap terbuka dalam menerima perbedaan pendapat , kurang gigih dan sulit berkembang.
Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.
Aspek-aspek kecerdasan emosi
Goleman (dalam Salovey, 2002) mengemukakan lima aspek kecerdasan emosi yaitu:
(a) Mengenali emosi diri. Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosi, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu lebih mudah menguasai emosi.
(b) Mengelola emosi. Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
(c) Memotivasi diri sendiri. Setiap individu harus memiliki motivasi dalam dirinya, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
(d) Mengenali emosi orang lain. Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Rosenthal (Goleman, 2002) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orangorang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Nowicki (dalam Goleman, 2002), ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
(e) Membina hubungan dengan orang lain. Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Individu yang memiliki keterampilan membina hubungan dengan orang lain akan sukses dalam bidang apapun. Individu berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya (Salovey, 2002).


Ciri-ciri Kecerdasan Emosi Tinggi dan Rendah
Goleman (1995) mengemukakan karakteristik individu yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dan rendah sebagai berikut:
(a) Kecerdasan emosi tinggi yaitu mampu mengendalikan perasaan marah, tidak agresif dan memiliki kesabaran, memikirkan akibat sebelum bertindak, berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidupnya, menyadari perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat berempati pada orang lain, dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif, memiliki konsep diri yang positif, mudah menjalin persahabatan dengan  orang lain, mahir dalam berkomunikasi, dan dapat menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai.
(b)Kecerdasan emosi rendah yaitu bertindak mengikuti perasaan tanpa memikirkan akibatnya, pemarah, bertindak agresif dan tidak sabar, memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa, kurang peka terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain, tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang negatif, mudah terpengaruh oleh perasaan negatif, memiliki konsep diri yang negatif, tidak mampu menjalin persahabatan yang baik dengan orang lain, tidak mampu berkomunikasi dengan baik, dan menyelesaikan konflik sosial dengan kekerasan.


