1. TEORI POLA KEBUDAYAAN
Teori pola kebudayaan (pattern of culture) dapat disebut juga
sebagai teori konfigurasi kebudayaan, teori Mozaik kebudayaan, representation
collectives, atau teori Etos kebudayaan. Konfigurasi adalah rumusan yang
sangat abstrak tentang integrasi suatu kebudayaan dan masyarakat (cita-cita dan
pandangan hidup). Istilah pattern of culture adalah ciptaan Ruth Fulton
Benedict. Walaupun sebelumnya sudah ada beberapa orang yang pernah
menyinggung-nyinggungnya, namun Benedict lah yang telah berhasil menarik
perhatian para cerdik pandai dan orang awam mengenai teori ini, melalui
karyanya pattern of culture (1934). Hal ini disebabkan karena ia dapat
menyajikan teori tersebut secara jelas dan mudah dimengerti orang.
Mereka yang pernah menyinggung teori konfigurasi kebudayaan ini, antara
lain adalah Edward Sapir dalam artikelnya “Culture, Genuine and Spurius”
(1924), dan “The Unconscious Patterning of Behaviour in Society” (1927). Dalam
kedua artikel ini, ia memberi bayang-bayang tentang adanya konfigurasi
kebudayaan.
Orang lain yang pernah menyinggung konfigurasi kebudayaan adalah C.G.
Seligman, yang di dalam pidata pelantikannya sebagai presiden dari The Royal
Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, telah menerapkan tipe
Yungian dan Fruedian pada kebudayaan (1924). Sarjana lain lagi yang juga pernah
membayangkan ada konfigurasi kebudayaan adalah Geza Roheim (1932).
Ruth Benedict di dalam bukunya Pattern of Culture telah pula
menerapkan teorinya dengan data rinci dari tiga kebudayaan orang Zuni, Dobu,
dan Kwakiutle. Di dalam artikel terdahulu, Benedict memaparkan secara singkat
rangka teorinya itu, dan menyebut-nyebut nama Dilthey, Spengler, Nietzsche, dan
psikolog Gestal, sebagai sumber yang mempengaruhi jalan pemikirannya menuju
penciptaan teori tersebut. Di dalam karangan lain yang diterbitkan bersamaan
waktu dengan Pattern of Culture, ia telah memperluas teorinya dengan
mempergunakan konsep psikiatri perbandingan (comparative psychiatry).
Karangan Benedict terdahulu sangat penting, karena di sana telah ditunjukan
bahwa masalah yang dimulai dalam teorinya bukan bersifat psikologi, melainkan
kebudayaan, yaitu ia ingin mengetahui “Bagaimana dan mengapa kebudayaan Pantai
Barat Daya Amerika Utara sangat berbeda dari kebudayaan tetangganya”. Ia tidak
memikirkan keterangannya dari sudut ada tidak adanya unsur-unsur kebudayaan (trait)
tertentu, seperti ritualisme, dan penyebarannya dapat menyebabkan perbedaan
tersebut, disebabkan oleh keanekaragaman tipe-tipe psikologi (psychological
types) kebudayaan yang berbeda.
Dari keterangan di atas bukan berarti Benedict hendak menerangkan kenyataan
kebudayaan dari sudut psikologi perorangan (individual psychology),
karena tipe psikologi Benedict mula-mula adalah tipe Apollonian dan Dionysian
dari Nietzche, yang oleh Nietzche diuraikan di dalam karyanya mengenai lakon
tragedi Yunani. Tipe psikologi yang diambil dari hasil analisa data kebudayaan
tidak dapat diterapkan kepada perorang. Namun kemudian pada waktu Benedict
menulis karyanya Pattern of Culture dan Anthropology and The Abnormal, hubungan
kebudayaan dan kepribadiaan perorangan telah dipererat. Hal ini disebabkan
karena di dalam karya-karya tersebut istilah psikologi perorangan dari para
ahli psikiatri telah juga dipergunakan, di samping istilah-istilah dari etos
kebudayaan.
Dengan perkataan lain, Benedict telah menekankan bahwa etos kebudayaan yang
dominan dapat juga dilukiskan secara khusus dengan istilah-istilah psikiatri.
Demikianlah, kebudayaan orang Zuni dilukiskan olehnya sebagai Apollonian, dan
orang Plain Indian sebagai dionysian seperti halnya di dalam karyanya
terdahulu, namun kebudayaan Dobu olehnya digolongkan sebagai paranoid,
dan kebudayaan Kwakiutle sebagai megalomanic-paranoid.
Pergeseran dari tipologi berdasarkan etos kebudayaan menjadi tipologi
kepribadian suatu kebudayaan berdasarkan kepribadian perorangan, menyebabkan
perhatian Benedict bergeser dari kebudayaan ke anggota pendukung kebudayaan
tersebut. Yaitu jika kebudayaan Kwakiutle mempunyai kecenderungan
megalomanis-paranoid, maka orang akan mengetahui berapa orang dari suku bangsa
Indian Kwakuitle memiliki kecenderungan itu dan apakah mereka memperolehnya
dari kebudayaan mereka sendiri.
Teori Benedict dapat diringkas sebagai berikut “Di dalam setiap kebudayaan
ada aneka ragam tipe temperamen yang telah ditentukan oleh faktor keturunan (genetik),
dan secara universal. Namun, setiap kebudayaan hanya memperbolehkan sejumlah
terbatas dari tipe temperamen tersebut berkembang. Dan tipe-tipe temparemen
tersebut hanya yang cocok dengan konfigurasi dominan. Mayoritas dari
orang-orang dalam segala masyarakat akan terbuat sesuai dengan tipe dominan
dari masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena temperamen mereka cukup plastis
untuk dibentuk tenaga pencetak dari masyarakat. Ini adalah apa yang disebut
tipe kepribadian normal. Namun, di samping itu ada sejumlah penduduk yang
merupakan minoritas dalam setiap masyarakat, yang tidak dapat dimasukan kedalam
tipe dominan ini. Baik disebabkan karena tipe temperamen tersebut terlalu
menyimpang (deviate) dari tipe domonan (ruling type), maupun
karena mereka tidak cukup berbakat untuk dapat menyesuaikan diri dengan tipe
dominan. Golongan minoritas ini adalah para penyimpang (deviant) dan
abnormal.
Penggolongan dari tipe kepribadian “normal” dan “abnormal” berhubungan erat
dengan konfigurasi atau kebudayaan dari suatu suku bangsa. Berdasarkan teori
diatas maka Benedict berpendapat bahwa tidak ada kriteria yang sahih (valid)
mengenai tipe kepribadian “normal “ dan “abnormal”. Suatu kepribadian dianggap
“normal” apabila sesuai dengan tipe kepribadian yang dominan, sedangkan tipe
kepribadian yang sama jika tidak sesuai dengan tipe kepribadian dominan akan
dianggap “abnormal” alias “tidak normal” atau penyimpang (deviant).
