azizherwit

Jumat, 14 September 2012

TEORI PSIKOSOSIAL




Teori Psikososial ini di kemukakan oleh Erik Erikson ( 1902-1994 ). Istilah psikososial  dalam kaitannya dengan perkembangan manusia berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Di satu pihak, Erikson mengatakan bahwa kita berkembang dalam tahap-tahap psikososial (psychosocial stages ), yang berbeda dengan tahap-tahap psikoseksual ( psychosexsual stages ) Freud. Di pihak lain, Erikson menekankan perubahan perkembangan sepanjang siklus kehidupan manusia, sementara Freud berpendapat bahwa kepribadian kita dibentuk  pada lima tahun pertama kehidupan. Erikson setuju dengan banyak gagasan Freud, seperti insting, kepribadian, yang terdiri dari Id, Ego, Superego, perkembangan kepribadian yang bertahap-tahap, dan bahwa anak harus mengalami krisis di masa kanak-kanak untuk berkembang ke masa dewasa. Akan tetapi, ia pun berbeda dari Freud dalam berbagai hal, seperti anak adalah aktif, pencari yang adaptif, bukan penerima yang pasif. Selain itu, Ego adaalah yang terpenting bukan ketidaksadaran. Ego harus mengerti realitas. Selanjutnya, menurut Erikson manusia adalah makhluk rasional yang dikendalikan oleh ego, bukan konflik antara id, ego dan superego. Akhirnya, Erikson lebih menekankan pada aspek sosial daripada seksual.

Menurut teori psikososial Erikson, kepribadian terbentuk ketika seseorang melewati tahap psikososial sepanjang hidupnya. Masing-masing tahap memiliki tugas perkembangan yang khas, dan mengharuskan individu menghadapi dan menyelesaikan krisis. Erikson melihat bahwa krisis tersebut sudah ada sejak lahir, tetapi pada saat-saat tertentu dalam siklus kehidupan, krisis menjadi dominant. Bagi Erikson krisis bukanlah suatu bencana, tapi sutu titik balik peningkatan vulnerability ( kerentanan ) dan potensi. Untuk setiap krisis, selalu ada pemecahan yang negatif dan positif. Pemecahan yang positif, akan menghasilkan kesehatan jiwa, sedangkan pemecahan yang negatif akan membentuk penyesuaian yang buruk. Semakin berhasil seseorang mengatasi krisis, akan semakin sehat perkembangannya.
Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu :
(1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas. (2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.
Dalam bukunya yang berjudul “Childhood and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic. Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi yang artinya “upon” atau sesuatu yang sedang berlangsung, dan genetic yang berarti “emergence” atau kemunculan. Gambaran dari perkembangan cermin mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran kehidupan sangat berkaitan dengan waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan karena itu muncul , dan akan selalu terjadi pada setiap tahap perkembangan hingga berakhir pada tahap dewasa, secara keseluruhan akan adanya fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap itu sendiri. Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial juga disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah sesuatu yang sangat vital dan bagian yang utuh dari teori Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan antar personal dalam sebuah lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah sikap yang mudah sekali terkena serangan berdasarkan fungsi dari ego pada setiap tahap.
Erikson percaya “epigenetic principle” akan mengalami kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas dapat melihat krisis psikososial yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap manusia yang sudah dilukiskan dalam bentuk sebuah gambar. Di mana gambar tersebut memaparkan tentang delapan tahap perkembangan yang pada umumnya dilalui dan dijalani oleh setiap manusia secara hirarkri seperti anak tangga. Di dalam kotak yang bergaris diagonal menampilkan suatu gambaran mengenai adanya hal-hal yang bermuatan positif dan negatif untuk setiap tahap secara berturut-turut. Periode untuk tiap-tiap krisis, Erikson melukiskan mengenai kondisi yang relatif berkaitan dengan kesehatan psikososial dan cocok dengan sakit yang terjadi dalam kesehatan manusia itu sendiri.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Melalui teori yang dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory of Psychosocial Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson tidak berniat agar teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud maupun teori perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini berbicara mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain perlu diketahui pula bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori Freud dan teori Piaget berhenti hanya sampai pada masa dewasa.
Meminjam kata-kata Erikson melalui seorang penulis buku bahwa “apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar, dan dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang berfungsi. Oleh karena itu, melalui delapan tahap perkembangan yang ada Erikson ingin mengemukakan bahwa dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif (adaptasi keliru) dan malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung kalau satu tahap tidak berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan baik maka akan tumbuh maladaption/maladaptif dan juga malignansi, selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu berinteraksi dengan pola-pola tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang terjadi serta ritualisme yang berarti pola hubungan yang tidak menyenangkan. Menurut Erikson delapan tahap perkembangan yang ada berlangsung dalam jangka waktu yang teratur maupun secara hirarkri, akan tetapi jika dalam tahap sebelumnya seseorang mengalami ketidakseimbangan seperti yang diinginkan maka pada tahap sesudahnya dapat berlangsung kembali guna memperbaikinya.
Empat tahap pertama terjadi pada masa bayi dan masa kanak-kanak, tahap kelima pada masa adolesen, dan tiga tahap terakhir pada masa dewasa dan usia tua. Dari delapan tahap perkembangan tersebut, Erikson lebih menekankan pada masa adolesen, karena masa tersebut merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Apa yang terjadi pada masa ini, sangat penting artinya bagi kepribadian dewasa.

