Bab I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Seperti
yang terlihat pada fakta yang
terjadi, dinegara yang sedang
berkembang khususnya di Indonesia
angka pertumbuhan penduduk dewasa
terus meningkat jumlahnya, hanya
sebagain masyarakat yang memperhatikan
kuantitas dan kualitas dari peningkatan
tersebut. Fakta yang terjadi di berbagai aspek kehidupan, khususnya dari segi
sosial, kita bisa melihat banyaknya kesenjangan sosial antara orang miskin dan
orang kaya, orang yang bekerja dan
menganggur. Tidak adanya kepedulian sosial-emosional antara satu sama
yang lain. Akibatnya ketidakproduktifan
usia dewasa akan membuat kondisi negara terbebani.
Apabila kita perhatikan masa dewasa merupakan
masa yang sangat kompleks sekali, dilihat dari berbagai sisi kehidupan .
Biasanya terlihat dari produktivitas,
prestasi, dan pencapain semua fase kehidupan yang penuh dengan pekerjaan,waktu
luang, dalam kegiatan keluarga. Orang-orang memantapkan kariernya, mulai
memantapkan pilihan mereka. Masa dewasa merupakan masa peralihan pandangan
egoisentris menjadi sikap yang empati. Pada masa ini, penentuan relasi memegang
peranan sangat penting. Menurut Havighurst (dalam Monks) dewasa awal merupakan masa permulaan dimana seseorang
mulai menjalin hubungan intim dengan lawan jenisnya. Hurlock (1993) dalam hal
ini telah mengemukakan masa dewasa awal
masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang
diperolehnya. Perkembangan sosio-emosional pada masa dewasa awal ini akan
berpengaruh pada sisi kehidupan dilihat dari segi apapun sehingga perlu
diketahui oleh masyarakat pentingnya mengetahui, perkembangan sosial-emosional
dewasa awal ini.
Di masa dewasa pertengahan,
sejumlah perubahan merupakan bentuk adaptasi terhadap peristiwa hidup
luar(seperti sirklus kehidupan keluarga) yang sifatnya tidak lagi berdasarkan
kelas usia dibandingkan dimasa lalu. Kebanyakan ornag dewasa paruh baya juga
melaporkan perkembangan tahap-tahap,di mana masa-masa sulit memicu pemahaman
dan tujuan baru.
B. Rumusan Masalah
·
Apa pengertian dari sosio-emosional pada dewasa
madya?
·
Bagaimana proses perkembangan sosio-emosional
dewasa madya?
C. Tujuan
·
Mengetahui dan memahami pengertian dari dewasa
awal
·
Mengetahui proses perkembangan sosio-emosional
·
Memperkaya referensi dan menjadi masukan bagi
pengembangan ilmu.
·
Mengatasi permasalahan dewasa dan upaya
memperbaiki kualitas dan kuantitas masa dewasa.
Bab II
Pembahasan
A.
Teori-teori yang Bersangkutan
Ø
Teori Erikson : Generativitas vs
Stagnansi
Generativitas melibatkan jangkauan pada orang lain
dengan cara memberi dan membimbing generasi berikutnya. Pada masa dewasa awal, biasanya melalui kelahiran dan pengasuhan anak dan membangun sebuah
tempat dalam dunia kerja.
Generativitas semakin bertambah
luas di usia paruh baya, ketika komitmen melampaui (identitias), diri seseorang
dan (keintiman) pasangan hidup seseorang (keintiman) menuju pada kelompok
besar-keluarga, komunitas,atau masyarakat.
Ornag dewasa generatif menggabungkan
kebutuhan dan ekspresi diri dan
kebutuhan persekutuan, memadukan tujuan pribadi dengan kesejahteraan dunia
sosial yang lebih luas. (McAdams & Logan,2004). Kekuatan nyang dihasilkan adalah
kemampuan untuk memperhatikan orang lain dalam cara yang lebih luas
dibandingkan sebelumnya. Erikson (1950) memilih istilah generativitas untuk
mencakup segala hal yang dapat hidup lebih lama dari diri dan memastikan
kesinambungan masyarakat dan perbaikan masyarakat: anak, gagasan, produk, karya
seni.
Ø
Teori Gould : Transformasi
Roger Gould menghubungkan fase dan krisis dalam
pandangannya tentang transformasi perkembangan. Dia menekankan bahwa paruh
kehidupan adalah sama bergejolaknya dengan masa remaja, dengan pengecualian
bahwa selama masa dewasa tengah, usaha untuk menangani krisis barangkali akan
menghasilkan kehidupan yang lebih bahagia dan lebih sehat. Dia percaya bahwa
dalam usia 20an, kita menerima peran-peran baru; dalam usia 30an kita mulai
merasa terjepit dengan tanggung jawab kita; dalam usia 40an kita mulai
merasakan perasaan urgensi bahwa hidup kita amat cepat berlalu. Menurut Gould,
menangani krisis paruh kehidupan dan menyadari bahwa perasaan urgensi merupakan
reaksi alami terhadap fase ini membantu kita menuju kematangan yang dewasa.
