BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Manusia pada hakekatnya akan selalu mengalami perkembangan. Perkembangan
tersebut dimulai dari awal pembentukkan manusia itu sendiri kemudian manusia
dilahirkan, sejak bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa, hingga mereka tua
dan mati. Perkembangan tersebut merupakan suatu proses perubahan yang
sistematis, progresif, dan berkesinambungan. Dalam proses perkembangan terdapat
tahap-tahap berbeda dengan pola tertentu namun saling berhubungan. Dan dalam
diri manusia itu sendiri tidak hanya mengalami satu jenis perkembangan tetapi
ada beberapa perkembangan yang manusia alami semasa hidupnya.
Diantaranya adalah perkembangan fisik, perkembangan kognitif, perkembangan
psikososial, perkembangan moral, dan lain sebagainya sesuai dengan usia
perkembangannya. Dimana seperti disebutkan di atas bahwa masing-masing
perkembangan tersebut saling berhubungan dan di tiap tahapnya bersifat
kontinyu.
Masa dewasa madya (40-60 tahun) merupakan masa-masa
pemantapan dan masa mualinya penurunan beberapa fungsi seperti fungsi fisik dan
kognitif. Pada masa dewasa madya ini, seseorang juga mengalami masalah-masalah
baru seperti masalah emosi akibat ditinggal anak-anak yang mulai menginjak
remaja bahkan anak-anak yang mulai pergi dari rumah untuk mencari ilmu dan
pengalaman. Selain itu masalah dengan pasangan yang mungkin sudah tak sama lagi
seperti yang dulu ketika awal-awal pernikahan. Namun di sisi lain, moral
seorang dewasa madya harusnya mulai terjadi pemantapan akan aturan-aturan yang
didasarkan atas kesepakatan bersama demi kesejahteraan bersama. Perkembangan
moral sama halnya dengan perkembangan lain yang bersifat bertahap dan kontinu,
perkembangan moral dewasa madya merupakan kelanjutan dari perkembangan moral
dewasa awal, meskipun keduanya masih dalam satu tahap yang sama bila ditinjau
dari teori Piaget dan Kohlberg yaitu tahap Operasional Formal dan tahap
Post-Conventional.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Pada tahap
apakah perkembangan moral dewasa madya?
2.
Bagaimana
perkembangan moral yang terjadi pada tahap usia dewasa madya?
3.
Bagaimana pengaruh lingkungan terhadap
perkembangan seorang dewasa madya?
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui
tahap perkembangan moral pada orang dewasa madya.
2.
Memahami
bagaimana perkembangan moral yang terjadi pada dewasa madya.
3.
Mengetahui pengaruh lingkungan terhadap
perkembangan moral dewasa madya.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Secara
etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin,
bentuk jamaknya mores, yang artinya adat istiadat, kebiasaan, peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:
592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan
peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti:
· Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan
keamanan, memelihara
kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
· Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut
sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Sehingga tugas penting yang harus dikuasai adalah mempelajari apa yang
diharapkan oleh kelompoknya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai
dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam
hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Perkembangan
Moral
Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan
peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang
dalam interaksinya dengan orang lain. Ketika dilahirkan, anak-anak tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam
dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui
pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan
teman sebaya), seorang anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik,
yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh
dikerjakan.
2.1 Teori
Perkembangan Moral Piaget
Jean Piaget
(1896-1980) menyusun teori perkembangan moralnya yang dikenal sebagai teori
struktural-kognitif. Teori ini melihat
perkembangan moral sebagai suatu hasil interaksi antara pelaksana aturan,
pengikut atau pembuatnya secara individual dengan kerangka jalinan aturan yang
bersangkutan yang menunjukkan esensi moralitas itu. Fokus teori ini ada pada
sikap, perasaan (afeksi), serta kognisi dari individu terhadap perangkat aturan
yang bersangkutan (Kurtines, 1992: 513). Teori struktur-kognitif Piaget
dibangun berdasarkan penelitiannya mengenai struktur kognitif dan perkembangan
penalaran moral (moral reasoning) yang termuat dalam karya klasiknya yang
terbit pertama kali pada 1932, The Moral Judgement of the Child (Conn, 1982:
378). Piaget melakukan penelitiannya dengan mengamati anak-anak yang bermain
kelereng. Pengamatan Piaget menunjukkan adanya kontradiksi yang jelas antara
perubahan persepsi yang berkaitan dengan usia dan ketaatan terhadap aturan.