Kedelapan tahap perkembangan Erikson tersebut adalah :
  1. Tahap kepercayaan dan ketidakpercayaan ( trust vs mistrust )
Tahap ini terjadi pada masa-masa pertama kehidupan, yaitu pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun.  Bayi mengalami konflik antara percaya dan tidak percaya. Rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan sejumlah kecil ketakutan serta kekhawatiran masa depan. Pada saat itu, hubungan bayi dengan ibu menjadi sangat penting. Kalau ibu memberi bayi makan, membuatnya hangat, memeluk dan mengajaknya berbicara, maka bayi tersebut akan memperoleh kesan bahwa lingkungannya dapat menerima kehadirannya secara hangat dan bersahabat. Inilah yang menjadi landasan pertama bagi rasa percaya. Sebaliknya, jika ibu tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi, maka dalam diri bayi akan timbul rasa ketidakpercayaan terhadap lingkungannya.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.
Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di mana setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap saat.
Adanya perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya akan menjadi dasar bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya, apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang lain.
Kepercayaan pada masa bayi menentukan tahap bagi harapan seumur hidup bahwa dunia akan menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan.

  1. Tahap otonomi dan rasa malu & keragu-raguan ( autonomy vs shame and doubt )
Tahap ini berlangsung pada akhir masa bayi dan masa baru mulai berjalan ( 1-3 tahun ). Setelah memperoleh kepercayaan diri dari pengasuh mereka, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa mandiri atau otonomi mereka. Mereka menyadari kemauan mereka. Pada tahap ini orang tua harus selalu memberikan dorongan kepada anak, sambil melatih kemampuan-kemampuan mereka. Bila bayi terlalu banyak dibatasi atau dihukum terlalu keras. Mereka cenderung mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu.


  1. Tahap inisiatif dan rasa bersalah ( initiative vs guilt )
Tahap ini berlangsung selama tahun-tahun prasekolah. Pada tahap ini anak terlihat sangat aktif, suka berlari, berkelahi, memanjat-manjat, dan suka menantang lingkungannya. Dengan menggunakan bahasa, fantasi, dan permainan khayalan, dia memperoleh perasaan harga diri. Bila orang tua berusaha memahami , menjawab pertanyaan anak, dan menerima keaktifan anak dalam bermain, maka anak akan belajar untuk mendekati apa yang diinginkan, dan perasaan inisiatif menjadi semakin kuat. Sebaliknya, bila orang tua kurang memahami, kurang sabar, suka memberikan hukuman, dan menganggap bahwa pengajuan pertanyaan, bermain dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak tidak bermanfaat, maka anak akan merasa bersalah, dan menjadi enggan untuk mengambil inisiatif untuk mendekati apa yang diinginkannya. Ketika anak-anak prasekolah menghadapi suatu dunia sosial yang lebih luas, mereka lebih tertantang daripada ketika mreka masih bayi. Perilaku aktif dan bertujuan dituntut untuk menghadapi tantangan – tantangan ini. Anak-anak diharapkan menerima tanggung jawab atas tubuh mereka, mainan mereka, dan perilaku mereka. Pengembangan tanggung jawab meningkatkan prakarsa. Namun, perasaan tidak menyenangkan dapat muncul, bila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas. Erikson memiliki pandangan yang positif terhadap tahap ini. Ia yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dengan cepat digantikan oleh rasa berhasil.

  1. Tahap kerajinan dan rasa rendah diri ( industry vs inferiority )
Tahap ini berlangsung pada tahun tahun sekolah dasar  Pada tahun ini, anak mulai memasuki dunia baru yaitu sekolah dengan segala aturan dan tujuan. Anak mulai mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Alat-alat permainan dan kegiatan bermain berangsur-angsur digantikan oleh perhatian pada situasi-situasi produktif serta alat-alat yang dipakai untuk bekerja. Akan tetapi, apabila anak tidak berhasil menguasai keterampilan dan tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan guru-guru dan orang tuanya, maka anak akan mengembangkan perasaan rendah diri. Prakarsa anak-anak membawa mereka terlibat dalam kontak dengan pengalaman-pengalaman baru yang kaya. Ketika mereka beralih ke masa pertengahan dan akhir anak-anak,mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan penetahuan dan keterampilan intelektual. Tidak ada saat yang lebih bersemangat atau antusias untuk belajar daripada akhir perkembangan imajinasi pada masa awal anak-anak.  Bahayanya pada awal tahun-tahun sekolah dasar adalah perkembangan rasa rendah diri, perasaan tidak kompeten, dan tidak produktif.