Berdasarkan teori tersebut kemudian Benedict menerapkannya pada tiga suku
bangsa di dunia, yakni orang Zuni dari New Mexico, orang Kwakiutle dari Pantai
Barat Laut Amerika Utara, dan orang Dobu dari Papua New Guinea.
Orang Zuni dari New Mexico, yang bermata pencarian pertanian mempunyai
konfigurasi yang bersifat dionysian, yang ditandai sifat-sifat ekstrovert,
pemboros, suka bertindak ekstrim, gemar memamerkan kekayaan (potlatch),
senang menggunakan obat bius (narkotik). Istilah dionysian dipinjam Benedict
dari Spingler. Bahan etnografinya di pinjam dari bahan hasil penelitian di
lapangan oleh F. Boas. Pola kebudayaan orang Kwakiutle, selain digolongkan
kedalam tipe dionysian, oleh Benedict juga digolongkan kedalam tipe
Megalomanic paranoid. Suatu istilah psikiatri mengenai penyakit jiwa yang
menganggap diri pribadi nya orang hebat (megalomania), dan disamping itu
juga selalu curiga dirinya akan dicelakai orang (paranoid).
Contoh ketiga adalah orang dobu. Suku bangsa ini menurut Benedict mempunyai
konfigurasi atau pola kebudayaan yang bertipekan schizophrenia dari
jenis paranoid. Para pendukung kebudayaan ini bersifat penghianat. Suka pada
ilmu sihir dan selalu curiga bahwa dirinya akan dicelakai orang lain. Menurut
Reo Fortune, antropolog penilitinya, para anggota masyarakat saling mencurigai
sesamanya. Mereka selalu hidup dalam ketakutan akan kena sihir (guna-guna).
Hasil pembagian Benedict mengenai tipe kepribadian tiga suku bangsa didalam
bukunya Pattern of Culture ini sudah banyak mendapatkan kritikan dari
sarjana Antropolgi. Salah satu pengkritik itu adalah Helen Codere , yang dalam
artikelnya berjudul : “The Amiable Side of Kwakiutle Life” (1956) mengatakan
bahwa orang kwakiutle ternyata lebih ramah dari pada yang digambarkan Benedicth
dalam bukunya tersebut. Didalam kritikannya tersebut itu, Codere mengajukan
beberapa pertanyaan seperti : “apakah tidak ada perbedaan diantara kepribadian
orang kwakiutle kebanyakan dengan kepribadian para pemimpinnya (golongan
elit)?” keadaan ini tidak diperhatikan Benedicth.
Masalah lain dari teori pola kebudayaan Benedict, yang juga di
permasalahkan oleh para antropog, adalah : bagaimana suatu tipe kepribadian (psychological
type) ditanamkan kedalam jiwa pendukungnya?
Dewasa ini teori mengenai asumsi tentang kebudayaan sebagai pencetak tabiat
manusia yang piastis telah digantikan oleh teori mengenai sangat pentingnya
peranan praktek pengasuhan anak (child rearing practices) dalam
pembentukan kepribadian seorang anak setelah dewasanya kelak (Kardiner,
1939;Eggan,1943;Goldfrank,1945;Erikson,1945)
Asumsi terakhir sangat terkenal dan berdasarkan teori-teori mengenai belajar,
tumbuh kembang, dan psikoanalisa (learning and individual growth theoris ,
and on psychoanalysis). Mengenai teori tersebut akan dibincangkan pada saat
kita sampai pada teori Struktur Kepribadian Dasar dari Kardiner, Linton,
DuBois, dibelakang nanti.
Didalam karya-karya yang kemudian, Beneditc juga memasukan beberapa
diskusi tentang praktek pengasuhan tanpa melibatkan dirinya dalam salah
satu teori psikologi (seperti learning theory misalnya). Dia berkecenderungan
untuk menekankan bahwa yang penting bukan ada atau tidak adanya praktek-praktek
pengasuhan anak tertentu , caranya praktek pengasuhan itu diintegrasikan
dengan, dan dinyatakan dalam suatu konfigurasi khusus dari kebudayaan. Pendapat
ini memang cocok dengan teori konfigurasi, yang kemudian menjadi dasar teori
watak bangsa (national character).
Teori Benedict ini oleh E Boas dianggap sebagai usaha untuk mengerti
individu sebagai makhluk dalam kebudayaan dan kebudayaan sebagai salah satu
wadah yang dialami individu.
Walaupun dalam teori ini ada unsur-unsur teori psikologi, namun
sesungguhnya tidak ada data mengenal kepribadian individu data yang dominan
adalah dari kebudayaan masyarakat upacara sajak ekonomi organisasi social
praktek berperang sikap-sikap yang sudah melembaga dan sebagainya tidak ada
data mengenai riwayat hidup (life history) seorang, dan dokumen pribadi,
apalagi hasil dan test psikologi yang kini telah menjadi bagian penting dalam
penelitian antropologi psikologi. Jikapun ada, paling-paling hanya dibicarakan
sambil lalu saja.
Alasan Benedict tidak mempergunakan data psikologi dalam metode pembuktian
teorinya adalah:
1. Pada permulaan memang teorinya itu dimaksudkan untuk
menerangkan organisasi dan diferensiasi kebudayaan, dan kemudian diperluas
dengan menyentuh sedikit konsep-konsep psikologi.
2. Metode psikologi seperti dokumen pribadi dan test
psikologi lainnya, belum banyak diketahui para antropolog pada masa itu.
Kecuali sudah tentu oleh beberapa orang seperti Margaret Mead, yang telah
mempergunakannya dalam penelitiannya di Samoa.
3. Ia telah menerima asumsi bahwa mayoritas individu
dalam suatu masyarakat mempunyai kepribadian yang plastis untuk dibentuk oleh
cetakan kebudayaan, maka akan membuang-buang waktu saja jika masih mau
mengumpul lagi dari data individu-individu.
Bendict mempergunakan pula teori pola kebudayaanya untuk menerangkan proses
perubahan kebudayaan. Hal ini terjadi setelah teorinya itu diterapkan bukan
saja pada kebudayaan suatu suku bangsa, melainkan juga pada suatu bangsa
(nation). Namun tidak berarti teori itu historis (historical theory). Hal ini
disebabkan (kesan yang akan kita peroleh dan membaca bukunya), pola kebudayaan
adalah suatu kesatuan (entity) yang tak berjangka waktu (timeless), yakni tanpa
ada mendahului (antecedent), atau yang berlaku sebagai akibatnya (consequent).
Tetapi sekali terbentuk konfigurasi kebudayaan tersebut akan sangat berpengaruh
dalam pembentukan temperamen suku bangsa bersangkutan.
