azizherwit

Selasa, 19 Februari 2013

PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA DEWASA MADYA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang Masalah
Manusia pada hakekatnya akan selalu mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut dimulai dari awal pembentukkan manusia itu sendiri kemudian manusia dilahirkan, sejak bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa, hingga mereka tua dan mati. Perkembangan tersebut merupakan suatu proses perubahan yang sistematis, progresif, dan berkesinambungan. Dalam proses perkembangan terdapat tahap-tahap berbeda dengan pola tertentu namun saling berhubungan. Dan dalam diri manusia itu sendiri tidak hanya mengalami satu jenis perkembangan tetapi ada beberapa perkembangan yang manusia alami semasa hidupnya. Diantaranya adalah perkembangan fisik, perkembangan kognitif, perkembangan psikososial, perkembangan moral, dan lain sebagainya sesuai dengan usia perkembangannya. Dimana seperti disebutkan di atas bahwa masing-masing perkembangan tersebut saling berhubungan dan di tiap tahapnya bersifat kontinyu.
Masa dewasa madya (40-60 tahun) merupakan masa-masa pemantapan dan masa mualinya penurunan beberapa fungsi seperti fungsi fisik dan kognitif. Pada masa dewasa madya ini, seseorang juga mengalami masalah-masalah baru seperti masalah emosi akibat ditinggal anak-anak yang mulai menginjak remaja bahkan anak-anak yang mulai pergi dari rumah untuk mencari ilmu dan pengalaman. Selain itu masalah dengan pasangan yang mungkin sudah tak sama lagi seperti yang dulu ketika awal-awal pernikahan. Namun di sisi lain, moral seorang dewasa madya harusnya mulai terjadi pemantapan akan aturan-aturan yang didasarkan atas kesepakatan bersama demi kesejahteraan bersama. Perkembangan moral sama halnya dengan perkembangan lain yang bersifat bertahap dan kontinu, perkembangan moral dewasa madya merupakan kelanjutan dari perkembangan moral dewasa awal, meskipun keduanya masih dalam satu tahap yang sama bila ditinjau dari teori Piaget dan Kohlberg yaitu tahap Operasional Formal dan tahap Post-Conventional.

1.2   Rumusan Masalah
1.       Pada tahap apakah perkembangan moral dewasa madya?
2.       Bagaimana perkembangan moral yang terjadi pada tahap usia dewasa madya?
3.       Bagaimana pengaruh lingkungan terhadap perkembangan seorang dewasa madya?
1.3   Tujuan
1.       Mengetahui tahap perkembangan moral pada orang dewasa madya.
2.       Memahami bagaimana perkembangan moral yang terjadi pada dewasa madya.
3.       Mengetahui pengaruh lingkungan terhadap perkembangan moral dewasa madya. 



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya adat istiadat, kebiasaan, peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti:
·  Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
·  Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Perkembangan Moral
Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Ketika dilahirkan, anak-anak  tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), seorang anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.