Ø
Teori Musim Kehidupan ala Levinson
Seperti masa dewasa awal, masa
dewasa pertengahan dimulai dengan masa transisi (usia 40 tahun)
hingga dengan usia 45 tahun. Selama masa ini orang menilai
keberhasilan mereka menurut pemenuhan terhadap tujuan dewasa awal. Sdara bahwa
sejak mulai saat ini lebih banyak waktu kedepan lebih sedikit dari waktu yang
sudah berlalu, ,mereka semakin menghargai tahun tahun kedepan. Akibatnya,
sebagian dari mereka melakukan perubahan drastis terhadap struktur kehidupan
mereka: bercerai, menikah lagi, mengubah arah karir, atau meningkatkan
kreativitas.
Salah satu alasannya adalah bagi
banyak orang dewasa paruh baya, kemajuan karir dan pertumbuhan pribadi masih
mungkin terjadi sekalipun sangat terbatas.
Menurut Levinson, untuk menilai
ulang hubungan mereka dengan diri mereka sendiri dan dunia luar dan membangun
kembali struktur hidup mereka, orang dewasa paruh baya harus menghadapi empat
tugas perkembangan. Masing-masing tugas mengharuskan individu untuk mendamaikan
pertentangan dua kecendrungan dlam dirinya sehingga harmoni batin yang lebih
besar bisa diperoleh.
a.
Muda-Tua: Orang-orang paruh baya harus menemukan
cara-cara baru menjadi muda dan tua sekaligus. Hal ini berarti meninggalkan
sejumlah ciri-ciri muda tertentu, ,mempertahankan dan mengubah sebagian
lainnya, dan menemukan makna positif saat menjadi orang tua. Barangkali karena
standar penuaan. Sebagian besar perempuan paruh baya mengaku khawatir
dengan tampil kurang menarik saat usia
mereka bertambah tua.
b.
Pengrusakan-Penciptaan: Seiring
semakin tingginya kesadaran akan kematian, orang paruh baya berfokus
pada tindakan merusak yang pernah mereka lakukan dan bagaimana orang lain
pernah melakukan hal yang sama. Tindakan menyakiti orang tua, pasangan intim,
anak-anak, teman, dan rekan kerja, ditembus dengan keinginan kuat untuk aktif
mengikuti kegiatan yang memajukan
kesejahteraan manusia, sehingga dengan demikian meninggalkan warisan bagi
generasi mendatang. Citra akan sebuah warisan bisa dipenuhi dalam berbagai
cara- melalui amal, produk kratif, bantuan sukarela, dan bimbingan anak muda.
c.
Maskulinitas-Feminimitas: Orang paruh
baya harus menciptakan keseimbangan yang lebih baik antara bagian maskulin dan
feminimisme dari diri. Bagi laki-laki,
hal ini berarti penerimaan lebih besar terhadap sifat-sifat feminism, berupa
pengasuhan dan kepedulian yang mengingkatkan hubungan-hubungan dekat dan
penerapan otoritas yang penuh belas kasih di tempat kerja. Bagi perempuan
biasanya menjadi lebih terbuka terhadap sifat-sifat maskulin berupa otonomi dan
ketegasan (Gilligan,1982: Harris & Ellicont,& Holmes,1986).
d.
Keterlibatan-Keterpisahan: Orang paruh
baya harus menciptakan keseimbangan yang
lebih baik antara keterlibatan dan keterpisahan dengan dunia luar. Bagi
Laki-laki, dan perempuan yang berhasil
dalam karir, hal ini berarti mengurangi kepedulian pada ambisius dan prestasi,
lebih memperhatikan diri (Levinson,1996).
Kebanyakan orang dewasa merespon
usia paruh baya dengan perubahan-perubahan yang lebih tepatnya digambarkan
sebagai “titik balik” bukannya krisis. Hanya sebagian kecil mengalami Krisis
yang ditandai dengan keraguan pada diri yang kuat dan stress yang mengarah pada
perubahan hidup drastis.
B.
Hubungan
di Usia Paruh Baya
Perubahan emosional dan Sosial
diusia paruh baya berlangsung dalam sebuah jaringan kompleks hubungan keluarga
dan persahabatan. Sekalipun sejumlah kecil orang paruh baya hidup sendiri,
mayoritas-sebesar 90 persen di Amerika Serikat- hidup bekeluarga, sebagian
besar bersama seorang pasangan .