Kontradiksi yang dimaksud diselesaikan dengan jalan mengklasifikasikan
penalaran moral dan anak-anak yang agak kecil dan yang agak besar (Burton,
1992: 323-324). Berdasarkan penelitian itu dirumuskan dua buah urutan
perkembangan yang paralel: satu rumusan urutan perkembangan berkenaan dengan
pelaksanaan aturan, sedang rumusan lainnya berkenaan dengan kesadaran akan
peraturan. Masing-masing urutan perkembangan melukiskan adanya peralihan dari
orientasi yang bersifat eksternal, egosentris dan heteronom, ke arah orientasi
yang menunjukkan adanya keinginan untuk bekerjasama dan berpegang pada aturan
itu sebagai hasil perjanjian bersama (Turiel dan Smetana, 1992:459).
Piaget
mengemukakaan bahwa penalaran moral berkembang dalam tiga tahapan, yaitu:
1. Praoprasional
Pada tahap ini biasanya
terjadi pada kira-kira usia 2 sampai 7 tahun. Penalaran moral seseorang
didasarkan atas kepatuhan pada pihak otoritas. Anak kecil berpikir kaku
mengenai konsep-konsep moral. Mereka tidak dapat membayangkan lebih dari satu
cara untuk melihat persoalan moral. Mereka meyakini bahwa aturan berasal dari
otoritas pihak dewasa dan tidak dapat diubah, tidak peduli perilaku itu benar
ataupun salah, dan semua kesalahan harus diberikan hukuman tanpa memedulikan
niatnya.
2. Oprasional
Kongkret
Pada tahap ini biasanya
terjadi pada kira-kira usia 8 sampai 11 tahun. Tahap ini
dicirikan dengan fleksibilitas. Anak-anak berinteraksi dengan lebih banyak
orang yang memiliki sudut pandang yang berbeda-beda sehingga mereka lebih
memiliki pandangan yang luas. Mereka
mulai membuang ide bahwa ada standar benar dan salah yang tunggal dan mutlak.
Mereka dapat mempertimbangkan lebih dari satu aspek dalam sebuah situasi dan dapat
membuat penilaian moral yang lebih halus, seperti mempertimbangkan niatnya. pelaksanaan peraturan sudah mulai
bersifat sebagai aktivitas sosial, sifat egosentrik sudah mulai ditinggalkan.
Dalam tahap ini sudah ada keinginan yang kuat untuk memahami peraturan, dan
setia mengikuti peraturan tersebut. Sifat heteronomi mulai bergeser pada sifat
otonomi.
3. Oprasional
Formal
Seseorang biasanya mencapai masa perkembanganini pada usia 11 atau 12
tahun. Pada tahap ini seseorang sudah dapat memahami penalaran moral lebih baik
dari tahap-tahap sebelumnya.
Sudah ada kemampuan untuk
berpikir abstrak, sudah ada kesadaran bahwa peraturan merupakan hasil
kesepakatan bersama. Tahap ini merupakan tahap kodifikasi atau tahap pemantapan
peraturan (Soenarjati dan Cholisin, 1989: 34-35) Ia sudah dapat menilai suatu
masalah dengan mempertimbangkan situasi yang lebih spesifik, seperti lebih
mempertimbangkan niat dari suatu perilaku.
Keputusan moral anak berubah seiring dengan pertumbuhan
usianya (Conn, 1982: 378). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan
moral terdapat pergeseran yang sifatnya alami, yang terjadi secara bersamaan
dengan atau segera setelah peralihan kognitif dari pemikiran pra-operasional ke
arah pemikiran operasional, di sekitar usia tujuh tahun. Pergeseran tersebut
berlangsung sedemikian, sehingga anak yang bersangkutan untuk pertamakalinya
mulai menyadari maksudnya sendiri serta memanfaatkan informasi ini dalam
mengadakan pertimbangan moral yang menyangkut orang lain (Liebert, 1992:
291).Pada bagian lain, pertimbangan moral berkembang sejalan dengan
prinsip-prinsip dasar Piaget tentang konflik moral-kognitif dengan organisasi
tahapan urutan. Tahapan perkembangan pertimbangan moral Piaget mengandung suatu
proses berjalur tunggal. Artinya, pertimbangan moral tidak timbul dari tindakan
moral itu sendiri. Suatu tahapan dari 36 pertimbangan moral mungkin mengandung
suatu perilaku baru, demikian pula halnya suatu tindakan yang mengandung
konflik dan pilihan mungkin membawa orang untuk menata suatu tahapan baru dari
pertimbangan moral.
