A. Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan
seseorang yang menunjukan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima
pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Robbin,
2003:78).
Greenberg dan Baron (2003:148) mendeskripsikan kepuasan
kerja sebagai sikap positif atau negatif yang dilakukan individu terhadap
pekerjaan mereka. Selain itu Gibson (2000:106) menyatakan kepuasan kerja
sebagai sikap yang dimiliki para pekerja tentang pekerjaan mereka. Hal itu
merupakan hasil dari persepsi mereka tentang pekerjaan.
Kepuasan kerja meningkat secara stabil sepanjang kehidupan
kerja dari usia 20 sampai setidaknya 60 tahun. Terdapat komitmen yang lebih
besar terhadap pekerjaan seiring dengan bertambahnya usia kita, kita bekerja
dengan lebih serius, tingkat kehadiran yang dapat dihindarkan semakin sedikit,
lebih banyak mencurahkan diri pada pekerjaan. Orang dewasa yang lebih muda
(dewasa awal) masih mengadakan percobaan dengan kerja mereka, masih mencari
jabatan yang tepat, sehingga mereka mungkin cenderung mencari-cari apa yang
salah dengan pekerjaan mereka yang sekarang daripada memperhatikan pada apa
yang tepat tentang hal itu (Rhodes, 1983).
Ada lima faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja
(Kreittner & Kinicki:225) yaitu:
1. Pemenuhan
Kebutuhan
Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan
memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Perbedaan
(Discrepancies)
Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan
harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa yang
diperoleh individu dari pekerjaannya. Bila harapan lebih besar dari apa
yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya individu akan puas bila
menerima manfaat di atas harapan.
3. Pencapaian
Nilai (Value Attainment)
Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan
pemenuhan nilai kerja individual yang penting.
4. Keadilan
(Equity)
Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu
diperlakukan di tempat kerja.
5. Komponen
Genetik (Genetic Components)
Kepuasan kerja merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor
genetic. Hal ini menyiratkan perbedaan sifat individu mempunyai arti penting
untuk menjelaskan kepuasan kerja di samping karakteristik lingkungan kerja.
Selain
penyebab kepuasan kerja, ada juga faktor penentu kepuasan kerja, yaitu :
1. Gaji/Upah
Menurut Theriault, kepuasan kerja merupakan fungsi
dari jumlah absolute dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi
harapan-harapan tenaga kerja dan bagaimana gaji diberikan. Selain untuk
pemenuhan kebutuhan dasar, uang juga merupakan simbol dari pencapaian,
keberhasilan dan pengakuan/penghargaan.
Berdasarkan teori keadilan Adams, orang yang menerima gaji
yang dipersepsikan terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami
ketidakpuasan. Jika gaji dipersepsikan adil berdasarkan tuntutan-tuntutan
pekerjaan, tingkat ketermpilan individu dan standar gaji yang berlaku untuk
kelompok pekerjaan tertentu maka akan ada kepuasan kerja.
Jika dianggap gaji terlalu rendah, pekerja akan merasa tidak
puas. Tapi jika gaji dirasakan terlalu tinggi, pekerja tidak lagi tidak puas,
artinya tidak ada dampak pada motivasi kerjanya. Gaji atau imbalan akan
mempunyai dampak terhadap terhadap motivasi kerja seseorang jika besarnya
imbalan disesuaikan dengan tinggi prestasi kerjanya.
2. Kondisi
Kerja
Bekerja dalam ruangan atau tempat kerja yang tidak
menyenangkan akan menurunkan semangat untuk bekerja. Oleh karena itu perusahaan
harus membuat kondisi kerja yang nyaman dan menyenangkan sehingga
kebutuhan-kebutuhan fisik terpenuhi dan menimbulkan kepuasan kerja.
3. Hubungan
Kerja
ü Hubungan dengan Rekan Kerja
Ada
tenaga kerja yang dalam menjalankan pekerjaannya memperoleh masukan dari tenaga
kerja lain. Hubungan antara pekerja adalah hubungan ketergantungan sepihak yang
berbentuk fungsional.
Kepuasan
kerja yang ada timbul karena mereka dalam jumlah tertentu berada dalam satu
ruangan kerja sehingga dapat berkomunikasi. Dalam kelompok kerja di mana para
pekerjanya harus bekerja sebagai satu tim, kepuasan kerja mereka dapat timbul
karena kebutuhan-kebutuhan tingkat tinggi mereka seperti harga diri,
aktualisasi diri dapat dipenuhi dan mempunyai dampak pada motovasi kerja
mereka.
ü Hubungan dengan Atasan
Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja
adalah tenggang rasa. Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan
membantu tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi
tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada keterkaitan antara pribadi
yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa, misalnya keduanya
mempunyai pandangan hidup yang sama.
Tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan
adalah jika kedua jenis hubungan adalah positif. Atasan yang memiliki ciri
pemimpin yang transformasional, maka tenaga kerja akan meningkat motivasinya
dan sekaligus merasa puas dengan pekerjaannya.
B. Jenjang Karir
Tidak semua jabatan memiliki langkah-langkah yang jelas,
tetapi sebagian besar pekerjaan memiliki hirarki di mana pekerja tingkat rendah
dan pekerja tingkat tinggi dibedakan dengan jelas.
C. Perubahan Karir pada Paruh Kehidupan
Pengalaman perubahan karir di paruh kehidupan digambarkan
sebagai titik perubahan di masa dewasa oleh Daniel Levinson (1978). Satu aspek
dari periode paruh kehidupan melibatkan penyesuaian harapan yang ideal pada
kemungkinan realistik dipandang dari berapa waktu yang tersisa di sebuah
jabatan. Orang tengah baya mungkin memfokuskan pada berapa banyak waktu yang
tersisa sebelum pensiun dan kecepatan mereka mencapai tujuan pekerjaan mereka (
Pines & Aronson, 1988).
D. Jalur Kerja Laki-Laki dan Perempuan
Sebagian besar laki-laki mulai bekerja di masa dewasa awal,
dan bekerja lebih atau kurang berkesinambungan sampai mereka pensiun, kecuali
mereka kembali ke sekolah atau menjadi tidak bekerja. Pola yang tidak stabil
dari kerja biasanya lebih umum di antara pekerja dengan pendapatan rendah
daripada pekerja dengan pendapatan menengah.
Jalur yang paling umum untuk perempuan adalah bekerja
sebentar setelah menyelesaikan sekolah atau bahkan kuliah, menikah, dan
mempunyai anak, kemudian ketika anak-anak bertambah besar, kembali bekerja
paruh waktu untuk membantu pendapatan suami. Seiring dengan anak-anak mulai
meninggalkan rumah, perempuan kembali ke sekolah untuk memperbaharui beberapa
keterampilan sebelumnya atau program pelatihan kembali sehingga dia dapat
mengambil pekerjaan penuh di usia 40 dan 50 tahun, ketika dia relatif bebas
dari tanggung jawab.
Wanita karir lebih menekankan perihal mempertahankan
keterampilan profesionalnya. Empat pola karir di antara wanita karir telah
didefinisikan (Golan,1986) :
1. Teratur (Regular)
Perempuan yang melanjutkan pelatihan profesionalnya segera
setelah tamat sekolah, yang mulai bekerja dan melanjutkan tanpa gangguan, atau
gangguan minimal di sepanjang tahun itu.
2. Karir yang
Terganggu (Interrupted career)
Perempuan yang mulai seperti dalam pola teratur tetapi
mengganggu karirnya untuk beberapa tahun – biasanya untuk membesarkan anak –
dan kemudian kembali bekerja dengan waktu penuh.
3. Karir Kedua (Second
Career)
Perempuan yang memulai pelatihan profesionalnya setelah
waktu anak-anak meninggalkan rumah atau setelah perceraian.
4. Karir Kedua
yang Dimodifikasikan (Modified Second Career)
Perempuan yang memulai pelatihan profesionalnya ketika
anak-anak masih di rumah, tetapi telah cukup besar sehingga tidak memerlukan
waktu penuh pengasuhan, kemudian mulai bekerja, kemungkinan paruh waktu, sampai
anak terakhit meninggalkan rumah atau menjadi mandiri, saat itulah ia mengganti
dengan karir yang penuh.
Banyak perempuan tengah baya memasuki angkatan kerja karena
mereka dihadapkan pada kebutuhan untuk membantu diri mereka sendiri dan
keluarga mereka. Namun kebosanan, kesepian, dan keinginan untuk minat yang baru
mungkit terlibat juga.
Para peneliti mempelajari perempuan pada paruh kehidupan
telah menemukan bahwa pekerjaan memainkan peran penting dalam banyak kesehatan
psikologis perempuan (Baruch & Barnett, 1987). Dalam sebuah penelitian,
pada perempuan tengah baya pendapatan yang lebih tinggi berkaitan dengan
kepuasan hidup, dan terlalu banyak bekerja dihubungkan dengan ketidakbahagiaan
(Crohan dkk., 1989).
E. Waktu Luang
Sebagai orang dewasa, tidak hanya harus belajar bagaimana
bekerja dengan baik, tetapi kita juga perlu belajar bagaimana untuk
bersenang-senang dan menikmati waktu luang. Aristoteles mengenali pentingnya
waktu luang dalam kehidupan, bahkan menekankan bahwa kita seharusnya tidak
hanya bekerja dengan baik, tetapi menggunakan waktu luang dengan baik. Ia pun
menggambarkan waktu luang sebagai hal yang lebih baik, karena hal ini adalah
akhir dari kerja.