Fase dewasa pertengahan dari siklus
kehidupan keluarga kerap kali disebut dengan melepaskan anak-anak dan bergerak
maju”. Di masa lalu fase ini sering
disebut dengan “sarang kosong”, tetapi
istilah ini menyiratkan transisi
negative, terutama bagi perempuan. Ketika orang dewasa mengabdikan diri sepenuhnya pada anak-anak mereka, berakhirnya pengasuhan
aktif dapat memicu perasaan hampa dan penyesalan. Akan tetapi, bagi banyak orang, masa dewasa pertengahan menjadi waktu yang membebaskan, karena menawarkan perasan
selesai dan kesempatan untuk meneguhkan hubungan yang ada dan mejalin hubungan.
Ketika anak dewasa meninggalkan rumah
dan menikah, orang paruh baya harus menyesuaikan diri dengan peran baru sebagai mertua dan
kakek-nenek. Pada saat yang sama mereka harus membangun sebuah jenis hubungan
berbeda dengan orangtua lansia mereka, yang mungkin sakit atau lemah dan
kemungkinan meninggal dunia.
Ketertarikan dan cinta penting bagi
kesejahteraan sepanjang hidup. Seperti hubungan pernikahan pada masa dewasa
tengah, persahabatan, sifat hubungan saudara kandung, hubungan antar generasi,
ini merupakan bahasan penting bagi dewasa tengah.
Ø
Cinta dan Pernikahan pada Paruh
Kehidupan
Cinta romantis, cinta penuh kasih sayang,
sangat kuat pada masa dewasa awal. Cinta yang penuh kasih sayang atau sebagai
teman mengalami peningkatan selama dewasa tengah. Ketertarikan fisik,
percintaan, dan nafsu menjadi lebih penting pada hubungan baru, terutama pada
dewasa awal. Sedangkan rasa aman, kesetiaan, dan daya tarik emosional antara
yang satu dengan yang lainnya lebih penting seiring menjadi dewasanya hubungan,
terutama pada masa hubungan dewasa tengah.
Sebagian ahli perkembangan percaya bahwa mutualitas memainkan peran
utama dalam kedewasaan hubungan, yang terjadi apabila pasangan saling berbagi
pengetahuan satu sama lain, menerima
tanggung jawab demi kepuasan bersama, dan berbagi informasi pribadi yang
menentukan hubungannya (Berscheid, 1985; Levinger, 1974).
Ø
Pernikahan dan Perceraian
Sekalipun tidak semua pasangan
mapan secara keuangan, rumah tangga paruh baya masih lebih baik secara ekonomi
disbanding kelompok usia lainnya. Kepuasan pernikahan merupakan penaksiran yang
kuat bagi kesehatan psikologis paruh baya. Laki-laki paruh baya yang hanya
berfokus pada karir sering kali kemudian
sadar akan keterbatasan usaha mereka. Pada saat yang sama istri-istri mereka
mungkin menuntut hubungan yang lebih memuaskan. Anak-anak yang sepenuhnya
terlibat dalam peran dewasa mengingatkan orang tua paruh baya bahwa mereka
sedang berada dalam babak akhir kehidupan mereka, sehingga mendorong banyak
mereka untuk memutuskan bahwa sekarang lah waktunya untuk memperbaiki
pernikahan mereka (Berman & Napier, 2000).
Seperti di masa dewasa awal,
perceraian menjadi salah satu cara menyelesaikan pernikahan tidak memuaskan di usia paruh baya. Meskipun perceraian paling banyak terjadi dalam waktu lima hingga
sepuluh tahun pernikahan, sekitar 10 persen terjadi setelah 20 tahun atau lebih (U.S Departement
of healt and Human Services,2002).
Percerain di usia berapapun memiliki dampak psikologis yang berat, tetapi
orang paruh baya tampaknya lebih mudah beradaptasi dibandingkan orang lebih
muda. Sebuah survei melibatkan lebih dari 13.000 orang Amerika mengungkapkan
bahwa setelah perceraian, laki-laki dan perempuan paruh baya melaporkan sedikit
penurunan kesehatan psikologis dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang
lebih muda.