Kegemaran Benedict terhadap sesuatu yang statis adalah ciri antropologi
social masa itu, yang tergolong synchronis (sezaman, kontemporer dengan
pendekatan fungsional). Ini berbeda dengan teori yang tergolong diachronic
(yang menunjuk pada historikal atau pendekatan perkembangan, pada waktu
mempelajari kebudayaan).
Teori sinkronis pada masa itu dapat berpengaruh, karena ada asumsi bahwa
kebudayaan orang-orang “primitif” itu statis, karena tidak mempunyai sejarah.
Teori ini menjadi sukar diterapkan pada teori konfigurasi kebudayaan, ia mulai
diterapkan pada kebudayaan suatu bangsa (nation) yang dinamik sifatnya, yang
mudah berubah.
Komentar tentang teori ini:
KEBUDAYAAN DICIPTAKAN OLEH MANUSIA DAN DITAATI
OLEH MANUSIA ITU SENDIRI.TENTUNYA AKAN MENGALAMI SUATU PERUBAHAN DALAM SUATU
WAKTU TERTENTU. DENGAN KEGEMARAN BENEDICT DENGAN HAL STATIS BERTOLAK BELAKANG
DENGAN KENYATAAN BAHWA KEBUDAYAAN AKAN
SELALU BERKEMBANG BAHKAN BERUBAH SEIRING PERKEMBANGAN ZAMAN.
2. TEORI GAYA HIDUP PETANI DESA
Robert Redfield
terkenal terutama teori mengenai teorinya yang disebut Gaya Hidup Petani Desa (The
Peasant styel of Life ) atau dapat disebut juga sebagai Tipe kepribadian
petani desa (The personality Type Of the Peasant ). Teorinya ini dapat juga
digolongkan ke dalam teori konfigurasi kebudayaan.
Untuk menerangkan
teorinya ini, Redfield membedakan masyarakat di dunia ini menjadi tiga macam,
masyarakat Folk (folk society); masyarakat petani desa (peasant society)
dalam masyarakat perkotaan (urban society) .
Masyarakat folk
adalah masyarakat yang telah ada sebelum timbulnya kota. Istilah lain yang
sinonim adalah tribal society yang dahulu sering disebut sebagai
masyarakat “primitive”. Atau masyarakat terpencil Masyarakat folk
memiliki sedikit sekali mendapatkan pengaruh dan perbedaan besar di dunia
seperti Han (Cina), Yunani, India, Islam dan lain-lain.
Masyarakat pekotaan
sudah tentu adalah masyarakat yang berkembang di daerah perkotaan.
Kebudayaan masyarakat ini sudah sangat maju sekali karena telah memperoleh
pengaruh dari bermacam – macam peradaban besar di dunia, bahkan banyak
yang kini telah terpengaruh oleh peradaban modern.
Masyarakat petani
desa adalah bentuk masyarakat folk dahulu, yang telah mendapat sentuhan
(kontak) dengan masyarakat pekotaan,
sehingga mekereka telah pula terpengaruh kebudayaan modern. Walaupun sering
kali juga pengaruhnya kurang mendalam, dan hanya bersifat superficial saja.
Sebagai contoh di Indonesia ada banyak orang desa yang memakai jam tangan tampa
dapat membacanya, sehingga jam yang dipakai itu dalam keadaan mati. Berbeda
dengan masyarakat folk yang hidup dengan secara otonomi, maka masyarakat petani
desa tidak demikian, karena ia tergantung sekali dari masyarakat pekotaan.
Akibatnya, kebudayaannya pun tidak bersifat otonomi. Itulah sebabnya, Redfield
mengatakan masyarakat petani desa bersifat setengah masyarakat (a half society)
dan kebudayaan bersifat setengah kebudayaan (a half culture) (Redfield. 1967:
25-26).
Jadi masyarakat
petani desa tidak ada sebelum terbentuknya kota. Hubungan masyarakat petani
desa dengan masyarakat perkotaan adalah dalam hubungan simbolis, yakni saling
menghidupi. Masyarakat petani desa memperoleh benda-benda indusrti yang canggih
seperti elektronik pendidikan modern, perlindungan keamanaan, dan lain-lain dan
masyarakat perkotaan, sedangkan masyarakat perkotaan memproduksi pertanian dan
pertenankan dari masyarakat petani desa, tenaga kerja, dan lain-lain.
Redfiel percaya
tentang adanya gaya hidup (life style) khas masyarakat petani desa , yakni di
tandai oleh seperangkat sikap dan nilai sebagai berikut :
1.
Sikap yang Praktis dan mencari yang berfadah (utilitarian) terhadap alam.
Montifikasinya untuk bekerja bukan saja untuk menghasilkan sesuatu bagi
hidupnya, melainkan juga untuk memenuhi perintah dewa.
2.
Meraka lebih menonjolkan pada segi perasaan dari pada rasio
3.
Mereka sangat mengutamakan (concern) pada kesejahteraan hidup dan kepastian
hidup.
4.
Mereka sangat prokreasi, yakni untuk mempunyai keturunan yang banyak.
5. Mereka mendambakan kekayaan.
6. Menghubungkan
keadilan social dengan pekerjaan.
Berdasarkan penelitian saya di beberapa desa seperti
Trunyan di bali, dan Sitelu Banua di pulau Nias di bagian utara, saya
berkesimpulan bahwa seperangkat sikap dan nilai petani desa, paling sedikit,
dapat ditambah lagi dengan tiga sikap dan nilai yakni :
1. Mereka bersifat konservatif
2. Mereka gemar memamerkan kekayaan
3. Strategi yang mereka pergunakan
untuk menolak paksaan dari luar dan dengan cara penolakan yang bersifat (passive
resistance).
Seperangkat sikap
dan nilai petani desa tersebut adalah semacam weltanschauung atau
pandangan hidup (world view) dari masyakat yang hidup di daerah
pedasaan. Padangan hidup tersebut bersifat universal karena dapat ditemukan di
temukan pada petani desa di dunia. Seperti Polandia, Cina, Kurdish, Guatamaia,
Bali, Kalimantan Tengah, dan pulau Nias.
Tipe kepribadian
orang petani desa seperti yang digambarkan petani desa, sebenarnya adalah
semacam human type atau tipe manusia, yang dapat dikenal secara; agak
tersebar di mana-mana, bersifat tahan lama. Dan timbul sebagai akibat peradaban
(civilization). Gaya hidup semacam ini, mungkin diperkembangkan sebagai akibat
adanya adaptasi dar sifat masyarakat folk, dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup baru, yang diakibatkan oleh timbulnya kota.
Masyarakat petani
desa hidup karena mempertahankan sifat kegotong-royongan tradisional, yang
bedasarkan solidaritas social masyarakat folk. Hubungan kekerabatan masih
memegang peranan penting. Tujuan hidupnya sudah terang, serta dirasakan dengan
kuat. Tujuan tersebut seperti telah dikatakan di muka adalah untuk menjadi
kaya, punya banyak keturunan, memperoleh keamanan dan kesejahteraan hidup.