Waktu luang (leisure) merujuk pada waktu yang
menyenangkan setelah bekerja ketika individu bebas untuk mengikuti aktivitas
dan keinginan yang mereka pilih sendiri. Salah satu tema pokok penelitian pada
waktu luang adalah meningkatnya ketergantungan pada televisi melebihi bentuk
lain dari media massa sebagai sebuah bentuk hiburan. Olah raga juga bagian yang
integral dari aktivitas-aktivitas waktu luang nasional, baik melalui
keterlibatan langsung atau sebagai penonton. Beberapa ahli perkembangan percaya
bahwa masa dewasa tengah adalah waktu dari pertanyaan bagaimana waktu
seharusnya dihabiskan dan menetapkan prioritas (Gould,1978).
Waktu luang mungkin merupakan aspek penting yang khusus dari
masa dewasa tengah, karena perubahan pengalaman beberapa individu pada titik
ini berada dalam lingkaran kehidupan orang dewasa. Perubahan meliputi perubahan
fisik, perubahan hubungan dengan pasangan dan anak-anak, dan perubahan karir.
Bagi banyak individu, masa dewasa tengah adalah saat pertama kali dalam hidup
ketika mereka memiliki kesempatan mengembangkan minat mereka.
Orang dewasa pada paruh kehidupan perlu mulai menyiapkan
masa pensiun baik secara keuangan maupun psikologis. Membangun dan memenuhi
aktivitas-aktivitas waktu luang pada masa dewasa tengah adalah bagian yang
penting dari persiapan ini. Jika seorang dewasa mengembangkan
aktivitas-aktivitas waktu luang yang dapat dilanjutkan sampai pensiun,
peralihan dari kerja ke pensiun mungkin tidak terlalu menyebabkan stress.
Penyesuaian pekerjaan
Pada zaman dahulu relatif sedikit
pekerja sampai periode usia madya. Perubahan pola kerja dan kondisi yang ada
terjadi lebih lambat, secara relatif hanya sedikit orang yang terpengaruh oleh
kondisi ini dan mereka ynag terpengaruh hanya menderita sedikit.
Namun,
sejak perang dunia II, dimana banyak pekerja usia madya yang terpaksa harus
bekerja. Makin banyak pekerja usia madya yang dipengaruhi oleh berbagai
perubahan ini, dalam kondisi yang ada sekarang daripada kondisi masa lalu.
Karena
perubahan radikal pada perang dunia II, penyesuaian terhadap pekerjaan bagi
usia madya menjadi sulit karena kondisi baru dalam lingkungan pekerjaan.
1.
Perubahan
kondisi bekerja yang mempengaruhi pekerja berusia madya
·
Sikap
sosial yang tidak menyenangkan
Pekerja
yang tua biasanya dihargai karena keterampilannya yang didapat dari pengalaman
bertahun-tahun, namun belakangan ini banyak yang menilai mereka terlalu tua untuk
mempelajari keterampilan baru.
·
Strategi
perekrutan karyawan
Pekerja
usia madya lebih sulit mendapat pekerjaan daripada yang usia muda, sehingga
sangat riskan untuk beralih pekerjaan.
·
Meningkatkanpenggunaanotomatisasi
Pekerjaan
yang diotomatisasikan memerlukan tingkat intelegensi yang tinggi, memerlukan banyak
latihan, dan kecepatan yang besar. Hal ini menimbulkan efek bagi usia madya
yang memiliki tingkat intelegensi rendah, dengan pelatihan untuk bagian kerja khusus,
atau yang kesehatannya akan menyebabkan mereka bekerja lambat.
·
Kerja
kelompok
Usia
madya lebih sulit untuk bekerjasama dengan teman-temannya daripada usia yang
lebih muda.
·
Peranan
istri
Istri
sebagai penasehat suami dalam menghadapi berbagai masalah pekerjaan.
·
Masa
pension wajib
Masa
ini berlangsung antara pertengahan sampai akhir usia 60-an. Kesempatan untuk mendapat
promosi sangat kecil dan kesempatan untuk mendapat pekerjaan juga sangat kecil.
·
Kekuasaan
bisnis besar
Karyawan
usia madya yang perusahaannya bersatu dengan perusahaan lain tahu bahwa tidak ada
tempat baginya dalam organisasi baru tersebut. Hal ini dapat terjadi khususnya dalam
bidang manajemen.
·
Relokasi
Terjadi
saat karyawan yang berusia madya harus pindah untuk mempertahankan pekerjaan dan
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lokasi baru.
2.
Perbedaan jenis kelamin dalam penyesuaian
pekerjaan
Dewasa
ini dengan semakin bertambahnya jumlah wanita yang memasuki dunia kerja usia madya,
maka masalah pengalaman
menyesuaikan diri dengan pekerjaan bukan monopoli pria saja. Wanita juga mempunyai
banyak masalah yang sama dengan pria dan bahkan banyak wanita menganggapnya sebagai
masalah yang unik bagi mereka.