Oleh karena angka perceraian dua
kali lipat lebih tinggi di kalangan pasangan menikah yang rujuk kembali
dibandingkan dalam pernikahan pertama,
sejumlah besar perceraian paruh baya melibatkan mereka yang pernah mengalami
satu atau lebih kegagalan pernikahan. Orang dewasa paruh baya berpendidikan
tinggi lebih rentan mengalami perceraian, barnag kali karena keadaan ekonomi
mereka lebih mapan membuat mereka lebih gampang meninggalkan pernikahan yang
tidak bahagia (Skaff, 2006: Wu & Penning, 1997). Namun demikian, bagi
banyak perempuan, perceraian – terutama bila terjadi berulang-ulang sangat
mengurangi standar hidup. Oleh karena alasan ini, di usia paruh baya dan
sebelumnya perceraian menjadi penyumbang kuat bagi feminimisasi kemiskinan
yaitu sebuh tren ketika perempuan yang mandiri atau mendukung keluarga mereka
telah menjadi mayoritas penduduk dewasa yang hidup dalam kemiskinan, tidak soal
usia dan kelompok etnik mereka.
Apa kata orang paruh baya mengenai
pernikahan mereka perempuan kerap kali menyebutkan masalah
komunikasi,ketimpangan hubungan,perselingkuhan,hubungan yang semakin
rengang,penyalahan narkoba, kekerasan fisik dan verbal, atau keinginan mereka
sendiri, akan otonomi. Laki-laki juga menyebut komunikasi buruk dan kadang
mengakui bahwa gaya hidup “gila kerja” atau sikap dingin mereka berperan besar
bagi kegagalan pernikahan mereka. Dibanding laki-laki perempuan lebih cenderung
memulai perceraian dan memiliki kesiapan psikologis sedikit lebih baik.
Laki-laki yang memulai perceraian kerap kali sudah memiliki hubungan romantis
lain sebagai pelarian (Rokach, Cohen,& Dreman,2004 : Sakraida, 2005 :
Schneller & Arditti,2004).
Ø
Persahabatan
Semua usia, persahabatn antara
sesama laki-laki kurang intim dibanding antar sesama perempuan. Lelaki lebih
suka membicarakan olahraga, politik, dan bisnis, sedangkan perempuan berfokus
pada perasaan dan masalah kehidupan. Perempuan mengaku memiliki lebih banyak
teman dekat dan mereka saling berbagi dukungan satu sama lain (Antonucci,
1994).
Namun demikian, bagi kedua jenis
kelamin, jumlah teman menurun seiring usia, mungkin karena orang menjadi segan
untuk menjalain ikatan di luar keluarga kecuali memang benar-benar bermanfaat
(Carbery & Buhrnester, 1998). Saat cara memilih teman semakin selektif,
orang dewasa lebih tua sulit bergaul dengan teman-teman mereka (Antonucci &
Akiama, 1995). Setelah memilih teman, orang paruh baya sangat menghargai betul
hubungan itu dan mengambil langkah ekstra untuk mempertahankannya.
Di usia paruh baya, hubungan
keluarga dan pesahabatan mendukung beragam aspek kesehatan psikologis. Ikatan
keluarga melindungi dari ancaman dan kerugian serius, menawarkan rasa aman
dalam waktu jangka panjang. Sebaliknya, persahabatan menjadi sumber kesenangan
dan kepuasan,dengan perempuan lebih sedikit diuntungkan daripada laki-laki
(Antonucci, Akiama, & Merline, 2002). Saat, pasangan paruh baya memperbarui
rasa persahabtan mereka, mereka mungkin memadukan apa yang terbaik dari
keluarga dan pershabatan mereka. Bahkan penelitian menunjukkan, bahwa melihat
pasangan sebagai sahabat sangat berperan besar bagi kebahagiaan pernikahan
(Bengtson, Rosenthal, & Burton, 1990).
Ø
Saudara Kandung
Seperti bisa dilihat dari hubungan
seorang kakak laki-laki dengan adik perempuannya, saudara kandung idealnya
sangat tepat untuk memberikan dukungan sosial. Akan tetapi, survey terhadap
sampel besar orang Amerikadari beragam etnik menunjukkan bahwa kontak dan
dukungan saudara kandung berkurang dari masa dewas awal hingga pertengahan, dan
bertambah lagi baru di usia 70 tahun bagi saudara kandung yang tinggal
berdekatan satu sama lain (White, 2001). Berkurangnya kontak paruh baya mungkin
dikarenakan tuntutan akan ragam peran orang dewasa paruh baya. Akan tetapi,
saudara kandung dewasa mengaku bertemu atau berbicara di telepon setidaknya
setiap sebulan sekali (Antonucci, Akiama, & Merline, 2002). Meskipun kontak
semakin berkurang, banyak saudara kandung merasa lebih dekat satu sama lain di
usia paruh baya, seringkali sebagai repons terhadap peristiwa hidup besar
(Stewart, dkk., 2001).
