BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini, banyak
penelitian dilakukan untuk meningkatkan/mengelola kemampuan emosi, inteligen
dan spiritual. Sebuah kecenderungan klasik dalam sejarah manusia bahwa
konflik-konflik intelektual besar, seringkali terjadi karena adanya pemisahan,
misalnya iman yang terpisah dengan rasio.
Dari berbagai hasil
penelitian, telah banyak terbukti bahwa kecerdasan emosi memiliki peran yang
jauh lebih signifikan dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan otak
(IQ) barulah sebatas syarat minimal meraih keberhasilan, namun kecerdasan
emosilah yang sesungguhnya mengantarkan seseorang menuju puncak prestasi.
Terbukti bahwa banyak orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi,
terpuruk di tengah persaingan. Sebaliknya banyak yang mempunyai kecerdasan
intelektual biasa-biasa saja, justru sukses menjadi bintang-bintang kinerja,
pengusaha-pengusaha sukses, dan pemimpin di berbagai kelompok. Di sinilah
kecerdasan emosi(EQ) membuktikan eksistensinya. Hal ini menimbulkan rasa
penaran dalam diri manusia mengenai kecerdasan emosional yang sesungguhnya.
Penulis akan mencoba mengkaji dari segi teoritis dan dalam studi kasus yang
dibahas dalam makalah ini.
BAB II
ISI
TINJAUAN TEORI
Kecerdasan
emosional atau yang biasa dikenal dengan EQ (bahasa Inggris
: emotional
quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya
dan oranglain di sekitarnya. Dalam hal ini, emosi mengacu pada perasaan terhadap informasi akan suatu hubungan.
Sedangkan, kecerdasan (intelijen) mengacu pada kapasitas untuk memberikan
alasan yang valid akan suatu hubungan.
Kecerdasan
emosional (EQ) belakangan ini dinilai tidak kalah penting dengan kecerdasanintelektual (IQ). Sebuah
penelitian mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting
daripada kecerdasan intelektual dalam memberikan kontribusi terhadap
kesuksesan seseorang.
Menurut Howard
Gardner (1983) terdapat lima pokok utama dari kecerdasan emosional
seseorang, yakni mampu menyadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki
kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan bernegosiasi dengan orang lain secara emosional, serta dapat menggunakan
emosi sebagaialat untuk memotivasi diri.
Kecerdasan
emosional juga mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk
mengendalikan dorongan hati dan emosi,
tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban
stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam
orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan
sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin
diri dan lingkungan sekitarnya. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada anak-anak.
Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri,
menderita kekurangmampuan pengendalian moral.
Goleman (1997),
mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang
baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu
yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat
emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan
sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman (1997) mengemukakan
bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki
seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan,
mengendalikan emosi dan
menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional
tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah
kepuasan dan mengatur suasana hati.
Sementara Cooper dan Sawaf (1998)
mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan
secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan
pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk
belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta
menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam
kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya Howes dan
Herald (1999) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen
yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa emosi manusia berada
diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi
yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman
yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Menurut
Harmoko (2005) Kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali,
mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri
sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain.
Jelas bila seorang indiovidu mempunyai kecerdasan emosi tinggi, dapat hidup
lebih bahagia dan sukses karena percaya diri serta mampu menguasai emosi atau mempunyai
kesehatan mental yang baik.
Sedangkan menurut Dio
(2003), dalam konteks pekerjaan, pengertian kecerdasan emosi adalah
kemampuan untuk mengetahui yang orang lain rasakan, termasuk cara tepat untuk
menangani masalah. Orang lain yang dimaksudkan disini bisa meliputi atasan,
rekan sejawat, bawahan atau juga pelanggan. Realitas menunjukkan seringkali
individu tidak mampu menangani masalah–masalah emosional di tempat kerja secara
memuaskan. Bukan saja tidak mampu memahami perasaan diri sendiri, melainkan juga
perasaan orang lain yang berinteraksi dengan kita. Akibatnya sering terjadi
kesalahpahaman dan konflik antar pribadi.