Sebaliknya, mereka juga segan-segan mengambil sifat modern untuk dijadikan
bagian hidupnya, seperti berdagang dengan mempergunakan media uang, pengendalian
social yang bersifat formal maupun informal mengenai ekonomi maupun politik.
Konsep Redfield
mengenai seperangkat sikap dan nilai yang dimiliki masyarakat petani desa
tersebu, sangat berguna untuk dijadikan penelitian secara desa tersebut, sangat
berguna untuk di jadikan penelitian secara lintas budaya ( cross cultural
studies). Sifat tipe kepribadian petani desa yang Dirumuskan Redfield
tersebut, dapat kita bendingkan dengan konfigurasi kebudayaan Apollonian ruth
Benedict.
Sebagai penutup
bagian ini perlu kiranya ketahui juga bahwa di kota-kota besar Negara
berkembang seperti Indonesia, ada juga komunitas yang mempunyai sifat petani
desa. Komunitas tersebut adalah apa yang di sebut kampung di kota besar seperti
Jakarta. Hal ini disebabkan karena dalam batas-batas tertentu masyarakatnya
masih mempertahankan sikap dan nilai gaya hidup masyarakat petani desa.
Sehingga tidak salahnya apabila kampung-kampung di kota, sebenarnya adalah
desa-desa yang berada didalam kota.
Komentar tentang
teori ini:
MASYARAKAT PETANI TIMBUL KARENA ADANYA
MASYARAKAT FOLK DAN MASYARAKAT KOTA. SEIRING DENGAN PERKEMBANGAN ZAMAN
MASYARAKAT FOLK SECARA PERLAHAN TERSENTUH MODERNISASI. DAN JIKA KEMAJUAN ITU
MENJADIKAN MASYARAKAT FOLK PERLAHANMENJADI MAJU.
3.
TEORI
KEPRIBADIAN STATUS
Ralph Linton adalah
ilmuan yang handal dalam mensintesikan segala hal. Dalam kebudayaan ia
memberi wawasan luas dalam banyak hal, terutama dala bahasa budaya dan
kepribadian. Salah satu pemikirannya tentang peran dan status.Ia membahas peran
dalam formula fungsionalisme. Bagi banyak ilmuan, fungsionalisme mengandung
makna tujuan dan aspek matematik yang memandang bahwa dua hal dapat berubah
bersama. Namun dalam
pandangan Linton, fungsionalisme berasal dari fungsi yang merujuk pada
interelasi individu-individu. Ia menyatakan ciri dari kebudayaan dapat dilihat
dari empat hal, yaitu bentuk yang merujuk pada pengaturan pola perilaku, makna
merujuk pada asosiasi yang dibubuhkan pada elemen budaya oleh anggota
masyarakat –yang mungkin bersifat subjektif dan tak disadari, guna terkait pada
guna perlakuan berdasar konteks kultural, dan fungsi. Ia membahas bahwa status
terkait dengan struktur serta hak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat.
Peran merujuk pada aspek perilaku terkait status.
Komentar tentang
teori ini:
SETIAP ORANG MEMILIKI BERAGAM STATUS. DALAM
SETIAP STATUS TERSEBUT SESEORANG DITUNTUT MENJADI PRIBADI YANG COCOK UNTUK
MENJALANKAN PERAN DARI STATUSNYA. DALAM
HAL INI SESEORANG YANG TIDAK BISA MENEMPATKAN DIRI DALAM BERBAGAI
PERUBAHAN KONDISI DALAM STATUSNYA AKAN MENGALAMI KONFLIK BATIN. SIKAP
FLEKSIBELITAS DALAM BERBAGAI STATUS KURANG COCOK UNTUK SESEORANG YANG
EGOSENTRIS. DAN SIKAPNYA SERING KALI MEMBUAT KONFLIK BATIN SEKALIGUS LINGKUNGAN
LUAR JIKA SESEORANG YANG BERKEPRIBADIAN EKSTROVERT DENAGN EGOSENTRISNYA INGIN
MENDUDUKI SEMUA STATUS SEKALIPUN STATUS YANG DITUNTUT BERKEPRIBADIAN INTROVERT.
4.
TEORI KEPRIBADIAN DASAR
Kepribadian
dasar", atau basic personality structure, yang berarti: semua unsur
kepribadian yang dimiliki bersama oleh suatu bagian besar dari warga sesuatu
masyarakat itu. Kepribadian dasar itu ada karena semua individu warga dari
suatu masyarakat itu mengalami pengaruh lingkungan kebudayaan yang sama selama
masa tumbuhnya. Kaidah Penelitian KepribadianMerujuk cara yang dilakukan oleh
para ilmuwan terdahulu, maka kebanyakan metodologi untuk mengumpulkan data
mengenai kepribadian bangsa itu adalah dengan mengumpulkan suatu sampel dari
individu-individu warga masyarakat yang menjadi obyek penelitian, kemudian
tiap-tiap individu dalam sampel itu diteliti kepribadiannya dengan test-test
psikologi. Hasilnya adalah suatu daftar ciri-ciri watak yang secara statistik
ada pada suatu persentase yang besar dari individu-individu dalam sampel tadi.
Dua hal yang dipelajari adalah :
1. Kepengasuhan anak, terkait dengan sosialisasi, Lebih ditekankan kepada masalah : cara kepengasuhan, intensitas/ frekuensi sosialisasi. Terutama dikembangkan oleh ahli antropologi terkenal, Margaret Mead.
1. Kepengasuhan anak, terkait dengan sosialisasi, Lebih ditekankan kepada masalah : cara kepengasuhan, intensitas/ frekuensi sosialisasi. Terutama dikembangkan oleh ahli antropologi terkenal, Margaret Mead.
2.
Adat istiadat, mencakup etika, moral norma dan nilai yang ada di dalam
masyarakat. Lebih ditekankan kepada pengaruhnya atas muatan dari kepribadian
umum. Di bawah ini adalah rujukan yang memuat kata-kata kunci sehingga kita
mampu membedakan antara etika, moral, norma dan nilai.
Komentar
tentang teori ini:
STRUKTUR KEPRIBADIAN DASAR MENJADI ALAT
MENYESUAIKAN DIRI DALAM
MASYARAKATNYA.DIAMANA KEPRIBADIAN DASAR DIBENTUK DARI PENGALAMAN-PENGALAMAN
SEMACA KECIL.BAGAIMANA PENYESUAIAN DIRI SESEORANG JIKA LANGSUNG DIHADAPKAN
DENGAN LINGKUNGAN YANG SANGAT BERBEDA DENGAN LINGKUNGAN PEMBENTUK
KEPRIBADIANNYA. BAGAIMANA PRIBADI SESEORANG TERSEBUT DAPAT MENGATASI KONFLIK
DIRI PADA LINGKUNGAN YANG BARU APAKAH
KEPRIBADIAN DASARNYA AKAN BERUBAH MENGIKUTI LINGKUNGAN YANG BARU ATAU BERUSAHA
MERUBAH LINGKUNGAN MENJADI SEPERINYA.