  1. Tahap identitas dan kekacauan identitas ( identity vs identity confusion )
Tahap ini dialami oleh individu selama tahun-tahun remaja. Ini merupakan tahap pencarian jati diri. Ia mulai merasakan perasaan tentang identitas dirinya, perasaan bahwa ia adalah individu yang unik yang siap memasuki suatu peran yang berarti di tengah masyarakat , baik peran yang bersifat menyesuaikan diri maupun yang bersifat memperbaharui.  Tetapi, karena peralihan yang sulit dari masa anak-anak ke masa dewasa di satu pihak dan karena  kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis di pihak lain, maka anak akan mengalami krisis identitas Bila krisis ini tidak segera diatasi, maka anak akan mengalami kebingungan peran atau kekacauan identitas, yang dapat menyebabkan anak merasa terisolasi, cemas, hampa, dan bimbang. Anak remaja dihadapkan dengan banyak peran baru dan status orang dewasa. Orang tua harus mengizinkan anak remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu peran khusus. Jika anak remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan tiba pada suatu jalan yang positif untuk diikuti dalam kehidupan, maka identitas yang positif akan di capai. Jika suatu identitas pada anak remaja ditolak oleh orang tua, kalau anak remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, dan jika masa depan yang positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas aka merajalela.

  1. Tahap keintiman dan keterkucilan ( intimacy vs isolation )
Tahap ini dialami individu selama tahun-tahun awal masa dewasa. Pada masa ini individu menghadapi tugas perkembangan pembentukan relasi intim dengan orang lain. Erikson menggambarkan keintiman sebgai penemuan diri sendiri pada diri orang lain  tanpa kehilangan diri sendiri. Saat anak muda membentuk persahabatan yang sehat dan relasi akrab yang intim dengan orang lain, keintiman akan dicapai, kalau tidak, isolasi akan terjadi. Menurut Erikson, keintiman tersebut biasanya menuntut perkembangan seksual yang mengarah pada hubungan seksual dengan lawan jenis yang dicintai. Bahaya dari tidak tercapainya keintiman selama tahap ini adalah isolasi yakni kecenderungan menghindari berhubungan secara intim dengan orang lain, kecuali dalam lingkungan yang amat terbatas.

  1. Tahap generativitas dan stagnasi ( generativity vs stagnation )
Tahap ini dialami individu selama pertengahan masa dewasa. Ciri utama tahap generativitas adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan ( keturunan, produk-produk, ide-ide, dan sebagainya ) serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang. Kepedulian seseorang terhadap pengembangan generasi muda inilah yang diistilahkan oleh Erikson dengan generativitas. Apabila generativitas ini lemah atau tidak diungkapkan, maka kepribadian akan mundur, mengalami pemiskinan dan stagnasi.

  1. Tahap integritas dan keputusasaan ( integrity vs despair )
Tahap ini dialami individu selama akhir masa dewasa. Integritas terjadi ketika seseorang pada tahun-tahun terakhir kehidupannya menoleh ke belakang dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam hidupnya selama ini, menerima dan menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya, merasa aman dan tentram, serta menikmati hidup sebagai yang berharga dan layak. Akan tetapi, bagi orang tua yang dihantui oleh perasaan bahwa hidupnya selama ini sama sekali tidak mempunyai makna ataupun memberikan kepuasan pada dirinya, maka ia akan merasa putus asa.   

KESIMPULAN

Menurut Erik Erikson, dalam teori psikososialnya, bahwa kepribadian itu terbentuk ketika seseorang melewati tahap psikososial sepanjang hidupnya. Masing-masing tahap memiliki tugas perkembangan yang khas dan mengharuskan individu menghadapi dan menyelesaikan krisis. Semakin berhasil seseorang, mengatasi krisis, akan semakin sehat perkembangannya.
Ada 8 tahap perkembangan menurut Erik Erikson, yaitu :
1)      Tahap kepercayaan dan ketidakpercayaan ( trust vs mistrust )
2)      Tahap otonomi dan rasa malu dan ragu-ragu ( autonmy vs shame and doubt )
3)      Tahap inisiatif dan rasa bersalah ( initiative vs guilt )
4)      Tahap kerajinan dan rasa rendah diri ( industry vs inferiority )
5)      Tahap identitas dan kekacauan identitas ( identity vs identity confusion )
6)      Tahap keintiman dan keterkucilan ( intimacy vs isolation )
7)      Tahap generativitas dan stagnasi ( generativity vs stagnation )
8)      Tahap integritas dan keputusasaan ( integrity vs despair )            

DAFTAR PUSTAKA

Desmita,” Psikologi Perkembangan “,Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2008
Santrock, Jhon W, “Life Span Development”, Jakarta : Erlangga, 2002
Sarwono, Sarlito Wirawan, “Psikologi Sosial “, Jakarta : Balai Pustaka, 1997

0 komentar:

Posting Komentar