2.1 Teori Perkembangan Moral Piaget
Jean Piaget (1896-1980) menyusun teori perkembangan moralnya yang dikenal sebagai teori struktural-kognitif.  Teori ini melihat perkembangan moral sebagai suatu hasil interaksi antara pelaksana aturan, pengikut atau pembuatnya secara individual dengan kerangka jalinan aturan yang bersangkutan yang menunjukkan esensi moralitas itu. Fokus teori ini ada pada sikap, perasaan (afeksi), serta kognisi dari individu terhadap perangkat aturan yang bersangkutan (Kurtines, 1992: 513). Teori struktur-kognitif Piaget dibangun berdasarkan penelitiannya mengenai struktur kognitif dan perkembangan penalaran moral (moral reasoning) yang termuat dalam karya klasiknya yang terbit pertama kali pada 1932, The Moral Judgement of the Child (Conn, 1982: 378). Piaget melakukan penelitiannya dengan mengamati anak-anak yang bermain kelereng. Pengamatan Piaget menunjukkan adanya kontradiksi yang jelas antara perubahan persepsi yang berkaitan dengan usia dan ketaatan terhadap aturan. Kontradiksi yang dimaksud diselesaikan dengan jalan mengklasifikasikan penalaran moral dan anak-anak yang agak kecil dan yang agak besar (Burton, 1992: 323-324). Berdasarkan penelitian itu dirumuskan dua buah urutan perkembangan yang paralel: satu rumusan urutan perkembangan berkenaan dengan pelaksanaan aturan, sedang rumusan lainnya berkenaan dengan kesadaran akan peraturan. Masing-masing urutan perkembangan melukiskan adanya peralihan dari orientasi yang bersifat eksternal, egosentris dan heteronom, ke arah orientasi yang menunjukkan adanya keinginan untuk bekerjasama dan berpegang pada aturan itu sebagai hasil perjanjian bersama (Turiel dan Smetana, 1992:459).
Piaget mengemukakaan bahwa penalaran moral berkembang dalam tiga tahapan, yaitu:
1.    Praoprasional
Pada tahap ini biasanya terjadi pada kira-kira usia 2 sampai 7 tahun. Penalaran moral seseorang didasarkan atas kepatuhan pada pihak otoritas. Anak kecil berpikir kaku mengenai konsep-konsep moral. Mereka tidak dapat membayangkan lebih dari satu cara untuk melihat persoalan moral. Mereka meyakini bahwa aturan berasal dari otoritas pihak dewasa dan tidak dapat diubah, tidak peduli perilaku itu benar ataupun salah, dan semua kesalahan harus diberikan hukuman tanpa memedulikan niatnya.
2.    Oprasional Kongkret
Pada tahap ini biasanya terjadi pada kira-kira usia 8 sampai 11 tahun. Tahap ini dicirikan dengan fleksibilitas. Anak-anak berinteraksi dengan lebih banyak orang yang memiliki sudut pandang yang berbeda-beda sehingga mereka lebih memiliki pandangan yang luas.  Mereka mulai membuang ide bahwa ada standar benar dan salah yang tunggal dan mutlak. Mereka dapat mempertimbangkan lebih dari satu aspek dalam sebuah situasi dan dapat membuat penilaian moral yang lebih halus, seperti mempertimbangkan niatnya. pelaksanaan peraturan sudah mulai bersifat sebagai aktivitas sosial, sifat egosentrik sudah mulai ditinggalkan. Dalam tahap ini sudah ada keinginan yang kuat untuk memahami peraturan, dan setia mengikuti peraturan tersebut. Sifat heteronomi mulai bergeser pada sifat otonomi.

3.    Oprasional Formal
Seseorang biasanya mencapai masa perkembanganini pada usia 11 atau 12 tahun. Pada tahap ini seseorang sudah dapat memahami penalaran moral lebih baik dari tahap-tahap sebelumnya. Sudah ada kemampuan untuk berpikir abstrak, sudah ada kesadaran bahwa peraturan merupakan hasil kesepakatan bersama. Tahap ini merupakan tahap kodifikasi atau tahap pemantapan peraturan (Soenarjati dan Cholisin, 1989: 34-35) Ia sudah dapat menilai suatu masalah dengan mempertimbangkan situasi yang lebih spesifik, seperti lebih mempertimbangkan niat dari suatu perilaku.
Keputusan moral anak berubah seiring dengan pertumbuhan usianya (Conn, 1982: 378). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan moral terdapat pergeseran yang sifatnya alami, yang terjadi secara bersamaan dengan atau segera setelah peralihan kognitif dari pemikiran pra-operasional ke arah pemikiran operasional, di sekitar usia tujuh tahun. Pergeseran tersebut berlangsung sedemikian, sehingga anak yang bersangkutan untuk pertamakalinya mulai menyadari maksudnya sendiri serta memanfaatkan informasi ini dalam mengadakan pertimbangan moral yang menyangkut orang lain (Liebert, 1992: 291).Pada bagian lain, pertimbangan moral berkembang sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Piaget tentang konflik moral-kognitif dengan organisasi tahapan urutan. Tahapan perkembangan pertimbangan moral Piaget mengandung suatu proses berjalur tunggal. Artinya, pertimbangan moral tidak timbul dari tindakan moral itu sendiri. Suatu tahapan dari 36 pertimbangan moral mungkin mengandung suatu perilaku baru, demikian pula halnya suatu tindakan yang mengandung konflik dan pilihan mungkin membawa orang untuk menata suatu tahapan baru dari pertimbangan moral.