Berbeda dengan pemahaman negatif
masyarakat tentang emosi yang lebih mengarah pada emosionalitas sebaiknya
pengertian emosi dalam lingkup kecerdasan emosi lebih mengarah pada kemampuan
yang bersifat positif. Didukung pendapat yang dikemukakan oleh Cooper (1999)
bahwa kecerdasan emosi memungkinkan individu untuk dapat merasakan dan memahami
dengan benar, selanjutnya mampu menggunakan daya dan kepekaan emosinya sebagai
energi informasi dan pengaruh yang manusiawi. Sebaliknya bila individu tida
memiliki kematangan emosi maka akan sulit mengelola emosinya secara baik dalam
bekerja. Disamping itu individu akan menjadi pekerja yang tidak mampu
beradaptasi terhadap perubahan, tidak mampu bersikap terbuka dalam menerima
perbedaan pendapat , kurang gigih dan sulit berkembang.
Dari beberapa pendapat
diatas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk
belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk
menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam
kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.
Aspek-aspek
kecerdasan emosi
Goleman (dalam
Salovey, 2002) mengemukakan lima aspek kecerdasan emosi yaitu:
(a) Mengenali emosi diri. Mengenali emosi diri sendiri
merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu
terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosi, para ahli
psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran
seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002) kesadaran diri
adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila
kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan
dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi,
namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga
individu lebih mudah menguasai emosi.
(b) Mengelola emosi. Mengelola emosi merupakan kemampuan
individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau
selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi
yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi.
Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak
kestabilan kita (Goleman, 2002). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk
menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan
dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari
perasaan-perasaan yang menekan.
(c) Memotivasi diri sendiri. Setiap individu harus memiliki
motivasi dalam dirinya, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri
terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan
motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
(d) Mengenali emosi orang lain. Kemampuan untuk mengenali
emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002) kemampuan
seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati
seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap
sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang
dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang
lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan
orang lain. Rosenthal (Goleman, 2002) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
orangorang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu
menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan
lebih peka. Nowicki (dalam Goleman, 2002), ahli psikologi menjelaskan bahwa
anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan
terus menerus merasa frustasi. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain
juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya
sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut
mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
(e) Membina hubungan dengan orang lain. Kemampuan dalam
membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas,
kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002). Keterampilan dalam
berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan.
Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami
keinginan serta kemauan orang lain. Individu yang memiliki keterampilan membina
hubungan dengan orang lain akan sukses dalam bidang apapun. Individu berhasil
dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain.
Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan
karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002). Ramah tamah, baik hati,
hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa
mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa
berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya
(Salovey, 2002).
Ciri-ciri
Kecerdasan Emosi Tinggi dan Rendah
Goleman (1995)
mengemukakan karakteristik individu yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi
dan rendah sebagai berikut:
(a) Kecerdasan emosi tinggi yaitu mampu mengendalikan
perasaan marah, tidak agresif dan memiliki kesabaran, memikirkan akibat sebelum
bertindak, berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidupnya,
menyadari perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat berempati pada orang
lain, dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif, memiliki konsep
diri yang positif, mudah menjalin persahabatan dengan orang lain, mahir dalam berkomunikasi, dan
dapat menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai.
(b)Kecerdasan emosi rendah yaitu bertindak mengikuti perasaan
tanpa memikirkan akibatnya, pemarah, bertindak agresif dan tidak sabar, memiliki
tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa, kurang peka
terhadap perasaan diri sendiri dan orang lain, tidak dapat mengendalikan
perasaan dan mood yang negatif, mudah terpengaruh oleh perasaan negatif,
memiliki konsep diri yang negatif, tidak mampu menjalin persahabatan yang baik
dengan orang lain, tidak mampu berkomunikasi dengan baik, dan menyelesaikan
konflik sosial dengan kekerasan.
