azizherwit

Sabtu, 15 September 2012

Keutamaan Sedekah



Malam itu, bulan bersinar terang di langit. Bintang-bintang bertaburan. Subhanallah, alangkah indahnya. Seorang laki-laki bernama Karim keluar dari rumahnya. Dulu, Karim dikenal gemar melakukan perbuatan yang dilarang agama. Namun, kini ia telah insyaf dan bertobat. Sekarang, ia rajin solat berjamaah di masjid. Dia juga tidak merasa malu untuk ikut mengaji dan belajar membaca Al-Quran, bersama anak-anak yang lebih muda usianya.
Malam itu, setelah mendengar penjelasan dari imam masjid tentang keutamaan shadaqah atau sedekah, hati Karim tergerak. Imam masjid menjelaskan, jika seseorang memiliki uang seribu dirham dan ia menyedekahkan tiga ratus dirham, maka yang tiga ratus dirham itulah yang akan kekal dan dapat dinikmati di akhirat. Sedangkan yang tujuh ratus dirham tidak membuahkan apa-apa. Bahkan uang yang tiga ratus dirham yang disedekahkan, akan dilipatgandakan oleh Allah sebanyak tujuh ratus kali. Sedekah juga membuat harta dan rezeki yang ada, menjadi penuh berkah.
Selama ini Karim dikenal kaya dan kikir. Namun, sejak insyaf dan tobat, dia telah berniat mengorbankan segala yang dimilikinya untuk memperoleh ridho Allah SWT. Sebagian hartanya telah dia rencanakan untuk disedekahkan dan diinfakkan di jalan Allah SWT.
Dia mengarahkan langkahnya menuju ke suatu rumah. Dia telah menyiapkan kantong berisi seratus dirham untuk disedekahkan. Begitu sampai di rumah yang ditujunya, dia mengetuk pintu. Seorang lelaki berkumis keluar pintu. Setelah mengucapkan salam, dia memberikan kantong itu pada pemilik rumah, lalu mohon pamit. Kejadian itu ternyata diketahui oleh beberapa penduduk daerah itu.
Pagi harinya, orang-orang di pasar ramai membicarakan apa yang dilakukan Karim tadi malam.
Dua orang yang melihat Karim bersedekah berkata dengan nada mengejek, “dasar orang tidak tahu agama, sedekah saja keliru, masak sedekah kok kepada pencuri. Kalau mau sedekah ya harusnya kepada orang yang baik-baik!”
Obrolan orang di pasar itu sampai juga ke telinga Karim, ia hanya berkata dalam hati, “Alhamdulillah, telah bersedekah kepada pencuri!”

***
Hari berikutnya, ketika malam tiba, dia kembali keluar rumah. Dia ingin kembali bersedekah. Sama seperti malam sebelumnya, dia menyiapkan uang seratus dirham. Kali ini, dia memilih sebuah rumah di pinggir kota. Dia mengetuk pintu rumah itu. Seorang wanita membukakan pintu. Dia langsung menyerahkan sedekahnya pada perempuan itu lalu pulang.
Pagi harinya, pasar kembali ribut. Ternyata, ada orang yang mengetahui perbuatannya tadi malam. Orang itu bercerita sinis, “memang, Karim itu tidak jelas. Rajin pergi ke masjid, tetapi memberi sedekah saja masih salah. Kemarin malam, dia member sedekah kepada seorang pencuri. Lha, tadi malam dia member sedekah kepda seorang pelacur!”
Perbincangan orang di pasar itu sampai juga ke telinganya. Karim hanya berkata lirih, “Alhamdulillah, telah bersedekah kepada seorang pelacur”. 

***
Malam harinya, Karim kembali keluar rumah untuk bersedekah. Dia memilih rumah yang ada di deket pasar. Setelah mengantarkan sedekahnya, dia pulang. Kali ini Karim berharap, dia tidak keliru memberikan sedekahnya.
Pagi harinya, pasar lebih rebut daripada sebelumnya. Seorang penjual daging berkata, “nggak tahulah! Karim itumemang aneh. Mau sedekah saja kok kepada orang kaya. Padahal, orang yang miskin dan masih memerlukan uant untuk makan, masih banyak dan ada di mana-mana!”. Ternyata rumah yang didatangi oleh Karim tadi malam adalah rumah orang kaya.
Mendengar berita dan omongan yang ada di pasar tentang kekeliruannya, ia berkata, Álhamdulillah, telah sedekah kepada pencuri, pelacur, dan orang kaya!’. Malam harinya, ia shalat tahajjud, lalu tidur.
Dalam tidunya, ia bermimpi didatangi oleh seseorang yang member kabar kepadanya, “sedekahmu kepada pencuri, membuat pencuri itu insyaf, sehingga dia kini tidak mencuri lagi. Sedekahmu kepada pelacur, membuat wanita itu tobat dan tidak berzina lagi, dan sedekahmu kepada orang kaya, menjadikan orang kaya yang pelit itu mau mengeluarkan zakat dan infak. Sedekahmu yang ikhlas itu diridhoi Allah SWT.”
Setelah itu, Karrim semakin khusyuk beribadah dan banyak mengerjakan kebajikan. Dia sadar bahwa yang paling penting dalam ibadah adalah niat karena Allah. Bukan sekedar mengikuti perkataan orang banyak. Hanya Allah-lah yang berhak menilai, diterima atau tidaknya amal ibadah seseorang.

(Dikutip dari: Ketika Cinta Berbuah Surga, karya Habiburrahamn El Shirazy)  

0 komentar:

Posting Komentar