Ø
Sindrom Sarang Kosong
Sebuah peristiwa penting dalam keluarga
apabila anak-anak yang beranjak dewasa mulai meninggalkan rumah menuju ke
kedewasaan. Sindrom sarang kosong ini menyatakan bahwa kepuasan pernikahan akan
menurun karena anak-anak mulai meninggalkan orangtuanya. Orangtua yang
mengalami ini bilamana selama masa sebelumnya kepuasan ada pada interaksi
bersama anak-anak.
Ø
Pengisian Waktu Luang
Individu pada masa dewasa madya atau
tengah perlu menyiapkan diri unguk masa pensiun, baik secara keuangan maupun
psikologis. Membangun dan memenuhi aktivitas-aktivitas luang merupakan bagian
yang penting untuk persiapan masa pensiun, sehingga peralihan ke masa usia
lanjut tidak begitu menekan individu yang dapat menyebabkan cemas.
A.
Perubahan
Hubungan Orang Tua dan Anak
Hubungan positif orang tua dan anak
dewasa mereka merupakan hasil dari sebuhan proses bertahap “Melepaskan Pergi”
yang bermula sejak masa kanak-kanak,
memperoleh momentumnya dimasa remaja,
dan mecapai puncaknya dalam kehidupan mandiri anak-anak.
Kebanyakan orang tua bisa
menyesuaikan diri dengan baik, hanya
sebagian kecil saja mengalami kesulitan. Investasi dalam hubungan dan perang
non orangt6ua, karakteristik anak, keadaan pernikahan dan ekonomi orangtua dan
kekuatan budaya mempengaruhi sejauh mana transisi ini berdampak luas dan
menguntungkan atau malah berdampak sedih dan membuat tertekan. Sepanjang masa dewasa pertengahan, orangtua
terus memberikan lebih banyak bantuan untuk anak daripada sebelumnya, khususnya
ketika si anak belum menikah atau tengah menghadapi kesulitan, seperti
perceraian atau pengangguran (Ploeg dkk; 2004 ; Zarit dan Eggebeen, 2002).
Memberikan dukungan emosional dan keuangan saat anak sedang menjalani kehidupan
mereka sendiri terkait dengan kesejahteraan psikologis di usia paruh baya. Oleh karena terganggunya hubungan mereka
sendiri dan kesulitan ekonomi, orang tua yang bercerai dan menikah lagi kurang
memebrikan dukungan bagi anak dewasa dibanding orang tua dalam pernikahan
pertama, dan mereka juga merasa kurang puas (Marks, 1995). Disbanding
keberhasilan pendidikan dan kerja, penyesuaian psikologis anak lebih penting
bagi penyesuaian orang tua di usia paruh baya (Ryff, Schmutte & Lee, 1996).
Ketika anak dewasa muda tidak terlalu masalah emosional dan sosial, mereka
memiliki hubungan lebih positif dengan orang tua mereka. Adaptasi yang baik pada kepergian anak
bergantung pada perasaan berhasil sebagai orang tua, bukannya perasaan jauh
dari anak seseorang.
Ketika anak menikah, orang tua
menghadapi tantangan lain ketika memperluas jaringan keluarga pada pihak
mertua. Kesulitan terjadi bila orang tua tidak mengamini pasangan anak-anak
mereka atau bila si pasangan muda mengadopsi gaya hidup yang tidak sejalan
dengan nila-nilai yang dianut oleh orang tua. Bila hubungan hangat dan
mendukung terus berlanjut, keintiman antara orang tua dan anak meningkat selama
masa dewasa, dengan manfaat besar bagi kepuasan hidup orang tua (Ryff, Singer
& Seltzer, 2002).
Ø
Cara Orang tua Paruh Baya Bisa
Menumbuhkan Ikatan Positif dengan Anak Dewasa Mereka
Saran
|
Deskripsi
|
Tekankan komunikasi positif.
|
Biarkan anak dewasa mengetahui rasa hormat,
dukungan, dan minat anda. Ini tidak hanya mengkomunikasikan kasih sayang,
tetapi juga memungkinkan konflik ditangani secara konstruktif.
|
Hindari komentar tidak perlu yang lazim dilakukan
di masa kanak-kanak.
|
Anak dewasa, seperti anak muda, menghargaihubungan
yang sesuai dengan usia. Komentar yang ada hubungannya dengan keamanan,
makan, dan perawatan diri (“hati-hati di jalan bebas hambatan”, “jangan makan
itu”, atau “jangan lupa pakai sweatermu karena di luar sangat dingin”) dapat
membuat anak dewasa merasa tidak nyaman dan mengganggu komunikasi.