STUDI KASUS
Salim Ruhmana: Tukang Becak Pendiri Madrasah
Seorang pria
dengan muka keriput dan tak jarang tersengat teriknya matahari setia mengayuh
becak dengan berselimut debu jalanan. Ia adalah Salim Ruhmana, pria berusia 62
tahun yang akrab disapa dengan Pak Salim ini tinggal di sebuah kontrakan kecil
di Jalan M. Al-Ikhlas, Kampung Utan, Ciputat Timur, Jakarta.
Menyusuri rumahnya
melewati gang kecil, reporter esqmagazine.com berkesempatan berkunjung ke
rumahnya. Meski usianya tak lagi muda, namun semangat Salim masih tetap
terjaga. Di usia yang semakin
senja, ia mempunyai keinginan luhur yaitu mengabdikan diri untuk umat. Satu
keinginannya yang mulia yakni mendirikan sebuah sekolah (madrasah) di
kampungnya yang terletak di Dusun Karangcengek, Desa/Kec. Pamarican, Ciamis,
Jawa Barat.
Pria yang
kesehariannya mangkal di samping Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta ini berupaya mendirikan sebuah madrasah. Tentu untuk mewujudkannya tak
semudah seperti membalikkan telapak tangan. Berbagai cara ia lakukan, salah
satunya dengan mencari donatur untuk membantu pembangunan madrasah.
Semua berawal
ketika di kampungnya, ia melihat anak-anak berduyun-duyun bermain bersama di
sore hari. Ia penasaran ingin melihat apa yang dilakukan anak-anak itu di sore
hari. Salim merasa terketuk hatinya melihat anak-anak belajar bersama di salah
satu rumah tetangganya. Kegiatan belajar mengajar ini digagas oleh tetangganya
yang menginginkan adanya pendidikan bagi anak-anak di Dusun Karangcengek.
Apa yang
dilihatnya sangat menggugah hatinya. Ia tak ingin kegiatan belajar-mengajar itu
hanya bersifat sementara. Impiannya mendirikan ruang belajar yang lebih baik
terus berkecamuk dalam pikirannya. Menyadari kondisinya hanya sebagai tukang
becak dengan penghasilan rata-rata sekitar Rp 20.000 per hari, akhirnya
memunculkan ide untuk menghimpun sumbangan.
Sambil menarik
becak, ia ungkapkan rencana membangun madrasah kepada para pelanggannya, dengan
menunjukkan dokumen-dokumen dan foto-foto.
Suatu hari di
tahun 2003, Salim mendapat pelanggan seorang anak SMP. Anak itu mengenalkan
Salim kepada ayahnya. Setelah kenal cukup lama, Salim menyampaikan keinginannya
membangun madrasah kepada ayah pelanggannya tersebut.
Bak gayung
bersambut, ayah dari anak itu ternyata bersedia membantu Salim. Salim pun
mengajaknya ke lokasi rencana pembangunan madrasah di Dusun Karangcengek, Desa,
Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Salim pun diminta membuat
proposal pengajuan dana untuk membangun madrasah. Singkat cerita, dana yang
berhasil dicairkan sebesar Rp 121 juta.
Tahap demi tahap
pembangunan madrasah pun dimulai. Madrasah yang dinamakan Madrasah Diniyah
Awaliyah Nurul Hidayah itu pun sudah berdiri pada 2003. Meski begitu,
pembangunan Madrasah Diniyah masih dirasakan sangat kurang, karena belum adanya
perlengkapan belajar mengajar yang mendukung, seperti meja dan bangku. Alhasil
para siswa belajar tanpa didukung meja dan bangku sekitar enam tahun lamanya.
Bermodal semangat
dan keyakinan, Salim tak patah arang. Ia justru kembali ke Jakarta untuk
mengayuh becak seperti biasa, sambil mencari donatur. Salim bahkan pernah
berhutang untuk biaya pembangunan madrasah. Setiap kali ke Ciamis, Salim selalu
membawa dana untuk pembangunan madrasah. Dirasakan oleh Salim, Allah SWT selalu
memudahkan jalannya, dengan adanya donatur yang bersedia membantu.