5.
TEORI KEPRIBADIAN RATA-RATA
Teori kepribadian
rata-rata (modal personality) timbul sebagai akibat penelitian di pulau Alora yang dilakukan Cora
Dubois. Istilah struktur Kepribadian rata-rata mirip sekali dengan struktur
kepribadian dasar dari kardiner dan kawan-kawan, namun lebih dalam arti
statistik, yaitu jika struktur kepribadian dasar dari suatu suku bangsa
dianggap sebagai tipe kepribadian dari sebagai besar anggota suatu suku
bangsa, yakin sedikit 51 % dari jumlah seluruh anggotanya.
Terjadinya tipe kepribadian
rata-rata, menurut Cora Dubois adalah sebagai hasil saling
pengaruh-mempengaruhi antara kecenderungan dengan pengalaman dasar, yang di
tentukan oleh fisiologis dan neurologis. Tipe kepribadian rata-rata ini pada
umumnya, ada pada kolektif manusia dalam usahanya menghadapi lingkungan
kebudayaan, yang mengingkarinya/menolaknya (deny), dan memuaskan segala
kebutuhanya. Kebutuhan setiap kolektif dapat berbeda-beda, sehingga tepi
kepribadian rata-ratanya dapat juga bereda.
Seperti telah
disinggung sebelumnya, konsep tipe kepribadian rata-rata merupkan hasil
penelitian Dubois di pulau Alor, dan penelitiannya ini merupakan penerapan dari
konsep-konsep yang di kembangkan di berbagai seminar yang dilakukan oleh
Kardiner dan kawan-kawan termasuk juga Dubois sendiri.
Tempat yang
dijadikan sasaran penelitian di pulau Alor adalah desa Atimeleng. Pilau Alor
sendiri terletak di NTT, Indonesia. Tepatnya di utara pulau Pimor. Di
sana Dubois mengadakan penelitian dilapangan (field woark) selama 18
bulan (1938-1939). Untuk mempersiapkan diri ia telah mempelajari bahasa
Belanda, Melayu dan bahasa Alor yang ia sebut dengan bahasa Abui.
Selain mengumpulkan
bahasa etnografi, ia juga mengumpilkan bhasa yang menggunakan metode yang
dipinjam dari ilmu psikologi, seperti :
1.
Riwayat hidup yang agak panjang dari delapan responden Alor.
2.
Hasil test Rorschach 37 responden Alor.
3.
Hasil test Asosiasi-asosiasi kata ( Word Association test) dari 36 responden.
4.
Hasil test porteus Maze 55 responden.
5.
Hasil test lukisan anak-anak (Children Drawing Test) dari 3 anak laki-laki dan
22 anak perempuan.
Selama berada di
Atimelang Dubois juga membuka klinik pengobatan.
Menurut Debois,
riwayat hidup yang dikumpulkan bukan berasa dari orang-orang yang dianggap
sebagai tipe ideal ( ideal type) dari masyarakt Atimelang. Hal itu disebabkan
karena orang-orang yang dianggap ideal disana terlalu sibuk untuk diwawancarai.
Dubois mengumpulkan
data psikologi, karena ia telah mengikuti berbagai seminar yang dilanda
Kardiner, Linton dan kawan-kawan sekitar 1936 dam 1937. Pengalamnya itu telah
membuat ia berpendapat untuk menyusun srtuktur kepribadian dasar
bahan-bahan etnografis saja belum lah cukup, karena tidak dapat menjelaskan
struktur watak ( character structur) dan dinamikanya (dynamic), atau penyebab
terjadinya suatu prilaku, yang disebut juga motivasinya (motivation).
Jadi test psikologi oleh Dubois dipergunakan untuk pengesahan pembuktian
kebenaran (procedure of volidatior). Pada masa itu pengumpulan data
dengan test psikologi dilapanganoleh Linton masih di anggap sebagai suatu
prosedur eksperimental.
Sekembalinya dari
lapangan, Dubois menyerahkan data etnografinya kepada kardiner, kardiner dengan
menggunakan metode analisis pskodinamika mengambil kesimpulan deduksi
dari kepribadian dasar seperti yang diharapkan mengenai orang Alor.
Data hasil
pengumpulan dengan test psikologi dibagian dua. Data mengenai riwayat hidup
diserahkan pada kardiner untuk dianalisis, sedangkan data hasil pengumpulan
dengan test proyeksi diserahkan oleh ahlinya yakni Dr. Emil Obelholzer, maupun
kardiner telah mempergunakan cara intrerpretasi buta (blind interpretation).
Metode yang terakhir ini adalah pada waktu menganalisis data yang berbeda cara
pengumpulanya, para peneliti selain tidak membaca dahulu etnografi Alor, juga
tidak saling bertukar pikiran terlebih dahulu, melainkan bekerja
sendiri-sendiri, dan baru membandingkan hasil analisisnya setelah selesai
membuat kesimpulan masing-masing.
Setelah di adakan
perbandingan diantara hasil analisa kardiner mengenai data etnografi dan
riwayat hidup, dengan hasil analisi data Rorschach dan lain-lain,
tenyata ada persamaan antara garis-garis besarnya.
Prosedur yang sama
juga di tetapkan Dr. Trude Senmidt-Waener, pada waktu menganalisis test tulisan
anak-anak yang dikumpulkan Dubois, dan ternyata hasilnya juga sama dengan
kesimpulan yang ditarik kardiner dan oberholzer.
Etnografi Alor
menurut Dubois adalah sebagai berikut para wanita si Atimelang adalah penghasil
makanan (food producers), dengan cara menanam dan mengumpulkan
sayur-mayur, sedangkan kaum laki-laki adalah pengurus pertukaran babi, gong,
dan moko-moko. (kettledrum) secara sistem barter. Pembagian kerja
berdasarkan perbedaan kelamin ini, berpengaruh besar terhadap pembentukan
kepribadian seorang Alor sejak masih kanak-kanak.
Sebagai akibat
pekerjaanya, seorang ibu harus sudah kembali bekerja satu sampai dua minggu
setelah melahirkan anak. Ia tidak membawa sera anaknya ke ladang, tetapi meninggalkanya
dirumah, dibawah pejagaan ayahnya si anak, saudara laki-laki atau perempuan,
atau kakek si anak. Oleh karenanya, si anak mengalami kehilangan hak untuk
menyusu ( oral deprivation) sepanjang hari, biarpun kadang-kadang ia
disusui oleh wanita lain, tetapi ini jarang terjadi. Seorang anak Alor baru
dapat menyusui pada petang hari, pada waktu ibunya kembali dari ladang. Sebagai
pengganti menyusu seorang anak dipijat-pijat alat kelaminya agar ia tenang.