2.2 Teori Perkembangan Moral Kohlberg
Perkembangan moral pada teori Kohlberg terbagi menjadi 3 tahap, yaitu:
a.                        Preconventional morality (4-10)
1.    Orientasi kepatuhan dan hukuman, pada tahap ini seseorang akan mematuhi aturan atas dasar alasan eksternal yaitu untuk menghindari hukuman atau mendapatkan hadiah.
2.    Orientasi minat pribadi, berperilaku atas dasar kepentingan pribadinya seperti apa keuntungan untuknya jika ia melakukan atau tidak melakukan hal itu.

b.                       Conventional Morality (setelah 10 tahun)
3.    Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas, pada tahap ini seseorang telah menginternalisasi standar dari figur otoritas, ia peduli untuk menjadi seseorang yang baik dan meyenangkan bagi orang lain.
4.    Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial, seseorang akan berusaha untuk mempertahankan aturan sosial.
c.Postconventional Morality (dewasa awal 21-40 th)
5.    Orientasi kontrak sosial
aturan dianggap sebagai kontrak sosial bukan sebagai keputusan yang kaku, dimana bila ada aturan yang dapat memunculkan ketidaksejahteraan aturan tersebut harus diubah melalui pendapat mayoritas dan kompromi.
6.    Prinsip etika universal,
pada tahap ini keputusan mengenai perilaku-pwerilaku sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain, keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial.

2.3 Teori Bioekologi Bronfenbrenner
Menurut sudut pandang kontekstual, perkembangan manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Teori bioekologi bronfenbrenner menjelaskan berbagai proses yang saling berinteraksi dan mempengaruhi dalam perkembangan manusia. Setiap organisme berkembang dalam konteks sistem ekologi yang mendukung atau menghambat perkembangannya. Menurut Bronfenbrenner, perkembangan muncul dari  berbagai proses yang rutin dan berkembang menjadi semakin rumit. Untuk memahami proses ini kita harus mempelajari berbagai konteks dimana mereka berada, seperti rumah, sekolah dan lingkungan tempat tinggal. Bronfenbrenner mengidentifikasi lima sistem kontekstual yang saling terkait, yaitu:
a.       Mikrosistem
      Mikrosistem adalah setting tempat individu banyak menghabiskan waktu. Beberapa konteks dalam sistem ini antara lain adalah keluarga, teman sebaya, sekolah, dan tetangga. Dalam mikrosistem inilah individu berinteraksi dengan agen sosial secara langsung (keluarga, teman sebaya, guru). Menurut Bronfenbenner, dalam setting ini individu bukanlah penerima pengalaman yang pasif, tetapi sebagai individu yang berinteraksi secara timbal balik dengan orang lain. Bronfrenbrenner menunjukkan bahwa kebanyakan penelitian tentang dampak-dampak sosio kultural berfokus pada mikrosistem. 
b.      Mesosistem
      Mesosistem adalah hubungan antara beberapa mikrosistem atau hubungan antara beberapa konteks. Contohnya adalah hubungan antara pengalaman keluarga dengan pengalaman sekolah, pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan, dan pengalaman keluarga dengan pengalaman teman sebaya. 
      Dalam studi terhadap seribu anak kelas delapan (3 SMP), diteliti dampak gabungan dari pengalaman di keluarga dan di sekolah terhadap sikap dan prestasi siswa saat siswa melewati masa transisi dari tahun terakhir SMP ke awal SMA (Epstein,1983 dalam Santrock, 2008). Siswa yang diberi kesempatan lebih banyak untuk berkomunikasi dan mengambil keputusan (baik di rumah maupun di kelas) menunjukkan inisiatif dan nilai akademik yang baik. 
c.       Eksosistem
      Eksosistem dilibatkan ketika pengalaman-pengalaman dalam setting sosial lain, ketika individu tidak memiliki peran yang aktif mempengaruhi hal yang individu alami dalam konteks yang dekat. Atau sederhananya menurut eksosistem melibatkan pengalaman individu yang tak memiliki peran aktif di dalamnya. Misalnya, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang perempuan dengan suami dan anaknya. Seorang ibu dapat menerima promosi yang menuntutnya melakukan lebih banyak pekerjaan, yang dapat meningkatkan konflik perkawinan dan perubahan pola interaksi orang tua-anak.
      Contoh lain eksosistem adalah pemerintah kota yang bertanggung jawab bagi kualitas taman, pusat rekreasi dan fasilitas perpustakaan bagi anak-anak dan remaja. Keputusan mereka bisa membantu bisa menghambat atau membantu perkembangan individu secara tidak langsung. 
d.       Makrosistem
      Makrosistem adalah kultur yang lebih luas. Kultur merupakan istilah yang luas yang mencakup peran etnis dan faktor sosioekonomi dalam perkembangan anak. Kultur adalah konteks terluas tempat siswa dan guru tinggal, termasuk nilai dan adat istiadat masyarakat
      Misalnya, beberapa kultur (seperti Mesir dan Iran sebagai negara Islam), menekankan pada peran gender yang tradisioanal. Kultur lain (seperti di Amerika Serikat) menerima peran gender yang lebih bervariasi. Di kebanyakan negara Islam sistem pendidikannya mengutamakan dominasi pria. Di Amerika, sekolah-sekolah semakin mendukung nilai kesetaraan antara pria dan wanita. 
      Satu dari aspek atatus sosioekonomi murid adalah faktor perkembangan dalam kemiskinan. Kemiskinan dapat memengaruhi perkembangan anak dan merusak kemampuan mereka untuk belajar, meskipun beberapa anak di lingkungan miskin sangat rajin. 