Sepak terjangnya
kemudian menarik perhatian masyarakat. Beberapa media bahkan pernah meliput
kiprahnya. Pengabdiannya di dunia pendidikan juga menggugah Perum Pegadaian.
Tahun lalu Perum Pegadaian memberikan bantuan berupa dana pembangunan gedung,
meja, bangku, pakaian, tas, lemari, papan tulis, korden, komputer, pompa air,
dan dana operasional untuk satu tahun.
Kini Madrasah Diniyah Awaliyah Nurul Hidayah
telah berganti nama menjadi Madrasah Diniyah Takmiliyah Awwaliyah Nurul
Hidayah. Salim sebagai pendiri madrasah juga berperan sebagai pengawas. Meski
begitu, Salim tetap menjalani kesehariannya sebagai pengayuh becak.
Dalam sehari, Salim bisa mengayuh becak sampai
tiga kali. Dimulai dari pukul
8.30 pagi sampai waktu shalat dzuhur pukul 12.00. Usai shalat dzuhur
dilanjutkan lagi sampai dengan waktu shalat asar pukul 15.00, kemudian
dilanjutkan lagi sampai waktu shalat maghrib. Meski sudah lama mengayuh becak,
ia tetap istiqomah menjalankan shalat lima waktu.
Tahun demi tahun
dilewatinya, usia pun sudah semakin tua. Usia terkadang membuatnya hanya bisa
mengayuh becak sekali dalam sehari, bahkan jika kurang sehat ia sama sekali
tidak mengayuh becak. Banyak suka duka yang dialaminya, terutama duka ketika
harus memikirkan bagaimana caranya memperoleh beras untuk makan sehari-hari.
Untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Salim ditemani isteri dan anak bungsunya
membuka warung kecil. Salim meyakini, Allah akan memberikan rezeki kepada
hambanya yang mau berusaha. Ia memaknai pekerjaannya sebagai pengayuh becak dan
mendirikan madrasah hanya karena ibadah kepada Allah semata.
ANALISIS
KASUS
Salim
Ruhmana merupakan orang yang tergolong mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi,
dikarenakan Salim berusaha dan mempunyai daya tahan
untuk mencapai tujuan hidupnya, menyadari perasaan diri sendiri dan orang lain,
dapat berempati pada orang lain, dapat mengendalikan mood atau perasaan
negatif, memiliki konsep diri yang positif, mudah menjalin persahabatan
dengan orang lain, mahir dalam
berkomunikasi.
Dalam kasus
tersebut Salim mempunyai semangat yang tinggi untuk mendirikan madrasah di
kampungnya. Walaupun dalam keterbatasan dari segi financial, Salim senantiasa
selalu berusaha mewujudkan apa yang menjadi harapannya untuk membangun sebuah
Madrassah dengan cara mengumpulkan sumbangan dari orang-orang yang sering
menggunakan jasa becaknya, yaitu dengan mengungkapkan niatnya dan menunjukkan
dokumen serta foto-foto guna meyakinkan paa donator. Walaupun sangat sulit
untuk mencari donatur tetapi Salim mempunyai semangat serta daya tahan untuk
mencapai keinginannya, didukung dengan perilaku yang baik dan mahir dalam
berkomunikasi akhirnya banyak donator yang bbersedia menyumbang dan akhirnya
mendirikan Madrasah di kampungnya dapat terwujud berkat kegigihan dan sikap
pantang menyerahnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·
Kecerdasan
emosional atau
yang biasa dikenal dengan EQ (bahasa Inggris : emotional quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan oranglain di sekitarnya
·
Kecerdasan
emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri
sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan
efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.
·
Aspek-aspek kecerdasan emosi antara lain adalah: mengenali
emosi diri, mengelola
emosi, memotivasi diri sendiri mengenali emosi orang
lain dan membina hubungan dengan
orang lain
Daftar Pustaka
Agustian, A.
G. 2005. Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ. Jakarta:Penerbit Arga
0 komentar:
Posting Komentar