2.2 Teori Perkembangan Moral Kohlberg
Perkembangan moral pada teori Kohlberg terbagi menjadi 3
tahap, yaitu:
a.
Preconventional morality (4-10)
1.
Orientasi
kepatuhan dan hukuman, pada tahap ini seseorang akan mematuhi aturan atas dasar
alasan eksternal yaitu untuk menghindari hukuman atau mendapatkan hadiah.
2.
Orientasi
minat pribadi, berperilaku atas dasar kepentingan pribadinya seperti apa
keuntungan untuknya jika ia melakukan atau tidak melakukan hal itu.
b.
Conventional Morality (setelah 10 tahun)
3. Orientasi keserasian
interpersonal dan konformitas, pada tahap ini seseorang telah menginternalisasi
standar dari figur otoritas, ia peduli untuk menjadi seseorang yang baik dan
meyenangkan bagi orang lain.
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial,
seseorang akan berusaha untuk mempertahankan aturan sosial.
c.Postconventional
Morality (dewasa awal 21-40 th)
5.
Orientasi kontrak sosial
aturan dianggap sebagai
kontrak sosial bukan sebagai keputusan yang kaku, dimana bila ada aturan yang
dapat memunculkan ketidaksejahteraan aturan tersebut harus diubah melalui
pendapat mayoritas dan kompromi.
6.
Prinsip etika universal,
pada tahap ini keputusan
mengenai perilaku-pwerilaku sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip moral,
pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum
dan kepentingan orang lain, keyakinan terhadap
moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan
dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial.
2.3 Teori
Bioekologi Bronfenbrenner
Menurut sudut pandang kontekstual, perkembangan manusia
tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Teori bioekologi bronfenbrenner menjelaskan berbagai proses yang saling
berinteraksi dan mempengaruhi dalam perkembangan manusia. Setiap
organisme berkembang dalam konteks sistem ekologi yang mendukung atau
menghambat perkembangannya. Menurut Bronfenbrenner, perkembangan muncul
dari berbagai proses yang rutin dan
berkembang menjadi semakin rumit. Untuk memahami proses ini kita harus
mempelajari berbagai konteks dimana mereka berada, seperti rumah, sekolah dan
lingkungan tempat tinggal. Bronfenbrenner mengidentifikasi lima sistem
kontekstual yang saling terkait, yaitu:
a.
Mikrosistem
Mikrosistem
adalah setting tempat individu banyak menghabiskan waktu.
Beberapa konteks dalam sistem ini antara lain adalah keluarga, teman sebaya,
sekolah, dan tetangga. Dalam mikrosistem inilah individu berinteraksi dengan
agen sosial secara langsung (keluarga, teman sebaya, guru). Menurut
Bronfenbenner, dalam setting ini individu bukanlah penerima
pengalaman yang pasif, tetapi sebagai individu yang berinteraksi secara timbal
balik dengan orang lain. Bronfrenbrenner menunjukkan bahwa kebanyakan
penelitian tentang dampak-dampak sosio kultural berfokus pada mikrosistem.
b.
Mesosistem
Mesosistem
adalah hubungan antara beberapa mikrosistem atau hubungan antara beberapa
konteks. Contohnya adalah hubungan antara pengalaman keluarga dengan pengalaman
sekolah, pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan, dan pengalaman keluarga
dengan pengalaman teman sebaya.
Dalam
studi terhadap seribu anak kelas delapan (3 SMP), diteliti dampak gabungan dari
pengalaman di keluarga dan di sekolah terhadap sikap dan prestasi siswa saat
siswa melewati masa transisi dari tahun terakhir SMP ke awal SMA (Epstein,1983
dalam Santrock, 2008). Siswa yang diberi kesempatan lebih banyak untuk
berkomunikasi dan mengambil keputusan (baik di rumah maupun di kelas)
menunjukkan inisiatif dan nilai akademik yang baik.
c.
Eksosistem
Eksosistem
dilibatkan ketika pengalaman-pengalaman dalam setting sosial lain, ketika
individu tidak memiliki peran yang aktif mempengaruhi hal yang individu alami
dalam konteks yang dekat. Atau sederhananya menurut eksosistem melibatkan
pengalaman individu yang tak memiliki peran aktif di dalamnya. Misalnya,
pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang perempuan dengan suami dan
anaknya. Seorang ibu dapat menerima promosi yang menuntutnya melakukan lebih
banyak pekerjaan, yang dapat meningkatkan konflik perkawinan dan perubahan pola
interaksi orang tua-anak.