STUDI KASUS

Salim Ruhmana: Tukang Becak Pendiri Madrasah

Seorang pria dengan muka keriput dan tak jarang tersengat teriknya matahari setia mengayuh becak dengan berselimut debu jalanan. Ia adalah Salim Ruhmana, pria berusia 62 tahun yang akrab disapa dengan Pak Salim ini tinggal di sebuah kontrakan kecil di Jalan M. Al-Ikhlas, Kampung Utan, Ciputat Timur, Jakarta.
Menyusuri rumahnya melewati gang kecil, reporter esqmagazine.com berkesempatan berkunjung ke rumahnya. Meski usianya tak lagi muda, namun semangat Salim masih tetap terjaga. Di usia yang semakin senja, ia mempunyai keinginan luhur yaitu mengabdikan diri untuk umat. Satu keinginannya yang mulia yakni mendirikan sebuah sekolah (madrasah) di kampungnya yang terletak di Dusun Karangcengek, Desa/Kec. Pamarican, Ciamis, Jawa Barat.
Pria yang kesehariannya mangkal di samping Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta ini berupaya mendirikan sebuah madrasah. Tentu untuk mewujudkannya tak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Berbagai cara ia lakukan, salah satunya dengan mencari donatur untuk membantu pembangunan madrasah.
Semua berawal ketika di kampungnya, ia melihat anak-anak berduyun-duyun bermain bersama di sore hari. Ia penasaran ingin melihat apa yang dilakukan anak-anak itu di sore hari. Salim merasa terketuk hatinya melihat anak-anak belajar bersama di salah satu rumah tetangganya. Kegiatan belajar mengajar ini digagas oleh tetangganya yang menginginkan adanya pendidikan bagi anak-anak di Dusun Karangcengek.
Apa yang dilihatnya sangat menggugah hatinya. Ia tak ingin kegiatan belajar-mengajar itu hanya bersifat sementara. Impiannya mendirikan ruang belajar yang lebih baik terus berkecamuk dalam pikirannya. Menyadari kondisinya hanya sebagai tukang becak dengan penghasilan rata-rata sekitar Rp 20.000 per hari, akhirnya memunculkan ide untuk menghimpun sumbangan.  
Sambil menarik becak, ia ungkapkan rencana membangun madrasah kepada para pelanggannya, dengan menunjukkan dokumen-dokumen dan foto-foto.
Suatu hari di tahun 2003, Salim mendapat pelanggan seorang anak SMP. Anak itu mengenalkan Salim kepada ayahnya. Setelah kenal cukup lama, Salim menyampaikan keinginannya membangun madrasah kepada ayah pelanggannya tersebut.
Bak gayung bersambut, ayah dari anak itu ternyata bersedia membantu Salim. Salim pun mengajaknya ke lokasi rencana pembangunan madrasah di Dusun Karangcengek, Desa, Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Salim pun diminta membuat proposal pengajuan dana untuk membangun madrasah. Singkat cerita, dana yang berhasil dicairkan sebesar Rp 121 juta.
Tahap demi tahap pembangunan madrasah pun dimulai. Madrasah yang dinamakan Madrasah Diniyah Awaliyah Nurul Hidayah itu pun sudah berdiri pada 2003. Meski begitu, pembangunan Madrasah Diniyah masih dirasakan sangat kurang, karena belum adanya perlengkapan belajar mengajar yang mendukung, seperti meja dan bangku. Alhasil para siswa belajar tanpa didukung meja dan bangku sekitar enam tahun lamanya.
Bermodal semangat dan keyakinan, Salim tak patah arang. Ia justru kembali ke Jakarta untuk mengayuh becak seperti biasa, sambil mencari donatur. Salim bahkan pernah berhutang untuk biaya pembangunan madrasah. Setiap kali ke Ciamis, Salim selalu membawa dana untuk pembangunan madrasah. Dirasakan oleh Salim, Allah SWT selalu memudahkan jalannya, dengan adanya donatur yang bersedia membantu.
Sepak terjangnya kemudian menarik perhatian masyarakat. Beberapa media bahkan pernah meliput kiprahnya. Pengabdiannya di dunia pendidikan juga menggugah Perum Pegadaian. Tahun lalu Perum Pegadaian memberikan bantuan berupa dana pembangunan gedung, meja, bangku, pakaian, tas, lemari, papan tulis, korden, komputer, pompa air, dan dana operasional untuk satu tahun.
Kini Madrasah Diniyah Awaliyah Nurul Hidayah telah berganti nama menjadi Madrasah Diniyah Takmiliyah Awwaliyah Nurul Hidayah. Salim sebagai pendiri madrasah juga berperan sebagai pengawas. Meski begitu, Salim tetap menjalani kesehariannya sebagai pengayuh becak.
Dalam sehari, Salim bisa mengayuh becak sampai tiga kali. Dimulai dari pukul 8.30 pagi sampai waktu shalat dzuhur pukul 12.00. Usai shalat dzuhur dilanjutkan lagi sampai dengan waktu shalat asar pukul 15.00, kemudian dilanjutkan lagi sampai waktu shalat maghrib. Meski sudah lama mengayuh becak, ia tetap istiqomah menjalankan shalat lima waktu.
Tahun demi tahun dilewatinya, usia pun sudah semakin tua. Usia terkadang membuatnya hanya bisa mengayuh becak sekali dalam sehari, bahkan jika kurang sehat ia sama sekali tidak mengayuh becak. Banyak suka duka yang dialaminya, terutama duka ketika harus memikirkan bagaimana caranya memperoleh beras untuk makan sehari-hari.
 Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Salim ditemani isteri dan anak bungsunya membuka warung kecil. Salim meyakini, Allah akan memberikan rezeki kepada hambanya yang mau berusaha. Ia memaknai pekerjaannya sebagai pengayuh becak dan mendirikan madrasah hanya karena ibadah kepada Allah semata.

ANALISIS KASUS
Salim Ruhmana merupakan orang yang tergolong mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi, dikarenakan Salim berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidupnya, menyadari perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat berempati pada orang lain, dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif, memiliki konsep diri yang positif, mudah menjalin persahabatan dengan  orang lain, mahir dalam berkomunikasi.
Dalam kasus tersebut Salim mempunyai semangat yang tinggi untuk mendirikan madrasah di kampungnya. Walaupun dalam keterbatasan dari segi financial, Salim senantiasa selalu berusaha mewujudkan apa yang menjadi harapannya untuk membangun sebuah Madrassah dengan cara mengumpulkan sumbangan dari orang-orang yang sering menggunakan jasa becaknya, yaitu dengan mengungkapkan niatnya dan menunjukkan dokumen serta foto-foto guna meyakinkan paa donator. Walaupun sangat sulit untuk mencari donatur tetapi Salim mempunyai semangat serta daya tahan untuk mencapai keinginannya, didukung dengan perilaku yang baik dan mahir dalam berkomunikasi akhirnya banyak donator yang bbersedia menyumbang dan akhirnya mendirikan Madrasah di kampungnya dapat terwujud berkat kegigihan dan sikap pantang menyerahnya.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
·         Kecerdasan emosional atau yang biasa dikenal dengan EQ (bahasa Inggris : emotional quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta  mengontrol emosi dirinya dan oranglain di sekitarnya
·         Kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.
·         Aspek-aspek kecerdasan emosi antara lain adalah: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain



Daftar Pustaka

Agustian, A. G. 2005. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. Jakarta:Penerbit Arga



0 komentar:

Posting Komentar