|
Terima kemungkinan bahwa sejumlah nilai dan
praktik budaya serta aspek gaya hidup akan berubah pada generasi selanjutnya.
|
Ketika membangun identitas pribadi, kebanyakan
anak dewasa telah melalui proses evaluasi terhadap nilai dan praktik budaya
dalam hidup mereka sendiri. Tradisi dan gaya hidup tidak bisa dipaksakan pada
anak dewasa.
|
Ketika seorang anak dewasa menghadip kesulitan,
tahan dorongan untuk “membereskan” segala sesuatunya.
|
Terima kenyataan bahwa perubahan berarti tidak
bisa terjadi tanpa kemuan anak dewasa. Mencampuri dan mengambil alih dapat
mengkomunikasikan kurangnya rasa percaya diri dan hormat. Cari tahu apakah
anak dewasa menginginkan bantuan, saran, dan ketrampilan mengambil keputusan
dari orang tua.
|
Yakinlah tentang kebutuhan dan prevensi anda
sendiri.
|
Saat sulit untuk berkunjung, mengasuh bayi,
memberikan bantuan orang lain, katakan terus terang dan lakukan kompromi
masuk akal ketimbang membiarkan kebencian tumbuh.
|
B.
Makna
Menjadi Kakek-Nenek
Orang dewasa paruh baya biasanya menilai sangat
penting peran kakek-nenek, hampir sama seperti peran orangtua dan pasangan,
tetapi melebihi peran dalam pekerjaan, putra atau putrid, dan saudara kandung
(Reitzes & Mutran, 2002).
Sebagian besar orang menjalani peran kakek-nenek
sebagai sebuah tonggak penting, dengan menyebutkan satu atau lebih dari
kepuasan berikut:
·
Sesepuh yang dihargai – dianggap sebagai
orang yang bijak dan suka membantu.
·
Keabadian melalui keturunan –
meninggalkan tidak hanya satu tetapi dua generasi setelah kematian.
·
Keterlibatan kembali pada masa lalu
pribadi – mampu mewariskan riwayat dan nilai keluarga bagi generasi baru.
·
Kegembiraan – bersenang-senang dengan
anak-anak tanpa tanggung jawab pengasuhan yang besar (AARP, 2002; Miller &
Cavanaugh, 1990).
Ø
Hubungan Kakek-Nenek dan Cucu
Gaya kakek-nenek dalam berhubungan dengan cucu
sangat beragam sesuai dengan makna yang mereka berikan pada peran baru mereka.
Usia dan jenis kelamin kakek-nenek dan cucu saling memiliki pengaruh. Oleh
karena cucu mereka masih muda, kakek-nenek menikmati hubungan penuh kasih
sayang dan kegembiraan bersama cucu mereka itu. Saat cucu mereka bertambanh
besar, kakek-nenek meminta informasi dan nasihat pada mereka di samping
kehangatan dan perhatian. Saat cucu mereka mencapai usia remaja, kakek-nenek
menjadi model peran, ahli sejarah keluarga, dan penyampai nilai-nilai sosial,
pekerjaan, dan agama. Tinggal dekat adalah penaksir paling kuat bagi interaksi
langsung dan intens dengan cucu muda.
Keinginan kuat untuk memengaruhi perkembangan cucu
dapat memotivasi keterlibatan kakek-nenek. Ketika cucu bertambha usia, jarak
menjadi kurang begitu penting disbanding kualitas hubungan: Sejauh mana cucu
remaja atau dewasa muda mempercayai nilai-nilai dalam kontak dengan kakek-nenek
mereka merupakan penaksir bagus bagi ikatan dekat (Brussoni & Boon, 1998).
A.
Studi Kasus
JAKARTA, KOMPAS.com — Perilaku agresi, kekerasan, atau
pelecehan sungguh tidak populer di tengah masyarakat yang semakin beradab dan
menghargai martabat manusia. Namun, jika banyak suami melakukannya terhadap
istri, apa penyebabnya? Bagaimana dampaknya bagi para istri. Fakta menunjukkan
bahwa agresi, kekerasan, atau pelecehan terhadap individu lain masih terus
terjadi, bahkan antar orang terdekat di dalam rumah tangga.
Hal yang cukup memprihatinkan, kekerasan tidak terbatas di
kalangan kurang terdidik, tetapi juga terjadi di kalangan yang berpendidikan
tinggi. Meski cukup banyak wanita berpendidikan tinggi dan berkarier sambil
menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga, cukup banyak di antaranya yang
masih mengalami pelecehan oleh suami.