Contoh lain eksosistem adalah pemerintah kota yang bertanggung
jawab bagi kualitas taman, pusat rekreasi dan fasilitas perpustakaan bagi
anak-anak dan remaja. Keputusan mereka bisa membantu bisa menghambat atau
membantu perkembangan individu secara tidak langsung.
d.
Makrosistem
Makrosistem
adalah kultur yang lebih luas. Kultur merupakan istilah yang luas yang mencakup
peran etnis dan faktor sosioekonomi dalam perkembangan anak. Kultur adalah
konteks terluas tempat siswa dan guru tinggal, termasuk nilai dan adat istiadat
masyarakat
Misalnya,
beberapa kultur (seperti Mesir dan Iran sebagai negara Islam), menekankan pada
peran gender yang tradisioanal. Kultur lain (seperti di Amerika Serikat)
menerima peran gender yang lebih bervariasi. Di kebanyakan negara Islam sistem
pendidikannya mengutamakan dominasi pria. Di Amerika, sekolah-sekolah semakin
mendukung nilai kesetaraan antara pria dan wanita.
Satu
dari aspek atatus sosioekonomi murid adalah faktor perkembangan dalam kemiskinan.
Kemiskinan dapat memengaruhi perkembangan anak dan merusak kemampuan mereka
untuk belajar, meskipun beberapa anak di lingkungan miskin sangat rajin.
e.
Kronosistem
Kronosistem
meliputi pengolahan peristiwa-peristiwa sepanjang rangkaian kehidupan dan
keadaan sosiohistoris dari perkembangan individu. Misalnya, dalam mempelajari
dampak perceraian terhadap anak-anak, para peneliti menemukan bahwa dampak
negatif sering memuncak pada tahun pertama setelah percaraian dan bahwa
dampaknya lebih negatif bagi anak laki-laki daripada anak perempuan
(Hetherington, 1989 dalam Santrock, 2008). Dua tahun setelah perceraian,
interaksi dalam keluarga tidak begitu kacau dan lebih stabil.
Bronfenbrenner
semakin banyak memberi perhatian kepada kronosistem sebagai sistem lingkungan
yang penting. Dia memperhatikan dua problem penting, yaitu banyaknya anak
Amerika yang hidup dalam kemiskinan (terutama dalam keluarga single-parent) dan
penurunan nilai-nilai.
Bronfenbenner
juga berpendapat bahwa anak-anak sekarang adalah generasi pertama yang
mendapatkan perhatian setiap hari, generasi pertama yang tumbuh dalam
lingkungan elektronik yang dipenuhi oleh komputer dan bentuk media baru,
generasi pertama yang tumbuh dalam revolusi seksual, dan generasi pertama yang
tumbuh di dalam kota yang semraut dan tak terpusat, yang tidak lagi jelas batas
antara kota, pedesaan atau subkota. (Santrock, Psikologi Pendidikan,
2008)
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi
nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya
sebagai model.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Moral
adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya
perhatian dan pendidikan agama oleh keluarga. Orang tua adalah tokoh percontohan oleh anak-anak termasuk
didalam aspek kehidupan sehari-hari tetapi didalam soal keagamaan hal itu
seakan-akan terabaikan. Sehingga akan lahir generasi baru yang bertindak tidak
sesuai ajaran agama dan bersikap materialistik.
2. Pengaruh
lingkungan yang tidak baik
Kebanyakan remaja yang tinggal di
kota besar menjalankan kehidupan yang individualistik dan materialistik.
Sehingga kadang kala didalam mengejar kemewahan tersebut mereka sanggup berbuat
apa saja tanpa menghiraukan hal itu bertentangan dengan agama atau tidak, baik
atau buruk.
3. Tekanan
psikologi yang dialami
Beberapa remaja mengalami tekanan
psikologi ketika di rumah diakibarkan adanya perceraian atau pertengkaran orang
tua yang menyebabkan si anak tidak betah di rumah dan menyebabkan dia mencari
pelampiasan.
4. Gagal
dalam pendidikan
Remaja yang gagal dalam pendidikan
atau tidak mendapat pendidikan, mempunyai waktu senggang yang banyak, jika
waktu itu tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, bisa menjadi hal yang buruk ketika
dia berkenalan dengan hal-hal yang tidak baik untuk mengisi kekosongan
waktunya.