e.       Kronosistem 
      Kronosistem meliputi pengolahan peristiwa-peristiwa sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan sosiohistoris dari perkembangan individu. Misalnya, dalam mempelajari dampak perceraian terhadap anak-anak, para peneliti menemukan bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama setelah percaraian dan bahwa dampaknya lebih negatif bagi anak laki-laki daripada anak perempuan (Hetherington, 1989 dalam Santrock, 2008). Dua tahun setelah perceraian, interaksi dalam keluarga tidak begitu kacau dan lebih stabil. 
      Bronfenbrenner semakin banyak memberi perhatian kepada kronosistem sebagai sistem lingkungan yang penting. Dia memperhatikan dua problem penting, yaitu banyaknya anak Amerika yang hidup dalam kemiskinan (terutama dalam keluarga single-parent) dan penurunan nilai-nilai. 
      Bronfenbenner juga berpendapat bahwa anak-anak sekarang adalah generasi pertama yang mendapatkan perhatian setiap hari, generasi pertama yang tumbuh dalam lingkungan elektronik yang dipenuhi oleh komputer dan bentuk media baru, generasi pertama yang tumbuh dalam revolusi seksual, dan generasi pertama yang tumbuh di dalam kota yang semraut dan tak terpusat, yang tidak lagi jelas batas antara kota, pedesaan atau subkota. (Santrock, Psikologi Pendidikan, 2008)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Moral adalah sebagai berikut:
1.       Kurangnya perhatian dan pendidikan agama oleh keluarga. Orang tua adalah tokoh percontohan oleh anak-anak termasuk didalam aspek kehidupan sehari-hari tetapi didalam soal keagamaan hal itu seakan-akan terabaikan. Sehingga akan lahir generasi baru yang bertindak tidak sesuai ajaran agama dan bersikap materialistik.
2.       Pengaruh lingkungan yang tidak baik
Kebanyakan remaja yang tinggal di kota besar menjalankan kehidupan yang individualistik dan materialistik. Sehingga kadang kala didalam mengejar kemewahan tersebut mereka sanggup berbuat apa saja tanpa menghiraukan hal itu bertentangan dengan agama atau tidak, baik atau buruk.
3.       Tekanan psikologi yang dialami
Beberapa remaja mengalami tekanan psikologi ketika di rumah diakibarkan adanya perceraian atau pertengkaran orang tua yang menyebabkan si anak tidak betah di rumah dan menyebabkan dia mencari pelampiasan.
4.       Gagal dalam pendidikan
Remaja yang gagal dalam pendidikan atau tidak mendapat pendidikan, mempunyai waktu senggang yang banyak, jika waktu itu tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, bisa menjadi hal yang buruk ketika dia berkenalan dengan hal-hal yang tidak baik untuk mengisi kekosongan waktunya.
5.       Peranan Media Massa
Remaja adalah kelompok atau golongan yang mudah dipengaruhi  karena remaja sedang mencari identitas diri sehingga mereka dengan mudah untuk meniru atau mencontoh apa yang dia lihat, seperti pada film atau berita yang sifatnya kekerasan, dan sebagainya
6.        Perkembangan teknologi modern
Dengan perkembangan teknologi modern saat ini seperti mengakses informasi dengan cepat, mudah dan tanpa batas juga memudahkan remaja untuk mendapatkan hiburan yang tidak sesuai dengan mereka.