Salah satu bentuk pelecehan yang sering dilakukan suami
adalah perintah disertai kata-kata kasar yang diucapkan ”tanpa perasaan”,
ibarat seorang majikan kepada budak miliknya. Di sini, bukan kekerasan fisik
yang terjadi, melainkan perlakuan dan ucapan yang semena-mena.
Seorang ibu rumah tangga (usia 40 tahun), tampak sehat secara
fisik, mengalami gejala depresi karena sering mengalami kekerasan verbal dan
pelecehan emosional sepanjang perkawinannya yang telah berlangsung 15 tahun.
Ibu yang masih gemar membaca ini meski masih runtut dalam bertutur kata, sorot
matanya tampak layu. Telah tiga bulan ia menderita pusing-pusing sejak
peristiwa kekerasan verbal yang dialaminya seusai merayakan 15 tahun
perkawinan.
Hampir 15 tahun terakhir ini, karena alasan kesehatan, secara
geografis ia dipisahkan dari suaminya oleh anak-anaknya sendiri. Pasangan ini
hanya sesekali bertemu. Suaminya (mantan saudagar) bukanlah orang jahat, bukan
pula orang yang telah berselingkuh dengan wanita lain. Namun, istrinya
menderita semata-mata karena sifatnya yang keras dan sangat kasar kepada istri,
anak-anak, dan orang lain.
Ibu yang lemah lembut ini merasa telah
”diinjak-injak” oleh suaminya sejak awal perkawinan. Meski ia telah melakukan
tugasnya sebagai istri dengan baik. Apa yang dialami oleh ibu di atas banyak
juga diderita ibu lain yang lebih muda, meski dalam detail cerita yang
berbeda-beda. Mereka tidak mengalami kekerasan fisik, memiliki pendidikan
tinggi, memiliki konsep diri positif. Namun, toh banyak dari mereka yang
menyimpan kisah kekerasan verbal atau pelecehan emosional oleh pasangan
sendiri. Untunglah sebagian dari mereka mampu bertahan, bahkan ambil bagian
dalam usaha menyehatkan emosi suaminya.
B.
Analisis Kasus
Teori yang digunakan pada kasus ini menurut kelompok kami
adalah teori perkembangan sosial Erikson pada tahap generativity vs stagnancy
dimana figure ayah maupun suami yang dilustrasikan pada studi kasus tersebut
justru tidak bisa melakukan pembimbingan terhadap pasangan maupun generasi
penerusnya mengingat sifatnya yang justru sangat kasar dalam bertutur kata
terhadap istrinya.
Pelecehan emosional secara umum yang dilakukan oleh suami
yang bertindak melecehkan istri sering kurang menyadari tindakannya sebagai
pelecehan. Pelecehan atau kekerasan emosional biasanya lebih sulit dilihat dan
dikenali daripada kekerasan fisik sehingga rentan terjadi berulang kali dan
muncul dalam berbagai bentuk tanpa disadari. Pelecehan emosional mengikuti
suatu pola, yaitu diulang-ulang dan berkesinambungan.
Pelecehan emosional, seperti bentuk kekerasan lainnya,
merupakan kecenderungan yang ada di dalam diri seseorang. Biasanya ini
berkembang karena lingkungan sosial yang tanpa disadari membentuknya menjadi
demikian, terutama pola asuh orangtua yang diwarnai kekerasan.
Seperti berbagai bentuk pelecehan dalam hubungan, mereka yang
paling lemah dalam kekuasaan dan sumber daya dalam masyarakat adalah yang
paling sering mengalami pelecehan emosional.
Tidak ada definisi universal yang disepakati mengenai
pelecehan emosional. Seperti halnya berbagai bentuk pelecehan dalam relasi
sosial, pelecehan emosional (emotional abuse) didasarkan pada
kekuasaan dan kontrol.
Berikut adalah bentuk-bentuk pelecehan atau kekerasan
emosional yang dikenal secara luas :
·
Penolakan. Menolak mengenal atau menghargai
orang yang hadir, menolak berkomunikasi, mendevaluasi pikiran dan perasaannya.
·
Menghina. Perilaku yang merendahkan identitas,
martabat, dan harga diri seseorang. Contoh: berteriak, menyumpahi, merendahkan
di depan umum atau menyebut si bodoh, mengejek ketidakmampuan seseorang, dan
sebagainya.
·
Meneror. Melakukan teror atau membuat ketakutan
berlebihan atas seseorang, melakukan intimidasi, menempatkan atau mengancam,
menempatkan seseorang di tempat yang tidak sesuai atau berbahaya. Contoh:
memaksa seorang anak untuk melihat tindak kekerasan terhadap anggota keluarga
atau binatang peliharaan, mengancam meninggalkan atau melukai secara fisik atau
membunuh seseorang atau binatang kesayangan, mengancam akan merusak milik orang
lain, mengancam mendeportasi seseorang atau memasukannya ke dalam institusi
(yang tidak diinginkan).