5. Peranan
Media Massa
Remaja adalah kelompok atau golongan
yang mudah dipengaruhi karena remaja sedang mencari identitas diri
sehingga mereka dengan mudah untuk meniru atau mencontoh apa yang dia lihat,
seperti pada film atau berita yang sifatnya kekerasan, dan sebagainya
6. Perkembangan
teknologi modern
Dengan perkembangan teknologi modern
saat ini seperti mengakses informasi dengan cepat, mudah dan tanpa batas juga
memudahkan remaja untuk mendapatkan hiburan yang tidak sesuai dengan mereka.
BAB III
PEMBAHASAN
Ditinjau dari teori perkembangan moral dari Piaget yang
disebut juga dengan teori perkembangan stuktur-kognitif seseorang yang telah
mencapai usia dewasa madya (40-60 th) sewajarnya telah mencapai tahap “Operasional Formal” dimana seseorang
telah mampu berpikir secara abstrak termasuk penalarannya mengenai
aturan-aturan dan moral.
Seorang yang telah mencapai tahap ini menyadari bahwa
aturan merupakan suatu kesepakatan bersama Dalam perkembangan dari remaja
menjadi dewasa awal kemudian dewasa madya, seseorang dalam tahap perkembangan
moralnya mengalami tahap kodifikasi atau pemantapan peraturan seiring dengan
pertambahan usianya. Selain itu, orang-orang dewasa madya mampu
mempertimbangkan moral yang menyangkut orang lain namun ia juga menyadari akan
maksunya sendiri. Sehingga ia
sudah dapat menilai suatu masalah dengan mempertimbangkan situasi yang lebih
spesifik, seperti lebih mempertimbangkan niat dari suatu perilaku.
Sementara bila ditinjau dari teori perkembangan moral
Kohlberg, seorang dewasa madya yaitu 40-60 tahun telah mencapai tahap “Pasca-Konvensinal” atau “Post-Conventional”. Pada tahap
Post-Conventional oleh Kohlberg dibagi lagi menjadi dua tahap yaitu tahap
orientasi kontrak sosial dan tahap prinsip etika universal. Seorang manusia
dewasa baik dewasa awal maupun dewasa madya menurut Kohlberg telah mencapai
tahap Post-conventional ini, namun menurut Kohlberg tidak semua orang mampu
mencapai tahap perkembangan moral terakhir yaitu prinsip etika universal. Oleh
karena itu tahap perkembangan moral dewasa madya berkisar pada tahap
Post-conventional.
Pada tahap Post-Conventional, seseorang menganggap bahwa
aturan adalah suatu kontrak sosial yang dapat berubah apabila aturan tersebut
memunculkan suatu ketidaksejahteraan melalui pendapat meyoritas atau kompromi.
Selain itu semakin berkembangnya moral seseorang, keputusan dalam berperilaku
berdasarkan atas prinsip-prinsip moral dan kepentingan orang lain. Keyakinan
terhadap moral dan nilai-nilai melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan
hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial.
Dari kedua teori perkembangan tersebut, keduanya
memandang suatu perkembangan secara bertahap. Sementara itu berdasarkan teori Bioekologi Bronfenbrenner sperkembangan
moral seseorang selalu dipengaruhi oleh faktor lingkungannya. Seperti keluarga,
teman sebaya, media massa, budaya, dan sebagainya. Sehingga dalam sekelompok
orang usia dewasa madya yang berasal dari (misalanya) budaya yang berbeda dan
daerah yang berbeda dapat terjadi perbedaan dalam perkembangan moralnya.
BAB IV
ANALISIS KASUS
4.1 Kasus
Pak Eko telah menikah dengan istrinya “Bu Wahyuni” selama
18 tahun, mereka dikaruniai 3 orang anak. Anak yang pertama
berumur 16
tahun, yang kedua berumur 12 tahun dan yang ketiga berumur 8 tahun. Pak Eko berprofesi sebagai bendahara dikantornya
tempat ia bekerja. Ia dikenal sebagai seseorang yang baik dan bisa bertanggung
jawab. Ia menjadi seorang vigur yang baik bagi anak anaknya. Namun, penghasilan
pak Eko pas pasan, hanya cukup untuk biaya hidup sehari hari dan untuk biaya
sekolah anaknya.
Akhir akhir ini, pak Eko sering sekali mendapat tekanan
dari istrinya. Istrinya terus menerus mengomel akan penghasilan pak Eko yang
hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari hari dan biaya sekolah anaknya. Bu
Wahyuni sering merasa bahwa suaminya tidak mau bekerja keras sehingga membuat
dirinya merendahkan pak Eko.