BAB III
PEMBAHASAN

Ditinjau dari teori perkembangan moral dari Piaget yang disebut juga dengan teori perkembangan stuktur-kognitif seseorang yang telah mencapai usia dewasa madya (40-60 th) sewajarnya telah mencapai tahap “Operasional Formal” dimana seseorang telah mampu berpikir secara abstrak termasuk penalarannya mengenai aturan-aturan dan moral.
Seorang yang telah mencapai tahap ini menyadari bahwa aturan merupakan suatu kesepakatan bersama Dalam perkembangan dari remaja menjadi dewasa awal kemudian dewasa madya, seseorang dalam tahap perkembangan moralnya mengalami tahap kodifikasi atau pemantapan peraturan seiring dengan pertambahan usianya. Selain itu, orang-orang dewasa madya mampu mempertimbangkan moral yang menyangkut orang lain namun ia juga menyadari akan maksunya sendiri. Sehingga ia sudah dapat menilai suatu masalah dengan mempertimbangkan situasi yang lebih spesifik, seperti lebih mempertimbangkan niat dari suatu perilaku.
Sementara bila ditinjau dari teori perkembangan moral Kohlberg, seorang dewasa madya yaitu 40-60 tahun telah mencapai tahap “Pasca-Konvensinal” atau “Post-Conventional”. Pada tahap Post-Conventional oleh Kohlberg dibagi lagi menjadi dua tahap yaitu tahap orientasi kontrak sosial dan tahap prinsip etika universal. Seorang manusia dewasa baik dewasa awal maupun dewasa madya menurut Kohlberg telah mencapai tahap Post-conventional ini, namun menurut Kohlberg tidak semua orang mampu mencapai tahap perkembangan moral terakhir yaitu prinsip etika universal. Oleh karena itu tahap perkembangan moral dewasa madya berkisar pada tahap Post-conventional.
Pada tahap Post-Conventional, seseorang menganggap bahwa aturan adalah suatu kontrak sosial yang dapat berubah apabila aturan tersebut memunculkan suatu ketidaksejahteraan melalui pendapat meyoritas atau kompromi. Selain itu semakin berkembangnya moral seseorang, keputusan dalam berperilaku berdasarkan atas prinsip-prinsip moral dan kepentingan orang lain. Keyakinan terhadap moral dan nilai-nilai melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial.
Dari kedua teori perkembangan tersebut, keduanya memandang suatu perkembangan secara bertahap. Sementara itu berdasarkan teori Bioekologi Bronfenbrenner sperkembangan moral seseorang selalu dipengaruhi oleh faktor lingkungannya. Seperti keluarga, teman sebaya, media massa, budaya, dan sebagainya. Sehingga dalam sekelompok orang usia dewasa madya yang berasal dari (misalanya) budaya yang berbeda dan daerah yang berbeda dapat terjadi perbedaan dalam perkembangan moralnya. 



BAB IV
ANALISIS KASUS
4.1   Kasus
Pak Eko telah menikah dengan istrinya “Bu Wahyuni” selama 18 tahun, mereka dikaruniai 3 orang anak. Anak yang pertama berumur 16 tahun, yang kedua berumur 12 tahun dan yang ketiga berumur 8 tahun. Pak Eko berprofesi sebagai bendahara dikantornya tempat ia bekerja. Ia dikenal sebagai seseorang yang baik dan bisa bertanggung jawab. Ia menjadi seorang vigur yang baik bagi anak anaknya. Namun, penghasilan pak Eko pas pasan, hanya cukup untuk biaya hidup sehari hari dan untuk biaya sekolah anaknya.
Akhir akhir ini, pak Eko sering sekali mendapat tekanan dari istrinya. Istrinya terus menerus mengomel akan penghasilan pak Eko yang hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari hari dan biaya sekolah anaknya. Bu Wahyuni sering merasa bahwa suaminya tidak mau bekerja keras sehingga membuat dirinya merendahkan pak Eko.
Pada suatu hari, pak Eko membulatkan tekan dengan mengkorupsi uang yang dibawanya itu untuk membuat istrinya senang. Namun hal itu diketahui oleh pihak kantor sehingga membuat dirinya dipecat dan masuk kedalam penjara. Pak Eko sangat menyesal akan perbuatan yang telah ia lakukan. Istri dan anak anaknya kemudian pindah rumah, karena anak anaknya saat disekolah sering diejek oleh teman temannya sebagai anak seorang koruptor.