·
Mengisolasi. Pembatasan secara fisik, membatasi
kontak yang normal dengan orang lain, membatasi kebebasan seseorang di dalam
lingkungan sendiri. Contoh: melarang orang dewasa mengambil keputusan mengenai
hidupnya sendiri, mengunci anak di toilet, menolak pasangan mengakses uang
dalam urusan finansial, membatasi kontak dengan cucu, mengurangi dukungan untuk
mobilitas atau transportasi.
·
Mengorupsi atau mengeksploitasi.
Mensosialisasikan seseorang dalam gagasan atau perilaku yang berlawanan dengan
standar hukum, menggunakan seseorang untuk keuntungan pribadi, melatih anak
untuk memuaskan minat pelaku. Contoh: pelecehan seksual terhadap anak,
membolehkan anak minum minuman alkohol dan obat-obatan, atau menonton
pornografi, memikat seseorang untuk perdagangan seks.
·
Mengingkari tanggung jawab emosional. Kegagalan
untuk memberikan perawatan secara peka dan bertanggung jawab, hubungan yang
jauh dan tidak adanya keterlibatan, interaksi hanya bila diperlukan,
mengabaikan kebutuhan akan kesehatan mental seseorang. Contoh: mengabaikan
seorang anak yang ingin berinteraksi, kegagalan menunjukkan afeksi, perhatian,
dan cinta terhadap anak.
Dampak terhadap pasangan dan anak :
·
Berbagai dampak pelecehan emosional perlu kita
pikirkan. Bagaimanapun, pelecehan emosional mendukung pelecehan lainnya.
Contohnya, pelecehan emosional oleh pasangan menyokong terjadinya kekerasan
verbal maupun fisik.
·
Tidak ada kekerasan atau pelecehan yang terjadi
tanpa efek psikologis. Semua bentuk pelecehan memuat elemen pelecehan secara
emosional dan menimbulkan gangguan psikologis. Pelecehan emosional juga dapat
melukai rasa harga diri dan konsep diri seseorang.
·
Pada anak, kekerasan atau pelecehan emosional
sering diterapkan dalam upaya menegakkan disiplin, yang memiliki efek negatif
menghambat perkembangan psikologis anak mencakup masalah: inteligensia, memori,
rekognisi, persepsi, perhatian, imajinasi, dan perkembangan moral. Selain itu,
dapat memengaruhi perkembangan sosial anak dan menghambat kemampuan mereka
untuk mempersepsi, merasakan, memahami, dan mengekspresikan emosinya.
Demikianlah, pelecehan emosional merupakan fenomena yang
masih jarang menjadi sorotan publik. Namun, prevalensi kejadiannya cukup besar
dan memiliki dampak psikologis yang sama-sama menyakitkan seperti halnya bentuk
kekerasan verbal yang lain atau fisik. Semoga kita bukan salah satu dari pelaku
ataupun korbannya.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Seperti yang terlihat pada
fakta yang terjadi, di negara yang sedang berkembang, khususnya di Indonesia, angka pertumbuhan penduduk dewasa
terus meningkat jumlahnya, hanya
sebagian masyarakat yang memperhatikan
kuantitas dan kualitas dari peningkatan
tersebut. Fakta yang terjadi di berbagai aspek kehidupan, khususnya dari segi
sosial, kita bisa melihat banyaknya kesenjangan sosial antara orang miskin dan
orang kaya, orang yang bekerja dan
menganggur. Tidak adanya kepedulian sosial-emosional antara satu sama
yang lain. Akibatnya ketidakproduktifan
usia dewasa akan membuat kondisi negara terbebani.
Di masa dewasa pertengahan, sejumlah perubahan
merupakan bentuk adaptasi terhadap peristiwa hidup luar (seperti sirklus
kehidupan keluarga) yang sifatnya tidak lagi berdasarkan kelas usia
dibandingkan dimasa lalu. Kebanyakan ornag dewasa paruh baya juga melaporkan
perkembangan tahap-tahap,di mana masa-masa sulit memicu pemahaman dan tujuan
baru.
Daftar Pustaka
Berk, Laura E.
2012. Development Through The Lifespan
(Edisi Kelima) Dari Masa Dewasa Awal Sampai Menjelang Ajal (Volume 2).
Yogyakarta: Pustaka Belajar
Santrock, John W. 2002. Life-Span
Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5, Jilid II. Jakarta: Erlangga
www.kompas.com (diakses tanggal 12 November 2012)
0 komentar:
Posting Komentar