Di Atimelang tidak
ada latihan buang air besar (toilet training), pada waktu seorang
anak belom dapat berjalalan. Latihan buang air besar dilakukan pada waktu
seorang anak berusia tiga tahun. Dan penyampihan di percepat jika ibunya
melahirkan anak lagi.
Masa dari mulai
dapat berjalan sampai usia 5-6 tahun menurut Dubois adalah masa paling besar
tekanan jiwa (stress) bagi anak-anak Alor. Hal ini disebabkan karena
pada masa itu si anak selain tidak dipenuhi kebutuhan oral, juga sudah tidak
digendong lagi, yang berarti tidak terjadi kekurangan kontak tubuh dengan ibu
kandungnya, sehingga mengalami apa yang disebut sebagai lapar sentuhan kulit (skin
hunger). Biarpun kadang-kadang seorang anak kecil diberi makan selama si
ibu tidak berada di rumah, pada umumnya seorang anak pada siang hari akan
mengalami kelaparan.
Ciri khas
anak-anak kecil Alor adalah mereka suka merajuk ( temper tantrum )
sambil menangis dan menahan nafas sampai lama, senhingga mukanya berwarna biru
. lama merajuk ini bisa sampai 20 menit . merajuk dimulai dengan memburu
ibunya, dan setelah tidak berhasil menangkap ibunya, ia menjadi jengkel
dan membuang dirinya sendiri ke tanah, berguling sambil membentur-benturkan
kepalanya di atas tanah.
Kebiasaan untuk
merajuk ini berhenti, setelah si anak berusia 5-6 tahun, yakni sewaktu itu
mulai memakai cawat, yang menandakan bahwa ia sudah besar sejak masa ini anak
laki-laki mulai ikut kawan-kawan sebay anya untuk mencari makanan dihutan, atau
mencuri diladang dan sebagainya.
Pengalaman masa
kanak-kana yang kurang baik, karena dirampas hak untuk kenikmatan oral ( oral
deprivation), mengakibatkan tokoh-tokoh orang tua tidak diidealisasikan.
Akibatnya, pembentukan super ego menjadi lemah. Hal ini dapat
menerangkan mengapa para dewa, roh-roh leluhur tidak di puja di Alor. Jika
disana ada patung dewa yang dibuat pun, maka bentuknya sembarangan, dan hanya
digunakan untuk upacara tertentu, serta kemudian dibuang. Roh-roh disana
tidak diberi tempat yang permanen dalam bentuk seperti atlar-atlar . Di
Atimelang juga tidak ada perhatian di dunia sana (nirwarna).
Jadi kepribadian
dasar di Alor di pengaruhi oleh prantara pertama, yang selanjutnya mempengaruhi
pembetulan pranata kedua . sifat kepribadian orang Alor adalah tidak
percaya terhadap orang lain.
Karena penelitian
di Alor ini termasuk penelitian perintis, maka teknik yang digunakan Dubois
mengandung banyak kelemahan,. Hal ini terjadi terutama pada pengumpulan bahan
mengenai riwayat hidup para respondenya. Para responden yang dipilih ternyata
bukan termasuk orang-orang yang “ ideal” dimasyarakatnya.
Kelemahan
penelitian ini kemudian diperbaiki oleh Thomas Gladewin dan Seymor B. Sarason,
seorang antropolog dan psikolog, pada waktu mereka mengadakan penelitian di
pilau Truk. Hasil penelitian mereka kemudian diterbitkan dalam bentuk buku yang
berjudul “Truk” Man in Paradise (1953). Untuk memperoleh sampel yang
representatif, mereka telah mempergunakan metode poll, yang berguna untuk
memilih orang yang paling populer , kurang populer, dan tidak populer. Dari
cara itu mereka telah memiliki 11 responden laki-laki dan 11 responden
perempuan . seperti halnya di Alor, hasil penelitian di Truk juga membuktikan
adanya kesimpulan yang sama dari metode penelitian analisis buta (blind
analysis), terhadap hasil pengumpulan bahan secara metode test psikologi
(test-test proyeksi).
Komentar tentang
teori ini:
TEORI KEPRIBADIAN RATA-RATA OLEH DUBOIS DIDASARKAN
ATAS PENELITIANNYA PADA MASYARAKAT ALOR. DAN MENYELARASKAN SEMUA KEPRIBADIAN
ADALAH SAMA DISETIAP KELOMPOK.MASYARAKAT ALOR MERUPAKAN MASYARAKAT YANG MASIH
BERSOLIDARITAS MEKANIS,SEHINGGA PENGARUH BEBERAPA ORANG PADA LINGKUNGAN ITU
MEMPENGARUHI SEBAGIAN BESAR MASYARAKATNYA.APAKAH TEORI INI COCOK DITERAPKAN
PADA MASYARAKAT YANG BERSOLIDARITAS ORGANIS DI LUAR MASYARAKAT ALOR
6.
TEORI
KEPRIBADIAN ORANG MODERN
Teori kepribadian orang
modern dirumuskan oleh Alex Inkeles, seorang guru besar ilmu sosiologi dari
Universitas Harvard. Menurutnya, tujuan utama pembangunan ekonomi adalah
memungkinkan setiap orang untuk mencapai suatu taraf hidup yang layak. Tetapi
tidak seorangpun yang yakin bahwa kemajuan suatu Negara atau bangsa harus di
ukur berdasarkan penghasilan nasional kotor (Gross National Product) serta
penghasilan perkapita. Pendapatan perkapita adalah besarnya pendapatan
rata-rata penduduk di suatu negara. Pendapatan perkapita b didapatkan dari
hasil pembagian pendapatan
nasional suatu negara dengan
jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan perkapita juga merefleksikan PDB per
kapita.
Pendapatan perkapita
sering digunakan sebagai tolak ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara; semakin besar pendapatan
perkapitanya, semakin makmur negara tersebut.
Pembangunan juga mencakup ide pendewaan politik, seperti yang tampak
dalam suatu proses pemerintahan yang stabil dan teratur berdasarkan keinginan
yang dinyatakan rakyat. Penyelenggaraan pendidikan rakyat juga termasuk
kedalamnya, demikian juga dengan perkembangan kesenian, arsitektur, pertumbuhan
alat – alat komunikasi dan bertambahnya waktu istirahat. Sesungguhnya, pada
akhirnya ide pembangunan mengharuskan adanya perubahan yang merupakan alat
untuk mencapai tujuan yang berupa pertumbuhan yang lebih lanjut lagi, dan
bersamaan dengan itu, juga merupakan tujuan proses pembangunan itu sendiri
(Inkelas, 1966 : 151). Perubahan watak manusia tersebut adalah perubahan watak
dari yang tradisional menjadi modern.