Biasanya,
prestasi keberhasilan tertinggi bagi pria diperoleh pada waktu usia empat puluhan
dan awal lima puluhan. Pada masa itu pekerja tidak hanya dapat mencapai puncak
status dalam jenjang organisasi saja tetapi
juga pendapatannya mencapai angka tertinggi. Pria berusia madya secara kelompok
lebih puas dengan pekerjaannya, daripada mereka yang relative masih muda sebagian
karena bagi orang usia muda mempunyai pekerjaan saja sudah menyenangkan dan sebagian
lagi karena mereka mempunyai pekerjaan
yang lebih baik dari pada pekerjaan yang mereka punyai waktu masih muda.
Bagaimanapun
juga ada beberapa pria yang berusia madya yang telah mencapai puncak statusnya
dalam kerjaannya tetapi masih juga belum puas. Dalam kondisi seperti ini,
beberapa dari mereka berusaha mencari pekerjaan yang lebih mereka sukai dan
bagi sebagian pria lain tidak sekedar berganti pekerjaan saja, tetapi ada juga
yang berganti profesi.
Ketidakmantapan
pekerjaan pada awal usia 40-an diakibatkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor
yang terpenting keresahan, berakhirnya tanggungjawab untuk membiayai anak-anak,
yang membebabaskan mereka dari beban yang dipikul bertahun-tahun, dan kesadaran
bahwa jika mereka ingin merubah pekerjaan harus dilakukan saat ini juga atau sama
sekali tidak beralih profesi.
Jumlah
wanita usia madya dalam profesi, bisnis, dan industry meningkat, masalah penyesuaian
diri mereka juga bertambah. Salah satu masalah utama menyangkut kesamaan dengan
pria dalam perekrutan, promosi, dan gaji. Sebagian wanita, melihat pelatihan dan
kemampuan mereka, merasa sulit mendapat pekerjaan dan dipromosikan daripada pria.Bidang
kerja wanita biasanya tidak memperoleh persaingan yang berat dari pria, karena kondisi
tersebut banyak wanita usia madya tidak hanya merasa tidak puas dengan pekerjaannya.
Tetapi mereka juga tidak kerasan pada satu jenis pekerjaan yang sesuai dengan usianya.
Beberapa dari mereka khususnya yang mempunyai pekerjaan atau jabatan penting,
memutuskan untuk mengganti pekerjaan dan karir setelah mencapai usia madya.
3.
Penilaian
terhadap PenyesuaianPekerjaan
Penyesuaian terhadap pekerjaan pada usisa madya,
dapat dinilai dari tingkat keberhasilan yang dicapai pria dan wanita dalam
pekerjaan mereka dan dari tingkat kepuasan yang diperoleh.
o
Pretasi, pekerja
usia madya menikmati tingkat keberhasilannya (mendapat pendapatan prestise,
wewenang dan otonomi yang diharapkan). Masih banyak pula pekerja lain yang
merasa berhasil dalam arti bahwa mereka telah berbuat yang terbaik dengan kemampuannya
tapi menilai gagal karena belum mencapai apa yang diinginkan di masa muda.
o
Kepuasan, pada
usia 60-an biasanya terjadi penurunan kepuasan pada pria, dikarenakan merasa memiliki
kemungkinan yang kecil untuk berprestasi meskipun sudah bekerja keras. Kepuasan
kerja juga menurun =[
o
pekerjaannya. Juga mereka menunjukan sikap
tidak suka pada pekerja yang lebih muda.
Tidak ada dari faktor tersebut yang menunjang rasa puas terhadap pekerjannya.
Wanita usia madya mengalami kegagalan
mencapai prestasi dan kepuasan kerja. Ketidakpuasan kerja dapat terjadi oleh berbagai
faktor sama halnya dengan pria, tetapi hal tersebut semakin diintensifkan dengan
ketidaksamaan dalam kesempatan untuk pengembanganh asil. Anggota kelompok minoritas
pria maupun wanita mengalami kekecewaan terhadap pekerjaannya, sedang alasannya
samadengan yang dikemukakan oleh kelompok wanita.
Daftar Pustaka
Greenberg, Jerald dan
Robert Baron ( 2003 ). Behavior in
Organizations ( understanding and managing the human side of work ). Eight
edition, Prentice Hall.
Santrock, J.W. 1995. Life – Span Development
PerkembanganMasahidupJilid 2 Edisi 5.
Erlangga: Jakarta
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Psikologi Perkembangan Edisi 5.
Erlangga: Jakarta
1 komentar:
gan article nya gk bisa di super copy gan
Posting Komentar