4.2   Analisis Kasus
Pak Eko melakukan korupsi tersebut karena pak Eko merasa tertekan oleh istrinya yang terus menerus mengeluh akan kehidupan mereka. Pak Eko merasa putus asa dengan hidupnya. Dalam hal ini, id dan super ego mengalami perdebatan dimana id menyuruhnya untuk melakukan hal apa pun untuk membuat istrinya senang salah satunya dengan korupsi sedangkan super ego nya menolak karena hal itu merupakan hal yang menyimpang dari norma norma yang berlaku.
Ditinjau dari perkembangan molar Piaget, seorang dewasa madya seharusnya berada pada tahap operasioal formal dimana seseorang telah mampu berpikir secara abstrak termasuk penalarannya mengenai aturan-aturan dan moral. Ia juga sudah dapat menilai suatu masalah dengan mempertimbangkan situasi yang lebih spesifik, seperti lebih mempertimbangkan niat dari suatu perilaku. Dalam kasus ini, pak Eko mengerti tentang aturan aturan dan moral yang berlaku, namun karena terdapat tekanan tekanan dari istrinya yang membuatnya menyimpang dari aturan aturan dan moral yang berlaku. 
Ditinjau dari teori perkembangan moral Kohlberg, seorang dewasa madya berada pada tahap Post-Conventional, seseorang menganggap bahwa aturan adalah suatu kontrak sosial yang dapat berubah apabila aturan tersebut memunculkan suatu ketidaksejahteraan melalui pendapat meyoritas atau kompromi. Selain itu semakin berkembangnya moral seseorang, keputusan dalam berperilaku berdasarkan atas prinsip-prinsip moral dan kepentingan orang lain. Keyakinan terhadap moral dan nilai-nilai melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial. Namun pak Eko dalam mengambil keputusannya untuk korupsi merugikan banyak orang, hal ini sangat bertentangan dengan perkembangan moral Kohlberg yg menyatakan bahwa keputusan dalam berperilaku berdasarkan atas prinsip-prinsip moral dan kepentingan orang lain.
Sementara itu berdasarkan teori Bioekologi Bronfenbrenner perkembangan moral seseorang selalu dipengaruhi oleh faktor lingkungannya. Seperti keluarga, teman sebaya, media massa, budaya, dan sebagainya. Pada kasus tersebut, pak Eko melakukan penyimpangan moral karena dipengaaruhi oleh istrinya yang terus menerus mengeluh akan kehidupan mereka. Yang menilai pak Eko suami yang tidak bias member kehidupan yang layak bagi istrinya.

 

BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan teori perkembangan moral dari Piaget, seseorang yang telah mencapai dewasa madya yakni berusia 40-60 tahun, ia sewajarnya telah mencapai tahap Operasional Formal yang mampu berpikir secara abstrak mengenai moral dan aturan-aturan yang disepakati bersama. Sementara berdasarkan teori perkembangan moral Kohlberg dewasa madya telah mampu mencapai tahap Post-Conventional, akan tetapi karena menurut Kohlberg sendiri bahwa tahap ke enam tidak semua orang mampu mencapainya perkembangan moral dewasa madya berkisar pada dua tahap di Post-Conventional. Perkembangan moral masing-masing orang akan berbeda-beda satu sama lain, hal itu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor ekobiologik dan linhkungan yang ada.



DAFTAR PUSTAKA
John W. Santrock. 2002. Life-Span Development. Jakarta : Penerbit Erlangga
Papalia, Diane., Olds, Sally., Feldman, Ruth.  2009. Human Development jilid 1. Jakarta: Salemba Humanika
Papalia, Diane., Olds, Sally., Feldman, Ruth.  2009. Human Development jilid 2. Jakarta: Salemba Humanika
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/DASAR-DASAR%20PENGERTIAN%20MORAL.pdf diakses pada tanggal 7 November 2012




2 komentar:

siti nurhidayah (1169041) C/PAI mengatakan...

saya sangat setuju dengan pembahasan anda

wiet aziz selalu mengatakan...

oke terima kasih :)

Posting Komentar