Pada suatu hari, pak Eko membulatkan tekan dengan
mengkorupsi uang yang dibawanya itu untuk membuat istrinya senang. Namun hal
itu diketahui oleh pihak kantor sehingga membuat dirinya dipecat dan masuk
kedalam penjara. Pak Eko sangat menyesal akan perbuatan yang telah ia lakukan.
Istri dan anak anaknya kemudian pindah rumah, karena anak anaknya saat
disekolah sering diejek oleh teman temannya sebagai anak seorang koruptor.
4.2
Analisis Kasus
Pak Eko
melakukan korupsi tersebut karena pak Eko merasa tertekan oleh istrinya yang
terus menerus mengeluh akan kehidupan mereka. Pak Eko merasa putus asa dengan
hidupnya. Dalam hal ini, id dan super ego mengalami perdebatan dimana id menyuruhnya
untuk melakukan hal apa pun untuk membuat istrinya senang salah satunya dengan
korupsi sedangkan super ego nya menolak karena hal itu merupakan hal yang
menyimpang dari norma norma yang berlaku.
Ditinjau dari
perkembangan molar Piaget,
seorang dewasa madya seharusnya berada pada tahap operasioal formal dimana seseorang telah mampu berpikir secara abstrak
termasuk penalarannya mengenai aturan-aturan dan moral.
Ia juga sudah dapat menilai
suatu masalah dengan mempertimbangkan situasi yang lebih spesifik, seperti
lebih mempertimbangkan niat dari suatu perilaku. Dalam kasus ini, pak Eko mengerti
tentang aturan aturan dan moral yang berlaku, namun karena terdapat tekanan
tekanan dari istrinya yang membuatnya menyimpang dari aturan aturan dan moral yang
berlaku.
Ditinjau dari
teori perkembangan moral Kohlberg, seorang dewasa madya berada pada tahap Post-Conventional, seseorang menganggap bahwa aturan
adalah suatu kontrak sosial yang dapat berubah apabila aturan tersebut
memunculkan suatu ketidaksejahteraan melalui pendapat meyoritas atau kompromi.
Selain itu semakin berkembangnya moral seseorang, keputusan dalam berperilaku
berdasarkan atas prinsip-prinsip moral dan kepentingan orang lain. Keyakinan
terhadap moral dan nilai-nilai melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan
hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial. Namun pak Eko
dalam mengambil keputusannya untuk korupsi merugikan banyak orang, hal ini
sangat bertentangan dengan perkembangan moral Kohlberg yg menyatakan bahwa keputusan dalam berperilaku berdasarkan atas
prinsip-prinsip moral dan kepentingan orang lain.
Sementara itu berdasarkan teori Bioekologi Bronfenbrenner perkembangan moral seseorang selalu
dipengaruhi oleh faktor lingkungannya. Seperti keluarga, teman sebaya, media massa,
budaya, dan sebagainya. Pada kasus tersebut, pak Eko melakukan
penyimpangan moral karena dipengaaruhi oleh istrinya yang terus menerus
mengeluh akan kehidupan mereka. Yang menilai pak Eko suami yang tidak bias
member kehidupan yang layak bagi istrinya.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan
teori perkembangan moral dari Piaget, seseorang yang telah mencapai dewasa
madya yakni berusia 40-60 tahun, ia sewajarnya telah mencapai tahap Operasional
Formal yang mampu berpikir secara abstrak mengenai moral dan aturan-aturan yang
disepakati bersama. Sementara berdasarkan teori perkembangan moral Kohlberg
dewasa madya telah mampu mencapai tahap Post-Conventional, akan tetapi karena
menurut Kohlberg sendiri bahwa tahap ke enam tidak semua orang mampu mencapainya
perkembangan moral dewasa madya berkisar pada dua tahap di Post-Conventional.
Perkembangan moral masing-masing orang akan berbeda-beda satu sama lain, hal
itu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor ekobiologik dan
linhkungan yang ada.
DAFTAR
PUSTAKA
John W. Santrock. 2002. Life-Span
Development. Jakarta : Penerbit Erlangga
Papalia,
Diane., Olds, Sally., Feldman, Ruth.
2009. Human Development jilid 1. Jakarta:
Salemba Humanika
Papalia,
Diane., Olds, Sally., Feldman, Ruth.
2009. Human Development jilid 2. Jakarta:
Salemba Humanika
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/DASAR-DASAR%20PENGERTIAN%20MORAL.pdf
diakses pada tanggal 7 November 2012
2 komentar:
saya sangat setuju dengan pembahasan anda
oke terima kasih :)
Posting Komentar