Namun, apa yang dimaksud dengan manusia modern itu, dan apa yang membuatnya
menjadi modern? Jawaban terhadap pertanyaan itu tidak dapat tidak akan bersifat
controversial, dan hamper tdak seorangpun yang dapat membicarakannya tanpa
terusik emosionalnya. Sebabnya tidak sulit dicari. Pertama, perubahan manusia
dari yang lebih tradisional menjadi lebih modern, sering berarti melepaskan
cara berfikir dan berperasaan yang telah berpuluh tahun serta berabad usianya,
dan meninggalkan prinsip. Kedua, sifat yang membuat orang menjadi modern itu
tidak sering tampak sebagai sebagai suatu cirri yang netral, tetapi merupakan
ciri dari orang – orang Eropa, Amerika, atau orang barat pada umumnya yang
hendak dipaksakan pada orang lain, untuk menjadikan mereka sama dengan orang
barat tersebut. Ketiga, kebanyakan ciri yang disebut modern itu, dan dengan
demikian yang diinginkan, sesungguhnya tidak berguna atau cocok bagi kehidupan
dan keadaan dari mereka, yang dianjurkan atau dipaksakan untuk
memilikinya. Sebuah perspektif menegaskan bahwa modern adalah suatu
keadaan dimana masyarakat telah menghasilkan produk-produk secara massal guna
memenuhi kebutuhan sehingga kehidupan menjadi lebih mudah. Lalu Postmodern
adalah keadaan dimana produk-produk yang dihasilkan diciptakan justru untuk
menciptakan kebutuhan-kebutuhan. Sementara itu, tradisional dinilai sebagai
keadaan dimana produk-produk yang dihasilkan masyarakat hanya mampu memenuhi
kebutuhan pokok masyarakat saja. Dalam masyarakat tradisional tidak ada
produksi massal. Jika ditelusur akan sangat banyak pembedaan-pembedaan antara
modern dan bukan modern, namun untuk kepentingan tulisan ini cukuplah dengan
kita menyepakati modern sebagai situasi yang kita alami sekarang.
Bagaimanakah manusia
modern?
Jika keadaan sekarang ini
disebut modern, lalu apakah kita yang hidup saat ini dikategorikan sebagai
manusia modern? Menurut Alex Inkeles, Guru Besar Sosiologi Universitas Harvard,
jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Kita memenuhi satu tanda khas dari manusia
modern, yakni ciri luar dari manusia modern. Ciri luar itu berkaitan dengan
dengan keterlibatan kita dalam urbanisasi, pendidikan, politikisasi,
industrialisasi, dan komunikasi massa. Juga ditandai dengan terlepasnya
individu-individu dari jaringan-jaringan keluarga dekat; orang semakin
impersonal dalam berhubungan dengan orang lain. Ciri-ciri itu adalah ciri-ciri
keadaan lingkungan bagi manusia modern, yang tidak cukup untuk mengatakan
orang-orang yang terlibat dalam ciri-ciri itu sebagai manusia modern. Sebagai
manusia modern, seseorang harus memenuhi ciri dalam yang berkaitan dengan
semangat, cara merasa, cara berpikir, dan cara bertindak modern.
Menurut Alex Inkeles,
setidaknya ada sembilan tema yang mendasari definisi-definisi bagi manusia
modern:
1. Tema yang berkaitan
dengan hal-hal baru
Manusia modern memiliki
kesediaan untuk menerima pengalaman baru dan keterbukaannya bagi pembaharuan dan
perubahan.
2. Tema yang berkait
dengan dunia opini.
Memiliki kesanggupan untuk
membentuk atau mepunyai pendapat mengenai sejumlah persoalan-persoalan dan
hal-hal yang timbul disekitarnya maupun di dunia luar.
a. Demokratis, dalam arti
sadar akan keragaman sikap dan opini disekitarnya, dan tidak menutup diri
denagn menyangka semua orang mempunyai pendapat yang sama dengan dirinya.
b. Menerima
pendapat-pendapat yang berbeda tanpa perlu tegas atau keras menolaknya karena
khawatir kalau pendapat-pendapat itu akan menghancurkan pandangan-pandangan
dunianya.
c. Tidak menerima opini
secara otokratis dan hierarkis. Manusia modern tidak segera menerima ide-ide
dari orang yang lebih tinggi kedudukannya dan segera menolak pendapat-pendapat
dari orang-orang yang lebih rendah kedudukannya. Ide dari pihak manapun
didengar dan dihargai sama, serta hanya dinilai berdasarkan kualitas idenya
saja.
3. Tema yang berkaitan dengan konsepsi waktu.
a. Manusia modern berorientasi waktu kekinian
dan masa depan, bukannya masa lampau.
b. Manusia modern selalu tepat waktu
c. Manusia modern memiliki waktu-waktu tetap
(jadwal) sehingga hidupnya terencana dan teratur.
4. Tema yang berkait
dengan perencanaan.
Manusia modern
menginginkan terlibat dalam perencanaan akan hal-hal yang berkait dengan
hidupnya dan organisasi, serta menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.
5. Tema yang berkait
dengan keyakinan akan kemampuan manusia
Manusia modern yakin bahwa orang dapat belajar, dalam batas-batas tertentu untuk menguasai alam, untuk kepentingannnya sndiri, bukan dikuasai seluruhnya oleh alam.
Manusia modern yakin bahwa orang dapat belajar, dalam batas-batas tertentu untuk menguasai alam, untuk kepentingannnya sndiri, bukan dikuasai seluruhnya oleh alam.
6. Tema yang berkait
dengan kemampuan memperhitungkan segala sesuatu.
7. Tema yang berkait
dengan harga diri
Manusia modern adalah
orang-orang yang sadar akan harga diriorang-orang lain dan bersedia menghargainya.
8. Tema ilmu dan
teknologi, dimana sangat dipercayai oleh Manusia modern.
9. Tema tentang keadilan.
Manusia modern percaya
bahwa ganjaran-ganjaran seharusnya diberikan sesuai dengan tindakan-tindakan,
bukan karena hal-hal atau sifat-sifat yang dimiliki seseorang yang tidak ada
hubungannya dengan tindakannya.
Ciri khas orang modern ada dua macam : yang satu merupakan ciri luar dan
lainnya merupakan cirri dalam. Yang pertama mengenai lingkungan alam, dan yang
kedua, mengenai sikap, nilai, dan perasaan.
Perubahan keadaan ciri luar yang dialami manusia modern telah banyak
dikenal dan dicatat,sehingga tidak perlu lagi berpanjang – panjang, cukup
diringkas saja dengan mempergunakan beberapa istilah pokok seperti : urbanisasi
(perpindahan penduduk dari desa ke kota), pendidikan, politiksasi komunikasi
masa, dan indutrialisasi.
Komentar tentang teori ini:
Perubahan keadaan ciri dalam yang dialami orang
modern banyak disentuh orang, walaupun sebenarnya jenis perubahan ini adalah
lebih penting dari pada keadaan ciri luar saja
7.
TEORI
DETERMINISM MASA KANAK-KANAK
- Hipotesa Latihan Buang Air Besar
Menurut Geofrey Gorer (1943) dalam artikelnya yang
berjudul; “THEMES IN JAPANESE CULTURE (1949)” watak bangsa jepang menunjukan
keterpukauan perhatian dan orang jepang juga berkelebihan terhadap upacara
kerapian,dan ketertiban sehingga dapat dibandingkan dengan sifat gangguan
jiwa’’atau disebut juga Compulsive Neurotic,yaitu gangguan jiwa yang berbuat
sesuatu di luar keinginannya,yang menghinggapi beberapa penduduk di
eropa.Menurut hipotesanya, penyebab utamanya adalah latihan buang air besar
(toilet training) yang di peroleh semasa kanak-kanak.
Menurut Gorer dibalik sifat orang jepang yang rapi dan
tertib ini ada keinginan tersembunyi untuk berbuat agresif,upacara yang
sifatnya teliti sebenarnya adalah saluran dari golongan hati yang berbahaya.
Sifat permusuhan yang terpendam oleh orang jepang ditimbulkan sebagai akibat
kebencian sewaktu bayi, yang dipaksa untuk melakukan sesuatu yang ia tidak
mengerti’’karna harus mengendalikan otot lubang duburnya sebelum ia dapat
menguasainya.
Kebencian ini akan tetap merupakan sebagian dari
kepribadiannya setelah dewasa nanti, inisemua berdasarkan pada teori Ortodoks
Freudian. Dalam keadaan normal, orang jepang tidak memberi kesempatan bagi
penyaluran rasa kebencian ini,sehingga oleh individu harus ditekan.Akibatnya
jika ada peluang,agresif tersbut akan meletup secara kuat seperti terlihat pada
masa perang dunia ke.2” orang jepang yang pada masa damai terkenal sebagai bangsa
yang bersifat halus tertib,akan bertindak kejam dan sadistis terhadap
musuh-musuhnya.
Hipotesa yang dibuat oleh Gorer ini sudah tentu terlalu
bersifat determinisme masa kanak-kanak,sehingga mendapat kritik dari sarjana
lain. Dan menurut Robert N, Bella, bahwa penyebab terbentuknya sifat tertib dan
rapi orang jepang adalah kode samurai (samurai code) yang berkembang sejak
zaman Tokugawa.Kode samurai ini tersebar dan mempengaruhi para pedagang dan
petani, melalui gerakan-keagamaan’’ Kode samurai ini dapat dibandingkan dengan
etik protestan, yang diciri oleh sifat suka bekerja keras dan pengingkaran
terhadap kenikmatan diri (Bella,1957).
Komentar tentang teori ini:
Dalam penentangan pendapat Gorer oleh Robert N Bella dalam pendangan
pembentukan sifat rapid an disiplin orang Jepang. Menurut saya pengaruh
pembentukan sifat rapi dan disiplin anak
Jepang lebih condong pada pelatihan
Toilet Training daripada kode samurai. Karena Toilet Training diterapkan dan
dilatihkan sejak dini dan oleh orang terdekat, dan pernanaman ini telah
dilaksanakan lama bahkan sebelum disebut membudaya. Sifat ini lebih terbentuk
karena sangat tertanam atas perlakuan toilet training. Dibandingkan dengan kode
samurai, Kode samurai ditanamkan dan disosialisasikan pada anak dengan suatu penguniversalan
dan pemaksaan anak menlakukan ke 8 kode samurai itu, bukan atas perilaku yang
ditanamkan. Kode samurai itu sendiri muncul pada zaman Tokugawa yang
menjelaskan bahwa tidak ada penanaman melalui kode itu sebelum zaman itu.
Dengan kata lain kode itu merupakan penguniversalan apa yang telah dilakukan
dalam pendidikan anak.
8. TEORI WATAK BANGSA
Ketegangan Perang Dunia ke dua menyebabkan para ahli antropologi-psikologi
( antara lain Benedict) berusaha melukiskan struktur kepribadian tipikal suatu bangsa.Tujuannya
adalah untuk mengetahui kepribadian kawan dan lawan pada saat perang.
Penelitiannya menggunakan data penelitian lain yang digunakan sebelumnya
disamping metoda penelitian budaya dari jauh (yang diteliti folklore, sastra, film, drama, pidato,politik, dan propaganda).
Dalam kaitannya dengan watak bangsa ini adalah istilah-istilah lainnya seperti way of life, ethos,
collective ideals, mode distribution.
(a)
Teori Watak Bangsa sebagai atak Kebudayaan ( cultural
character)
Margareth Mead mendefinisikan watak bangsa sebagai : kesamaan sifat di
dalam organisasi intra-psikis individu anggota masyarakat karena mengalami cara
pengasuhan anak yang sama dalam kebudayaan masyarakatnya.
Praktek pengasuhan anak dapat dijadikan kunci pembuka rahasia watak orang
dewasa
(b)
Teori Watak Bangsa sebagai Watak Masyarakat ( Social
character)
Erich Fromm menyebut watak bangsa dengan sebutan watak masyarakat. Dalam
watak masyarakat ini kepentingan pribadi telah identik dengan kepentingan
masyarakat. Kemerdekaan perorangan dikalahkan demi eksistensi masyarakat.
(c)
Teori Watak Bangsa
sebagai Watak Kesukuan
Setiap suku mempunyai kondisi demografis serta pola pengasuhan anak yang
berbeda-beda. Watak kesukuan ini sangat dipengaruhioleh pola asuh anak dalam
sukunya dan kondisi demografis masyarakatnya.
(d)
Teori Watak Bangsa sebagai Kepribadian Rata-rata
Menurut Indeks Inkeles dan Levinson bahwa watak bangsa seharusnya disamakan
dengan struktur kepribadian rata-rata. Inkeles yang berada di pusat penelitian
Rusia Universitas Harvard mengadakan penelitian pada orang-orang Rusia untuk
menyimpulkan pola kepribadian rata-rata Dari hasl penelitiannya dia berkomentar
bahwa tidak semua orang Rusia memiliki watak yang sama.
Komentar tentang teori ini:
Watak bangsa dalam hal ini menerangkan pola
pengasuhan anak kolektif, baik dari kebudyaan , suku, dan kepribadian
rata-rata. Semua kolektifitas adalah hasil dari pembudayaan dan penguniversalan
perilaku yang ada pada sebagian besar masyarakat, tetapi proses cepat
pembudayaan dan penguniversalan ini, terjadi pada masyarakat yang mekanis. Jika
disimpulkan suatu kepribadian ataupun
wata bangsa pada masyarakat yang individualis dalam hal ini berorientai pada
hal subjektif dan memiliki cara mengeksistensikan dirinya tanpa mencontoh orang
lain., hubungan masyarakat merenggang , dan budaya kolektifitasnya akan sulit
disimpulkan.
0 komentar:
Posting Komentar